By Socrates – Batam. Inilah kota para pendatang atau urban city. Kota ini tumbuh secara spektakuler, setelah Habibie, menteri super di era Orde Baru, menggagas percepatan pulau ini. Ia melontarkan teori balon. Jika ”balon” Singapura meletus, maka serpihannya akan pindah ke Batam. Apalagi, lokasi yang sangat strategis di hot-line perdagangan dunia.
Gagasan Habibie jauh melampaui zamannya. Batam diplot sebagai kawasan maju dan modern, dihuni para investor dari mancanegara, penduduknya hanya orang-orang kaya dan berduit. Namun, apa lacur. Batam bagaikan gula yang diserbu ”semut-semut” dari berbagai daerah di nusantara. Yang datang, bukan orang-orang kaya yang mau menanamkan modalnya, tapi justru orang-orang yang mencari pekerjaan dan mau merubah nasibnya.
Persepsi tentang Batam pun berkembang sedemikian rupa. Yakni sebagai tempat yang gampang cari uang, dekat dengan luar negeri dan semua serba murah, terutama barang elektronik. Padahal, berbagai perusahaan elektronik yang beroperasi di Batam, bukanlah membuat barang jadi (end product) tapi komponen elektronik yang harus dikirim ke negara lain yang memiliki lisensi.
Habibie yang bermimpi menjadikan Batam sebagai kota maju dan modern, membangun bandara internasional. Namun, hanya pernah menjadi bandara transit pesawat dari Australia sebentar saja. Selebihnya, menjadi andalan penerbangan haji yang hanya sekali pada musim haji dan penerbangan domestik. Padahal, bandara Hang Nadim memiliki landasan pacu terpanjang di Indonesia. Namun, bandara tersebut kesulitan menutupi biaya operasional dan maintanance-nya. Meski menyandang nama internasional, pada malam hari bandara ini tidak beroperasi. Barulah tahun 2022 ini, bandara Hang Nadim dikelola PT Bandara Internasional Batam.
Meski baru rencana, Habibie juga sudah mengungkapkan kepada publik, akan membangun sea port internasional di Kabil. Caranya, dengan memberi insentif lebih murah kepada perusahaan peti kemas Evergreen. Namun, Singapura tidak bodoh dan tidak tinggal diam. Ia memberi insentif lebih besar sehingga pembangunan pelabuhan internasional itu sampai saat ini hanya sebatas rencana. Sampai tahun 2022, pelabuhan di Kabil tinggal rencana. Pelabuhan Batuampar, juga baru mulai dibenahi sejak 2020.
Kendati menjadikan industri sebagai sektor penggerak ekonomi Batam, in-dustrialisasi di Batam ibarat tukang jahit dan menyewa tempat lebih murah. Promosi buruh murah, berbagai kemudahan investasi, mampu menarik minat in-vestor ke Batam. Toh, pulau berbentuk kalajengking ini, tidak jauh dari Singa-pu-ra, pusat bisnis dan jasa kelas dunia. Yang jelas, Batam menjadi ”obat sakit ke-pala” pemerintah yang gagal menyediakan lapangan kerja secara luas selama ini.
Maka, tak heran, puluhan ribu pendatang, baik melalui program Angkatan Kerja Antar Daerah (AKAD) maupun yang datang sendiri ke Batam, bisa tertam-pung di ratusan pabrik elektronik, pengolahan pipa dan jasa manufaktur lainnya. Dalam bilangan tahun saja, Batam ikut berkembang pesat.
Namun, kota ini seperti tak terkendali. Peraturan berubah-ubah, tergan-tung siapa yang berkuasa. Akibatnya bisa ditebak. Batam hari ini adalah pulau yang terkelupas dan tanah gersang dimana-mana. Hutan-hutan yang merangas dan ditebas, tanah dan pasir digali, ditingkahi derum eskavator, merambah apa saja termasuk bukit-bukit yang kini rata dengan tanah dan berganti dengan hutan beton.
