By Socrates –Jembatan Barelang adalah ikon wisata Batam. Anda dianggap belum ke Batam, sebelum singgah di jembatan yang jadi maskot dan kebanggaan warga Batam ini. Barelang adalah singkatan Batam, Rempang, Galang yang terhubung oleh enam jembatan.
Jembatan Barelang arsitekturnya unik. Jembatan ini merupakan pionir the cable stayed bridge pertama di Indonesia. Dibangun Oktober 1993 dan diresmikan tanggal 10 Agustus 1998, tak terasa usia jembatan Barelang tahun 2023 ini memasuki 25 tahun.
Batam adalah rangkaian 329 pulau-pulau kecil dan luasnya 415 km2 atau 67% luas dari Singapura. Dengan dihubungkan jembatan Barelang, luasnya menjadi 715 km2 atau 13% lebih besar dari Singapura.
Pertanyaannya adalah, seperti apa dampak ekonomi terhadap Pulau Batam sejak tersambung melalui enam jembatan Barelang? Apakah nilai investasi sebesar Rp370 Miliar sudah break event point? Berapa nilai investasi yang masuk ke kawasan Rempang dan Galang?
Teori Balon BJ Habibie
Saat menjadi Ketua Otorita Batam (1978 -1998) BJ Habibie punya gagasan jauh ke depan. Ia melontarkan teori balon saat membangun Batam. Ia yakin, suatu saat Singapura bakal penuh dan memerlukan lahan baru. Pilihan itu, bakal jatuh ke Batam.
Tanggal 19 Juni 1992 Presiden Soeharto memutuskan memperluas wilayah kerja Otorita Batam menjadi Pulau Batam, Rempang dan Galang serta 39 pulau kecil di sekitarnya yang disebut Barelang. Enam jembatan, menyatukan Pulau Batam, Tonton, Nipah, Setoko, Rempang, Galang dan Galang Baru. Barelang menjadi tanah harapan pengembangan Batam di masa depan.
Habibie berkeliling menelusuri gugusan pulau Batam, Rempang dan Galang menggunakan helikopter. Dengan telunjuknya, Habibie menarik garis untuk menghubungkan pulau Batam hingga ke pulau Galang Baru ke arah Selatan. Ide membuat jembatan plus jalan trans Trans Barelang kemudian tercetus. Keenam jembatan ini, mulai dibangun Oktober 1993 dan selesai bertahap tahun 1996 hingga 1998.
Tidak banyak yang tahu, Ir. Gunawan Hadisusilo yang saat itu Asisten I Bidang Umum Ketua Otorita Batam ditunjuk sebagai ketua tim pembangunan jembatan dan menyusun desain dan kerangka teknisnya. Namun, nama Gunawan nyaris tak terdengar.
Pada saat meresmikan Jembatan Barelang pada tanggal 10 Agustus 1998, Habibie bercerita, ia naik speed boad mengunjungi pulau-pulau di Rempang dan Galang dan speed boat yang ditumpanginya bocor. Dengan kejeliannya, ia melihat gugusan pulau-pulau seperti Rempang, Galang, Tonton, Nipah dan Galang Baru, bisa disatukan dengan jembatan.
Sejatinya, jembatan ini bernama Tengku Fisabilillah, namun masyarakat lebih senang menyebutnya dengan Jembatan Barelang ketimbang nama aslinya. Keenam jembatan ini, diberi nama pahlawan dari Riau sebagai berikut:
- Jembatan Tengku Fisabilillahjembatan pertama yang menghubungkan Pulau Batam dengan Pulau Tonton. Memiliki panjang 644 meter dengan bentang jembatan 530 meter, tingginya 38 meter di atas permukaan air laut.
- Jembatan Nara Singa IIyang panjangnya 420 meter, penghubung antara Pulau Tonton dan Pulau Nipah.
- Jembatan Raja Ali Haji, panjangnya 270 meter yang menghubungkan Pulau Nipah dengan Pulau Setoko.
- Jembatan Sultan Zainal Abidin panjangnya 365 meter penghubung Pulau Setoko dan Pulau Rempang.
- Jembatan Tuanku Tambusaipanjangnya 385 meter, menghubungkan Pulau Rempang dengan Pulau Galang.
- Jembatan Raja Kecilpanjangnya 180 meter penghubung Pulau Galang dengan pulau terujung, yaitu Pulau Galang Baru.
Panjang jalan dari Pulau Batam sampai ke Pulau Galang Baru adalah 70 kilometer dibangun dalam waktu lima tahun dengan total biaya Rp370 Miliar. Kabarnya, sejak diresmikan 25 tahun lalu, biaya perawatan jembatan Barelang mencapai Rp5 Miliar per tahun.
Sejak gugusan tujuh pulau-pulau tersambung oleh enam jembatan ini, pulau Batam berganti nama menjadi Batam, Rempang dan Galang (Barelang) dan terasa makin luas, mencapai 715 Km2 menyatukan Pulau Batam, Tonton, Nipah, Setoko, Rempang, Galang dan Galang Baru. Seluruh wilayah kerja Otorita Batam ini dinyatakan sebagai daerah bonded atau kawasan berikat.
