Socratestalk.com, BATAM – Tekad mewujudkan sekolah ramah anak terus digesa di seluruh sekolah Indonesia. Berbagai upaya terus dilakukan Pemerintah lewat Kemendikbud dengan mengeluarkan kebijakan dan mengimplementasinya di satuan pendidikan. Yang terbaru adalah terbitnya Permindukbud Nomor 46 tahun 2023 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan yang dikeluarkan Agustrus 2023 lalu.
Keluarnya Permendikbud tersebut langsung direspon oleh SMKN 4 Batam dengan menggelar kegiatan pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan sekolah dengan mengandeng Lembaga Perlidungan Anak (LPA) Batam. Setyasih Priherlina, Ketua LPA Batam dan Eri Syahrial, Sekretaris LPA Batam memberikan pemahaman kepada siswa-siswi SMKN 4 Batam tentang kekerasan di sekolah.
Kegiatan ini dibuka Kepsek SMKN 4 Batam Ahmad Taher , Kamis (21/9/2023) dari pagi hingga siang di Aula SMKN 4 Batam yang diikuti ratusan siswa-siswi SMKN 4 Batam.
‘’Kegiatan ini kita lakukan secara bertahap. Targetnya semua anak didik kami mendapatkan penyuluhan soal aksi perundungan di sekolah sehingga kekerasan bisa dicegah dan bila terhadi bisa ditangani dengan baik,’’ ujar Ahmad Taher.
Dalam paparannya, Setyasih melarang adanya aksi perundungan di sekolah dan menjelaskan bentuk-bentuk perundungan yang sering terjadi seperti verbal bullying, sexual bullying , cyber bullying dan lainnya. Setyasih juga berdialog dengan pelajar tentang dampak perundungan yang dilakukan baikl terhadap korban maupun terhadap pelaku sendiri.
Sementara itu, Eri Syahrial kepada siswa-siswi SMKN 4 Batam menjelaskan pentingnya membangun pemahaman para pelajar terhadap hak-hak anak dan kewajiban anak serta adanya perlindungan negara terhadap anak.
Pelajar juga harus diberitahu potensi kasus kenakalan remaja dan kriminalitas yang dilakukan pelajar sehingga ia bisa bermasalah secara hukum yang berakibat ia masuk dalam proses hukum dan anak terancam pendidikannya. Kemana anak bisa mengadu dan bagaimana cara penanganan permasalahan yang dihadapi anak.
‘’Kebanyakan anak tidak mengetahui berapa batas usia anak, apa hak-haknya, dan apa bentuk perlindungan yang diperoleh ketika ia menemui masalah seperti menjadi korban atau pelaku dari tindak pidana,’’ ujar Erry kepada para pelajar.
Bila terjadi kekerasan di lingkungan sekolah, lanjut Eri, sekolah menjadi pihak pertama yang mengetahui masalah yang terjadi, melakukan upaya-upaya penanganan yang baik sehingga bisa diselesaikan , assesmen dan memberikan bantuan pada korban kekerasan, koordinasi dan melibatkan pihak terkait dan lainnya.
‘’Pelajar yang menjadi korban kekerasan harus melapor (speak up) kepada guru atau tim pencegahan dan penanganan kekerasan yang dibentuk di sekolah. Kalau korban diam maka biasanya kekerasan terjadi dan berulang,’’ urai Eri
Dipaparkan Eri Syahrial, dengan terbitnya Permendikbud No. 46 tahn 2023 maka ada lima poin penting yang harus dilakukan satuan pendidikan. Pertama, memfokuskan pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah kepada peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan. Kedua, harus adanya defenisi dan bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi di sekolah.
Ketiga, pembentukan tim pencegahan dan penanganan kekerasan (TPPK) di sekolah. Keempat, adanya mekanisme pencegahan yang terstruktur dan peran masing-masing pihak. Kelima, adanya alur koordinasi penanganan kekerasan lebih rinci antara sekolah, pemerintah daerah dan Kemendikbud.
Fakta Kekerasan di Sekolah
Fakta yang ditemukan di lembaga pendidikan di Indonesia menunjukkan bahwa masih sering terjadi kekerasa n di sekolah hingga saat ini. Aksi kekerasan yang sering terjadi di sekolah sering kali disebut perundungan atau bullying. Ada tiga bentuk kekerasan yaitu fisik, psikis dan seksual.
Korban dari kekerasan tersebut adalah siswa, namun juga ada guru. Pelaku dari kekerasan tersebut adalah siswa, guru dan tenaga kependidikan. Bahkan tidak tertutup kemugkinan adalah pelaku kekerasan dari orang luar yang masuk ke lingkungan sekolah. Seperti kasus kekerasan mata guru diketapel oleh orangtua siswa yang terjadi di Rejang Lebong Bengkulu sehingga bola mata guru menjadi pecah dan cacat permanen.
Kasus kekerasan di satuan pendidikan di Indonesia terbilang tinggi. Untuk meredam kekerasan di sekolah, tahun 2014, pernah dilakukan revisi UU no 23 Tahun 2023 tentang Perlindungan Anak. Banyak pasal yang direvisi karena dunia anak berkembang secara dinamis.
Hasil revisi tersebut lahirlah UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Diantara pasal yang dimunculkan dalam UU Perlindungan Anak yang baru ini adalah perlindungan anak di satuan pendidikan dari kekerasan disik, psikis dan kejahatan seksual.
Bahkan apabila guru dan tenaga kependidikan yang menjadi pelaku kekerasan pada anak di sekolah dikenakan pemberatan sanksi pidana, yaitu ditambah sepertiga dari pidana pokok. (es)