Laut keruh bercampur sampah dan limbah. Nelayan meratapi nasib lan-taran ikan tak lagi mudah didapat. Kampung tua disulap jadi kota baru. Penjahat tak berwajah siap memangsa. Darah pun tumpah. Preman beringas mabuk di jalalan dan lokalisasi. Penyeludup tertawa mengakali warga. Wanita-wanita korban kekerasan pria. Virus bernama AIDS menelan korban. Berapa lagi yang harus mati bunuh diri dan jadi gila? Batam, seperti kata seorang psikolog, kota tak berjiwa.
Orang tak lagi memandang orang lain sebagai saudara. Sinar matanya penuh curiga. Tegur sapa hanya basa-basi belaka. Primodialisme merajalela. Perang suku bagai api dalam sekam dan jadi bom waktu. Sebagian tinggal di balik tembok dan pagar tinggi, sebagian lagi di ruli berjalan tanah membawa nostalgia kampung halaman.
Malam-malam panjang menjadi milik tamu diskotek. Menari-nari kesetanan bergeleng kepala. Ada yang asyik bertaruh di mesin judi, berharap nasib akan berubah. Ada yang jatuh ke pelukan wanita-wanita berdandan menor bergincu tebal dengan baju ala kadarnya. Tawa cekikikan penuh kepalsuan jadi hiburan.
Wajah kota Batam, terutama Jodoh dan Nagoya, memang angker dan menyeramkan. Tengok saja onggokan gerobak dan warung kaki lima bertebaran, mengisi sudut-sudut rumah toko dan pinggir jalan. Jalan becek dan berdebu. Sampah bertebaran. Arus lalu lintas semrawut dan macet.
Malam hari, suasananya kian mencekam. Supir taksi dan ojek berkeliaran, calo-calo, penum-pang yang menunggu angkutan, sudut-sudut kota yang gelap dan remang-remang, orang-orang nongkrong di warung kaki lima, di depan toko, semuanya menggambarkan potret kota yang kumuh dan buram.
Para pendatang ini umumnya tak saling kenal. Hanya nasib yang mem-buat mereka sama-sama terdampar atau merantau ke kota pulau ini. Sikap individualis, cuek dan tak peduli satu sama lain menyebabkan kota Batam seolah tak punya jiwa dan jadi kota tak berbudaya. Pendatang kian banyak. Jumlah pe-ngangguran terus membengkak. Lapangan kerja, terutama untuk laki-laki makin sempit. Pengemis memenuhi perempatan jalan. Tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal terlunta-lunta. Anak jalanan berkeliaran. Semuanya bermuara pada me-ningkatnya angka kriminalitas.
Disisi lain, gedung-gedung dan bangunan seolah melesak dari perut bumi dan memenuhi tanah kota. Orang segera merasa asing. Selain ini bukan tanah kelahiran, di kota yang keras dan gersang inilah masa depan dipertaruhkan. Mau pulang kampung? Malu. Jalan kembali sudah samar-samar.
Disparitas pendapatan begitu besar. Yang satu mengumpulkan lembar demi lembar uang ribuan lusuh dan kumal, yang lain berhitung dengan dolar. Sebagian jalan kaki dengan tubuh berkeringat asin, yang lain bermobil mewah dan ber-AC dan kursi empuk. Kecemburuan sosial, rasa frustrasi sosial campur aduk dalam perasaan dan benak mereka.
Ada yang sanggup bertahan di Batam dan jadi pemenang, ada pula yang tidak tahan dan siap-siap menjadi pecundang. Ketika akal sehat sudah buntu, jalan lurus tak lagi tampak dan jalan pintas pun ditempuh. Aksi kejahatan hanya tinggal menunggu kesempatan.
Apa yang diharapkan dari wajah kota seperti itu? Segala cara dilakukan agar bisa bertahan hidup di kota yang keras dan penuh persaingan ini. Termasuk meminta-minta, mencopet, jambret sampai pada perampokan dan pembunuhan. Memang menakutkan.