Tata Ruang Rempang Galang
Setahun setelah Presiden Soeharto memutuskan memperluas wilayah kerja Otorita Batam menjadi Pulau Batam, Rempang dan Galang atau Barelang, rencana tata ruang Rempang dan Galang pun disusun. Otorita Batam bekerja sama dengan Lembaga Teknologi Uni-versitas Indonesia, menyusun Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Rempang dan Galang.
Pada tahun 1993 saja, kebutuhan lahan untuk pengembangan industri dan jasa di Batam mencapai 46 ribu hektar. Sedangkan lahan yang tersedia hanya 15 ribu hektar. Jarak Rempang dan Galang dari Batam hanya 2,5 kilometer. Sedangkan lahan yang disediakan kedua pulau masing-masing adalah 16.838 dan 8.550 hektar.
Menurut RUTR di Pulau Rempang dan Galang akan dikem-bangkan industri ringan bebas polusi serta industri perangkat lunak (software). Sementara itu di Batam sendiri akan dikembangkan industri perang-kat keras (hardware).
Ada tiga skenario pengembangan. Pertama, diperkirakan pertum-buhan pembangunan Rempang-Galang bergerak mengikuti Batam. Kedua, pertumbuhan ekonomi pada skenario ini ditargetkan mencapai pertumbuhan optimal.
Tambahan areal lahan yang Rempang-Galang akan mem-bentuk situasi pasar yang efisien pada sektor real estate dan properti. Pendapatan pemerintah melalui UWTO dapat meningkatkan investasi pemerintah dalam bidang infrastruktur dan fasilitas ling-kungan.
Dan yang terakhir, dengan skenario ini ditargetkan Rempang-Galang men-capai tingkat pertumbuhan maksimal. Hal ini bisa dicapai dengan memak-simalkan kinerja sektor ekonomi khususnya pariwisata dan industri non-polutif sebagai pemacu pertumbuhan. Upaya ini dapat menarik wisatawan dan investasi asing sebanyak-banyaknya ke Pulau Batam.
Namun, apa yang terjadi dengan Rempang Galang setelah menjadi Barelang? Apa dampak ekonomi terhadap Batam? Mengapa lahan Barelang status quo belasan tahun?
Padahal, Rempang dan Galang sungguh potensial. Rencananya, di Rempang, seluas 217 hektar disiapkan untuk kawasan industri, permukiman 656,59 hektar, pariwisata seluas 447,14 hektar, fasilitas umum 127,82 hektar, jasa 181,04 hektar, dan pertanian 1.198,57 hektar. Sementara di Galang, disiapkan seluas 98 hektar untuk industri, perumahan 422,60 hektar, pariwisata 811,39 hektar, fasilitas umum 109,23 hektar, jasa 51,34 hektar dan pertanian 817,19 hektar.
Tapi, apa yang terjadi? Meski Pemerintah telah menetapkan Pulau Rempang dan Pulau Galang sebagai kawasan zona perdagangan bebas dan pelabuhan bebas tapi implementasi investasi terkendala oleh status lahan. Padahal, pengelolaan kedua pulau itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007.
‘’Lahan itu masih status quo,’’ kata Walikota Batam Ahmad Dahlan, saat itu kepada wartawan. Ia menjelaskan, pemerintah daerah telah mengirim surat ke Badan Pertanahan Pusat di Jakarta menyangkut status lahan di kedua pulau itu. Sebab banyak investor yang tertarik menanamkan modalnya di sana untuk industri galangan kapal (shipyard). Tapi belum ada jawaban. Maka pemerintah daerah belum memberi izin kepada investor.
Kewenangan atas lahan Rempang Galang, masih tanda tanya. Apakah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) sesuai Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 mengenai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Atau oleh Pemko Batam sesuai Undang-Undang Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa pelayanan pertanahan adalah kewenangan pemerintah daerah.
Atau oleh Otorita Batam yang memiliki dasar hukum hak terhadap kawasan Rempang dan Galang adalah Keppres Nomor 28/1992 dan Instruksi Menteri Negara Agraria Nomor 9/1993 yang mengatakan bahwa wilayah Rempang dan Galang adalah penambahan wilayah kerja OB dan kesediaan pemerintah memberikan hak pengelolaan tanah (HPL) kepada OB. Inilah ajaibnya Batam. Padahal, mereka sama-sama lembaga pemerintah. Ha..ha..ha.
Pada masa-masa itu, sebagian lahannya sudah dikapling-kapling dan diperjualbelikan dan digarap para spekulan tanah yang berharap kaya mendadak ketika lahan di kawasan itu dibebaskan. Ada yang dijadikan kebun, kolam dan pertenakan ikan. Ada pula yang mematok-matok lahan dan membeli dengan harga miring dari warga setempat.
Pernah terbetik kabar, tahun 2004 pengusaha Tommy Winata akan menginvestasikan uangnya membangun kawasan wisata terpadu eksklusif (KWTE) dan kawasan wisata terpadu (KWT) di Pulau Rempang dan Pulau Galang. Namun, proyek kontraversial itu batal. Padahal, sudah ada nota kesepakatan bersama (Memorandum of Understanding) dan perjanjian tentang pengembangan dan pengelolaan KWTE dan KWT di Pulau Rempang.
