Socratestalk.com – Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Batam memberikan pembekalan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan yang mulai diterapkan di SDIT Asy Syuuraa, Sagulung, Kota Batam, Kamis (16/11/2023).
Pembekalan ini diberikan Sekretaris LPA Batam Eri Syahrial kepada pimpinan dan majelis guru SDIT Asy Syuuraa, perwakilan orangtua siswa dan perwakilan siswa di ruang pertemuan majelis guru SDIT Asy Syuuraa.
Sebelumnya, SD Asy Syuuraa sudah membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) yang beranggotakan unsur guru, unsur komite sekolah dan unsur walimurid. Namun dalam melakukan tugasnya, tim merasa perlu mendapatkan pembekalan sehingga nantinya berjalan dengan baik.
Dalam paparannya, Eri menjelaskan paradigma pendidikan ramah anak atau tanpa kekerasan yang sudah tren diterapkan di banyak sekolah. Sudah menjadi kebutuhan dan harus diterapkan seiring dengan terjadinya pengarusutamaan hak-hak anak di Indonesia dan dunia.
Di Indonesia, lanjut Eri, bisa kita lihat dari munculnya program Sekolah Ramah Anak, ramainya kegiatan pencegahan perundungan di sekolah, hingga masuk dalam materi perlindungan anak dalam kurikulum Merdeka Belajar, adanya Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Terakhir keluarnya Permendikbud Nomor 46 tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan yang mengharuskan setiap sekolah atau satuan pendidikan membentuk TPPK.
‘’Saat ini banyak sekolah di Batam sudah membentuk TPPK. Bahkan ada TPPK sekolah yang sudah bekerja berdasarkan Permedikbud tersebut dan berhasil mengungkap dan menyelesaikan kasus kekerasan dengan bekerja dengan pihak terkait,’’ ungkap Eri.
Eri Syahrial juga membuka forum diskusi dengan peserta untuk mengetahui pandangan dan permasalahan yang dihadapi sekolah dan guru terkait dengan kekerasan di lingkungan pendidikan.
Seperti yang diungkapkan oleh peserta sosialisasi Anfal Karim, guru SDIT Asy Syuuraa. Katanya, umumnya pandangan dimiliki guru saat ini adalah kesulitan mendisplinkan anak, tidak boleh memarahi anak atau tidak boleh memberikan hukuman pada siswa.
Menjawab kekhawatiran guru tersebut, Eri Syahrial mengatakan silahkan bekerja menjalankan profesi guru dengan mendidik dan mengajar sesuai ilmu pendagogik yang didapatkan. Silahkan juga memarahi dan memberikan sanksi pada siswanya yang telah melakukan kesalahan dengan cara marah dan hukuman yang mendidik sehingga anak belajar dari kesalahannya.
”Tentunya hal tersebut disampaikan dengan bahasa yang baik dan tidak merendahkan harkat martabat anak serta dengan memberikan contoh dan keteladan pada anak,” ujarnya.
Kekerasan pada anak di lingkungan sekolah lebih banyak terjadi siswa dengan siswa yang kerap disebut perundungan. Dijelaskan Eri, anak merupakan juga manusia yang mempunyai jiwa, harkat dan martabat yang harus dihargai oleh siapa pun, termasuk temannya sendiri. Ketika tindakan yang dilakukan pada anak menciderai jiwa, harkat dan martabatnya dengan tindakan seperti perundungan, kekerasan, maka situlah anak muncul konflik.
‘’Ketika anak atau siswa melakukan kesalahan, jangan juga guru atau arangtua membiarkan. Pembiaran seperti itu tidak baik karena membuat anak tidak menyadari kesalahan dan tidak belajar dari kesalahannya. Padahal kesalahan pada anak bagian dari proses tumbuh kembang anak menjadi lebih baik. Kalau dibiarkan justru tambah nakal dan bisa berujung pada kriminal,’’ papar eri.
Untuk menjadi lebih baik, anak butuh didikan, bimbingan, pengawasan dari orangtua di rumah, guru di sekolah dan orang-orang di sekitar anak.
SRA Jadi Keunggulan Sekolah
Penerapan Sekolah Ramah Anak (SRA) bisa memberi dampak positif bagi lembaga pendidikan, guru, orangtua dan masyarakat. Bila tidak ada kekerasan dan konflik yang muncul maka tercipta kepercayaan antara pihak-pihak tersebut.
‘’Mulai saat ini hingga ke depan, SRA merupakan kebutuhan. Orangtua dan mayarakat memprioritaskan anak di sekolah yang tidak ada kekerasan. SRA ini bisa menjadi nilai jual sekolah terutama swasta sehingga lebih diminati calon siswa dan orangtua,’’ kata Eri.
Sulastri guru SDIT Asy Syuuraa juga bertekad melaksanakan Sekolah Ramah Anak di lingkungan sekolahnya sehingga berkurang atau tidak ada lagi kekerasan. Namun ia masih binggung memulainya dari mana.
Eri menambahkan, SRA adalah sekolah yang menerapkan prinsip-prinsip perlindungan anak dalam proses belajar dan segala aktivitas anak di sekolah, dalam aturan sekolah, kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan dan lainnya.
‘’Prinsip-prinsip perlindungan anak tersebut antara lain sekolah menjamin hak untuk hidup, dan tumbuh kembang anak sehingga tidak ada siswa yang alami kekerasan, non diskriminasi, penghargaan terhadap pendapat anak, dan adanya kepentingan terbaik bagi anak,’’ terang Eri lagi.***