By Socrates – Harga bahan pokok di Batam mahal. Padahal, dulu Batam dikenal sebagai kota yang murah, baik bahan pokok, barang elektronik dan barang impor. Selain itu, gampang cari kerja, dekat ke Singapura. Semua keistimewaan Batam, berubah seketika, sejak krisis Juli 1997 dan terasa sampai sekarang. Inilah topik pertama yang saya tulis dalam buku Amazing Batam, yang terbit 10 Agustus 2008.
Murahnya harga bahan pokok, berbagai barang impor seperti parfum, barang elektronik hingga bawang putih impor pada dekade 1980-an, karena mata uang asing seperti dolar Singapura hanya Rp2.500,- per 1 dolar Singapura. Barang impor, mulai dari beras Thailand dan Vietnam, makanan dan minuman dari Singapura dan Malaysia, dan barang buatan luar negeri, sangat mudah ditemukan di Batam.
Saking murahnya barang impor di Batam, saat lebaran minuman yang disuguhkan bukan sirup seperti biasa, tapi bir! Ada belasan merek bir yang dijual bebas di Batam. Barang elektronik seperti televisi, handpone, VCD Player, jadi incaran warga luar Batam. Baik yang baru maupun yang bekas alias second hand atau seken.
Ketika krisis datang, warga Batam lebih dulu menderita. Harga kebutuhan pokok membumbung dan hidup terasa begitu berat. Harga susu meroket sampai 300 persen. Bayi dan balita terpaksa disuguhi air tajin. Beras Thailand yang saat itu Rp2.500,- per kilogram, ikut melambung. Sembako dari daerah lain, terbatas lantaran terkendala jalur distribusi.
Baru disadari bahwa selama ini, beras impor yang berasal dari negeri Gajah Putih itu, mampir dulu di Singapura dan harus membayar biaya transportasi sehingga harganya lebih mahal daripada membeli langsung dari Thailand. Daya beli melemah dan pendapatan tidak sesuai dengan pengeluaran. Malah, pekerja-pekerja di Mukakuning terpaksa hidup sangat hemat dengan cara memakan mi instan untuk dua kali makan!
Posisi Batam yang berbatasan dengan negara tetangga, tidak selalu mengenakkan. Sedikit saja terjadi fluktuasi kurs mata uang dolar Singapura, harga barang langsung melonjak. Jauh sebelum krisis pun kota ini sudah menjadi kota dengan biaya hidup tertinggi di Indonesia.
Tingginya harga bahan pokok juga dipengaruhi ketergantungan Batam terhadap daerah lain. Tidak ada sawah di Batam. Malah, pertanian dianggap ilegal. Misalnya, warga yang bercocok tanam sayur mayur dan buah-buahan, harus kucing-kucingan dengan petugas Direktorat Pengamanan Otorita Batam.
Padahal, hasil pertanian warga di kawasan Tembesi dan Barelang itu, cukup membantu suplai sayuran dan buah, terutama yang paling terkenal saat ini, pepaya Barelang. Ikan lele saja, sampai saat ini sebanyak 15 ton lele dari Malaysia, masuk ke Batam sehingga mematikan peternak lele lokal. Faktanya, usayuran dan buah-buahan ‘’petani illegal’’ ini memenuhi kebutuhan Batam sekitar 25-30 persen. Namun, tidak ada perhatian dan dukungan pemerintah.
Setahun setelah krisis moneter, harga barang tetap tak bergeming, meski kadang dolar Singapura melemah terhadap rupiah. ‘’Harga barang melonjak luar biasa di Batam. Pedagang seenaknya menaikkan harga. Begitu dolar Singapura menguat, harga barang langsung naik, eh begitu dolar melemah, harga tidak ikut turun,” kata seorang pengacara, geram.
Otorita Batam dan Pemda Batam tidak tinggal diam. Antara lain dengan melakukan berbagai operasi pasar dan berusaha mendatangkan bahan pokok itu dari sentra produksinya untuk menekan harga. Tidak hanya warga, pedagang pun kesulitan. Selain takut rugi dan tidak bisa lagi berdagang lantaran melonjaknya harga barang, sewa toko pedagang pun dipatok dalam dolar.
Pembeli kejepit, pedagang menjerit. Meski sebenarnya sewa toko itu tidak naik, namun kalau dikurskan ke rupiah membengkak tiga kali lipat. Pasar Induk yajg direncanakan untuk menampung pedagang dan mengontrol harga, gagal total. Akibatnya, pedagang berjualan di emperan toko, badan jalan yang dikenal warga dengan Pasar Pagi Jodoh.
Malah, pasar induk yang menghabiskan anggaran belasan miliar itu, dihancurkan dan dirobohkan. Sampai saat ini, tahun 2022, pedagang berjualan di pasar-pasar yang dikelola oleh swasta. Mulai dari pasar Pujabahari, Toss 3000, pasar Mega Legenda sampai pasar Botania 1 dan Botania 2.
Berbanding terbalik antara warga Batam dan Singapura, Berkedok sebagai wisatawan, mereka memborong berbagai barang kebutuhan pokok dari Batam, Tanjung-pinang dan Tanjungbalai Karimun. Malah, mereka tidak segan-segan mengajak pembantu, keluarga bahkan tetangga untuk ikut ramai-ramai datang ke Batam memborong berbagai keper-luan. Makin banyak yang datang, makin banyak barang yang bisa dibeli dan diangkut ke seberang.
Sebagai kota perbatasan, Batam memiliki banyak persoalan. Biaya hidup yang tinggi dan sembako yang mahal – hampir 25 tahun saya menulis buku Amazing Batam – belum terpecahkan. Sampai Agustus 2022, hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) menempatkan Batam peringkat 5 besar kota dengan biaya hidup tertinggi. Sebulan, warga Batam dengan satu istri dan dua anak paling tidak menghabiskan Rp 6,3 juta untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Secara berurutan, kota biaya hidup mahal adalah Jakarta, Jayapura, Ternate, Depok dan Batam.
Selain kendala geografis dan daerah kepulauan, hampir 95 persen kebutuhan masyarakat Batam didatangkan dari luar daerah. Itulah mengapa harga sembako di Batam jauh lebih mahal dibanding daerah lain. Beras memiliki andil 30 persen mahalnya harga kebutuhan pokok di Batam.
Provinsi Kepulauan Riau, juga menempati peringkat tiga besar biaya hidup termahal di Indonesia. Yakni, DKI Jakarta, Kalimantan Timur dan Kepulauan Riau. Lalu, apa solusinya? Sudah saatnya, siapapun yang menjadi gubernur, bupati dan wali kota di daerah ini, menyiapkan lahan pertanian dan pulau-pulau daerah penyangga kebutuhan pokok. Toh, Batam memiliki ratusan pulau yang bisa diolah menjadi lahan pertanian. Krisis moneter dan wabah Covid-19 mestinya jadi pengalaman berharga untuk warga Batam. ***