By Socrates – Apa yang terjadi saat pertumbuhan penduduk, pembangunan pabrik, ruko dan perumahan yang terus meningkat di Batam? Lahan terbatas dan habis. Selain reklamasi, jawabannya adalah mengincar lahan di Rempang dan Galang.
Reformasi dan otonomi daerah menyebabkan dualisme antara Otorita Batam dan Pemko Batam, makin kentara di awal dekade 2000-an. Perkembangan Batam makin pesat. Habibie setuju dibentuknya Pemerintah Kota Batam, dua puluh tahunan sebelumnya. Dengan peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1983 Batam, menjadi kota administratif. Ada tiga kecamatan, yakni kecamatan Belakangpadang, Batam Barat dan Batam Timur, sebelas desa dan satu kelurahan saat itu. Saat terbentuknya Kotamadya Batam tahun 1983, wilayah Rempang-Galang bergabung dan berpisah dari Kabupaten Kepulauan Riau.
Sejak Batam jadi kota administratif itulah, bibit dualisme Otorita Batam dan Pemko Batam muncul. Peraturan Pemerintah yang mengatur hubungan kerja kedua lembaga ini juga menyiratkan agar tak terjadi tumpang tindih (over-lapping) satu sama lain. Dualisme dan tumpang tindih antara instansi ini tidak hanya terjadi antara Pemko Batam dan Otorita Batam, tetapi juga antara Pemerintah Daerah Tingkat I Riau dan Pemda Tingkat II Kotamadya Batam.
Misalnya, dalam kasus pengerukan dan penambangan pasir di Batam dan Kepulauan Riau yang diekspor ke Singapura. Pengerukan atau pengambilan pasir laut dan darat, merupakan wewenang Otorita Batam. Sedangkan penambangan pasir darat atau pasir bangunan adalah wewenang Gubernur Riau.
Mengapa sesama pemerintah berebut wewenang?
Sebab, ekspor pasir ke Singapura memang sangat menguntungkan. Pasarnya luas. Singapura perlu pasir yang banyak untuk reklamasi dan bangun pelabuhan. Otorita Batam menerima fee 2 Dolar Singapura per meter kubik pasir.
Hitung saja berapa uangnya, dikalikan volume pasir yang sudah dipasok ke Singapura. Habibie yang saat itu Menristek merangkap Ketua Otorita Batam mengirim surat ke Kabalak Otorita Batam dan Walikota Batam tanggal 27 Mei 1985. Isinya, tentang pembagian tugas dan wewenang keduanya.
Tugas Otorita adalah pembangunan infrastruktur, sedang tugas wali kota menertibkan rumah liar, mengurus sampah, mengelola pasar dan pedagang kaki lima serta parkir. Tentu saja, wali kota dan pegawai Pemko, sakit hati.
Potensi konflik berkaitan dengan kewenangan pulau ini antara Pemko Batam dan Otorita Batam, ditekan sedemikian rupa di bawah kekuasaan Orde Baru. Era reformasi menjadi cantolan hukum berupa UU Otonomi Daerah, membuat Pemko Batam lebih berani ‘’menentang” Otorita Batam secara terang-terangan. Perlawanan ini sudah muncul sejak era walikota RA Aziz.
Reformasi bergulir cepat ke Batam. Pada Maret 1998, Habibie yang menjadi Wakil Presiden. Ia digantikan adik kandungnya Fanny Habibie jadi Ketua Otorita Batam. Tanggal 21 Mei 1998, Soeharto mengundurkan diri dan digantikan Habibie. Merasa tidak enak dan khawatir dianggap Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) Fanny Habibie juga mengundurkan diri sebagai Ketua Otorita Batam dan digantikan Ismeth Abdullah yang dilantik 15 Juli 1998 sebagai Ketua Otorita Batam.