Luas lahan yang akan dialokasikan mencapai 17.000 hektar dengan nilai investasi mencapai Rp9 Triliun. Namun, impian Pemko Batam punya kota megapolitan dengan menjadikan Rempang dan Galang sebagai kawasan wisata terpadu berhadap-hadapan dengan Singapura dan Malaysia, kandas.
Kontroversi itu bermula dari keinginan menjadikan kawasan Barelang sebagai lokasi perjudian. Sejumlah pejabat Batam serta anggota DPRD studi banding ke kawasan perjudian Genting, Kuala Lumpur, Malaysia September 2001. Pemerintah Kota Batam mengajukan draft Peraturan Daerah (Perda) tentang kepariwisataan, langsung disetujui DPRD Batam 8 Oktober tahun itu juga.
Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif (KWTE) sementara pun disetujui tahun 2002. Yang mengejutkan, lokasi yang ditunjuk itu bebas menjalankan berbagai jenis perjudian seperti baccarat, roullete, craps, ji si kie, pay kyu, blackjack, sam-pai poker dan soal jenis judi itu justru tertuang dalam nota kesepakatan. Akibatnya, gejolak di masyarakat pun membuncah dalam bentuk aksi demo.
*****
Kendati sudah terhubung jembatan, kawasan Rempang dan Galang ibarat tidur panjang. Tidak adanya kepastian hukum soal lahan. Status Quo lahan memakan waktu 13 tahun! Siapa yang berwenang mengalokasikan lahan dan membangun kawasan potensial itu: Otorita Batam atau Pemko Batam.
Skenario besar pemanfaatan jembatan Barelang sebagai pusat pertumbuhan perekonomian baru sebatas rencana dan di atas ker-tas belaka. Inilah dampak nyata ego sektoral, puncak dualisme antara Otorita Batam dan Pemko Batam.
Barulah secara resmi Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Batam, Memby Untung Pratama, menyatakan bahwa Rempang-Galang tidak lagi berstatus quo sejak 2011. Status quo itu otomatis hilang dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5/2011 tentang perubahan atas PP Nomor 46/2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batam.
Visit Batam 2010
Tak bisa dipungkiri, sejak adanya jembatan Barelang, sektor pariwisata yang paling berkembang. Tidak saja warga Batam yang mau jalan-jalan, juga wisatawan nusantara dan mancanegara. Apalagi, Pulau Galang menjadi destinasi wisata sejarah.
Pulau Galang pernah dijadikan tempat penampungan sedikitnya 250.000 pengungsi dari Vietnam pada tahun 1975-1996.
Kisah Camp Vietnam dimulai 19 April 1975, saat pecah perang saudara di Vietnam. Bekas tempat pengungsian di Desa Sijantung, Kecamatan Galang ini masih menyisakan benda atau bangunan peninggalan para pengungsi seperti, gereja, pagoda, vihara, kuburan massal, ataupun bekas perahu-perahu kayu.
Pemerintah Kota Batam menjadikan Jembatan Barelang sebagai simbol kota dan juga ikon untuk program Visit Batam 2010. Sejumlah restoran, hotel dan café hadir di Barelang.
Maka tak heran, jika pada akhir pekan atau hari libur, jembatan Barelang ramai dikunjungi. Yang lebih cerdik adalah penjual jagung bakar, warung-warung di pinggir jalan, pedagang keliling yang memanfaatkan kedatangan warga Batam melintasi 54 kilometer jalan ke kawasan Rempang Galang.
Sejak 27 September 2019, dualisme antara Pemko Batam dan Otorita Batam yang sudah berganti nama menjadi BP Batam berakhir sudah dengan dilantiknya Wali Kota Batam Muhammad Rudi sebagai ex officio Kepala BP Batam.
Mestinya, tak ada masalah lagi dengan investasi di kawasan Rempang Galang. Namun, siapa sangka wabah Covid-19 melanda dunia. Sejak tanggal 8 Maret 2020, Rumah Sakit Khusus Infeksi Penyakit Menular (RSKI) dibangun siang malam, di Pulau Galang dan diresmikan 6 April 2020.
Yang jelas, secara berkala jembatan Barelang mesti dirawat dan dijaga. Misalnya, mengukur ketegangan kabel baja berukuran besar dei sisi jembatan, lalu ujung lainnya terkumpul pada satu titik di atas puncak tonggak beton setinggi 200 meter. Caranya, memasang sensor di kabel atau sling baja itu.
Sayangnya, kesadaran warga Batam dan wisatawan menjaga jembatan ini terbilang rendah. Puluhan mobil dan motor, sering parkir di atas jembatan, saat pengemudi dan seisi mobil berfoto ria. Mobil patrol petugas Direktorat Pengaman BP Batam, harus bolak balik meminta pengunjung tidak parkir di atas jembatan. Mereka lupa yang satu ini. Usia jembatan Barelang sudah 25 tahun. ***