Amatilah cara kerja pencopet. Ada yang menjuluki ini kerja CV dua jari lantaran menggunakan ‘’ketrampilan” jari tangan menyikat dompet korban, ada pula yang menama-kannya ‘’anak bola” lantaran dompet hasil jarahan dioper-o-per seperti bola dan korban jadi bulan-bulanan.
Aksi jambret lain lagi dan lebih berani. Biasanya para penjahat kelas ini bekerja berdua-dua. Yang satu jadi ‘’pilot” alias yang mengendarai sepeda motor dan sekaligus menjadi penunjuk siapa korban, dan yang satunya sebagai ‘’tu-kang tembak” yang menyikat tas yang disandang korbannya. Selain bersenjata tajam, aksi jambret mulai menggunakan senjata api.
Belakangan, tukang palak alias pemeras mulai mengganas. Mulanya minta, tapi kalau tak diberi dipaksa. Korban dikuntit dan dikerubuti beramai-ramai sambil minta uang. ‘’Tidak hanya pejalan kaki, supir taksi pun kerap jadi korban. Mereka stop taksi, lalu memaksa minta uang,” cerita seorang supir taksi.
Maka, tidak heran, kalau catatan angka kejahatan polisi di Polresta Barelang makin bertambah saja. Begitu pula di rumah tahanan Batam yang melebihi kapasitas. Sel berjeruji besi itu dipenuhi penjahat pencurian dengan keke-rasan dan pemberatan. Di pinggiran dan berbagai lokasi, rumah liar bertebaran. Hitung saja, berapa jiwa yang tinggal di ruli, jika jumlah rumah bermasalah dan bikin pening Otorita dan Pemda itu mencapai 37.500 unit. Rumah liar seolah noda yang mencoreng wajah Batam ditengah keberhasilannya yang selalu digembar-gemborkan.
Kasus copet dan jambret, seakan-akan menjadi terbiasa di kota yang ser-ba mahal ini. Sementara, gaya hidup konsumtif yang ditawarkan toko-toko yang menjual barang bermerek dan made in luar negeri, seolah merayu-rayu orang untuk merogoh kocek.
Hiburan malam pun tak ketinggalan memicu orang mencari uang dengan cara apa saja. Halal atau tidak, itu urusan belakangan. Mulai dari wanita-wanita penghibur alias lontong sampai bencong, bronces dan lelaki hidung belang, ma-syarakat tanpa kontrol sosial, lengkap sudah Batam menjadi kota yang bebas.
Dalam ilmu kepolisian, ada dua faktor orang berbuat jahat, yakni ada niat dan terbuka kesempatan. Himpitan hidup dan kota yang tak tentu arah men-ye-babkan, niat jahat berusaha mencari-cari ke-sempatan. Ini dimanfaatkan oleh penjahat. Kasus-kasus pencurian, copet, jamret dan perampokan silih berganti. Kalaulah semua orang melapor, dipastikan catatan kejahatan terus bertambah.
Belakangan, tukang palak alias pemeras, kian merajalela. Ada yang dila-kukan oleh bocah ingusan yang berpura-pura belum makan, sampai pada pre-man yang memeras secara terang-terangan. Keadaan ini memang menyesakkan. Sayangnya, tak semua korban mau mengadu lantaran kasus yang dialami-nya kerap dianggap sebagai nasib sial belaka.
Kejahatan memang sama tuanya dengan peradaban manusia. Mengikis habis aksi kejahatan adalah mustahil. Namun meminimalisasinya, bisa dilakukan. Namun beban memerangi pen-jahat, tidak semuanya bisa dibebankan ke pundak polisi. Sebab, tanpa bantuan masyarakat, polisi juga tak bisa berbuat banyak. Penjahat dengan gampang melarikan diri ke rumah-rumah liar atau ber-sarang di rumah-rumah kosong dan tak dihuni. Ditambahnya lampu-lampu mercury di malam hari, diharapkan bisa mengurangi aksi kejahatan ini.
Suram? Inilah wajah Batam dekade 90-an hingga awal milenium baru tahun 2000-an. Catatan kelam ini diharapkan menjadi cermin dan mimpi buruk kota perbatasan, dan menjadi lebih baik di masa depan. ***