Batam kemudian menjadi kota otonom. Pemerintah memberlakukan UU Nomor 22/1999 dan UU Nomor 25/1999 tentang Otonomi Daerah dan Perim-bangan Keuangan Pusat dan Daerah, konsekuensinya adalah keharusan Batam memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Masalahnya, pemilu tahun 1999, di Batam tidak ada kotak suara untuk daerah pemilihan tingkat II. Warga Batam hanya mencoblos tanda gambar untuk pemilihan daerah Tingkat I dan Pusat. Lalu, keluar Keputusan Presiden Nomor 110 Tahun 2000. Pada tahun 1999 itu, DPRD Kota Batam akhirnya terbentuk. Ketua DPRD periode 1999 sampai 2004 adalah Taba Iskandar. Nyat Kadir terpilih sebagai wali kota dan Asman Abnur sebagai wakil wali kota pada Februari 2001. Atas nama otonomi daerah, ada anggapan secara implisit dari pegawai Pemko Batam, inilah era pemerintah kota Batam yang selama ini dikebiri.
Kabar perseteruan dan dualisme ini menyebar hingga ke Jakarta. Pasalnya, Pemko Batam dipimpin Wali Kota Nyat Kadir serta beberapa anggota DPRD Batam ramai-ramai ke Jakarta, melaporkan berbagai masalah yang timbul di Batam ke Deperindag dan Depdagri. Malah, mantan Sekretaris Ketua Otorita Batam Rudy Alfonso, juga ”menyeberang” ke Pemko Batam dan ditunjuk menjadi Kepala Perwakilan Pemko Batam di Jakarta.
Apa saja dualisme yang terjadi?
Kewenangan yang tumpang tindih antara Otorita dan Pemko Batam antara lain, perencanaan dan pengendalian pembangunan, perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang, penyediaan sarana dan prasarana umum, pengendalian lingkungan hidup, pelayanan pertanahan dan pelayanan administrasi penanaman modal.
Kewenangan Otorita Batam multi fungsi. Sebagian fungsi pemerintahan, pemberian izin, pelayanan masyarakat, pertanahan. Sebagian lagi fungsi pembangunan, dimana Otorita Batam mengelola sarana dan prasarana seperti bandara, pelabuhan laut, listrik, air minum, dan rumah sakit.
Sementara, wewenang Pemko Batam juga sangat luas. Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada pasal 14 ayat (1) wewenang Pemerintah Kota Batam antara lain, perencanaan dan pengendalian pembangunan, perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, penyediaan sarana dan prasarana umum, penanganan bidang kesehatan, penyelenggaraan pendidikan, penanggulangan masalah sosial, pelayanan bidang ketenagakerjaan, fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah, pengendalian lingkungan hidup, pelayanan pertanahan, pelayanan kependudukan dan catatan sipil, pelayanan administrasi umum pemerintahan, pelayanan administrasi penanaman modal serta penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya.
Perseteruan antara Pemko dan Otorita Batam juga muncul dalam perencanaan, pemanfaatan , dan pengawasan tata ruang.
Dalam UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, Pemko memiliki kewajiban untuk menyusun Rencana Penataan Ruang atau Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Namun, Pemko tidak memiliki kewenangan dalam pengawasan tata ruang di wilayah kota Batam karena hal ini terkait dengan kewenangan pemberian izin penggunaan lahan yang masih dipegang oleh Otorita Batam. Malah, setahun setelah Undang-undang RTRW ini keluar, pada tahun 1993 Otorita Batam bekerja sama dengan Lembaga Teknologi Universitas Indonesia, menyusun Rencana Umum Tata Ruang (RUTR).
Akibat berlarut-larutnya dualisme antar lembaga ini, pada gilirannya membawa dampak yang amat serius bagi keseimbangan tata guna lahan kota Batam yang notabene sangat terbatas.
Sampai saya menulis dan menerbitkan buku berjudul Amazing Batam tahun 2008, belum jelas siapa yang menetapkan rencana tata ruang kawasan Barelang.
Bertambahnya wilayah kerja Otorita Batam melalui Keppres Nomor 28 Tahun 1992 yang diteken presiden Soeharto yang memutuskan penambahan wilayah kekuasan Otorita Batam dengan memasukkan Rempang dan Galang sebagai kawasan berikat, termasuk beberapa pulau kecil di kawasan itu, tampaknya tidak langsung diikuti pemberian Hak Pengelolaan Lahan (HPL) seperti halnya di Pulau Batam.
Buktinya, Kementrian Agraria dan Tata Ruang baru menyerahkan HPL ke BP Batam bulan Agustus 2023.
Sejak kapan dan sampai kapan lahan di Rempang dan Galang dilabel status quo? Ada yang menyebutkan sejak tahun 2002, pada saat Pemko Batam mengeluarkan surat edaran yang melarang camat dan lurah melayani pengurusan surat tanah, baik perorangan maupun badan hukum.
Yang jelas, sejak 29 September 1986, Menteri Kehutanan menetapkan Rempang sebagai taman buru dengan luas kawasan 16.000 hektar. Pulau Rempang dipilih sebagai salah satu kawasan perlindungan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya berdasarkan keadaan populasinya, letaknya juga berdekatan dengan Malaysia dan Singapura serta dilalui jalur perdagangan dunia sehingga dinilai cukup potensial sebagai kawasan wisata, bagi bisnis perburuan.
Selain itu , sejumlah area sudah ditetapkan menjadi hutan konservasi. Di dalam hutan konservasi itu juga terdapat hutan buru. Sesuai dengan PP Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, status hutan konservasi itu harus diturunkan menjadi hutan lindung. Dari hutan lindung, statusnya kemudian diturunkan menjadi hutan produksi. Selanjutnya diturunkan lagi menjadi hutan produksi yang bisa dikonversi. Barulah bisa menjadi areal penggunaan lain (APL) atau lahan yang bisa dialokasikan untuk kepentingan komersial atau investasi.
Kewenangan atas lahan Rempang Galang, masih tanda tanya. Apakah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) sesuai Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 mengenai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)? Atau oleh Pemko Batam sesuai Undang-Undang Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa pelayanan pertanahan adalah kewenangan pemerintah daerah?
Atau oleh Otorita Batam yang memiliki dasar hukum hak terhadap kawasan Rempang dan Galang adalah Keppres Nomor 28/1992 dan Instruksi Menteri Negara Agraria Nomor 9/1993 yang mengatakan bahwa wilayah Rempang dan Galang adalah penambahan wilayah kerja OB dan kesediaan pemerintah memberikan hak pengelolaan tanah (HPL) kepada Otorita Batam?
Apa yang terjadi selama lahan di Rempang Galang dinyatakan status quo? Mengapa pemerintah pusat membiarkan masalah ini berlarut-larut? Tidak adanya kepastian hukum menyebabkan Rempang dan Galang seperti terlelap dalam tidur panjangnya.
Dualisme antara Otorita Batam yang berganti nama menjadi Badan Pengusahaan Batam dengan Pemko Batam dianggap berakhir dan selesai ketika pada 27 September 2019, Muhammad Rudi dilantik menjadi Kepala BP Batam. Rudi adalah orang pertama yang menjadi Wali Kota Batam ex-officio Kepala BP Batam.
Jangan-jangan, dualisme itu beralih ke diri Rudi. Sebagai wali kota, ia harus mengurus masyarakatnya sejak lahir, mengeluarkan akte kelahiran, kesejahteraan hidup masyarakatnya, sampai mati dengan mengeluarkan surat keterangan kematian. Sementara sebagai Kepala BP Batam, ia adalah perpanjangan tangan pusat yang ditugaskan menarik investasi ke Batam, Rempang dan Galang.
(*)
(bersambung)
Baca : Lahan Status Quo dan Investor Lokal – Rempang, Tanah Harapan yang Jadi Incaran (4)
[…] Baca : Dualisme Otorita – Pemko Batam dan Tata Guna Lahan – Rempang, Tanah Harapan yang Jadi Incara… […]
[…] Artikel ini terbit pertama kali di : socratestalk.com […]