TANGGAL 10 bulan ke-7 dalam penanggalan lunar warga Tionghoa. Pasangan Lim Kim Seng dan istrinya Lie Jaun tengah berbahagia. Walau didera kondisi hidup lumayan sulit, mereka baru saja mendapatkan kebahagiaan baru. Seorang bocah lelaki yang kemudian diberi nama Lim Qi Hui lahir ke dunia. Anak pertama mereka dari biduk rumah tangga yang dibina. Kelak, Lim Qi Hui akrab disapa dengan nama Indonesia, Muljadi.
Pada waktu yang sama, di belahan wilayah lain di negeri ini, pekik kemerdekaan baru saja bergema. Negara bernama Indonesia baru saja diproklamasikan di jalan Pegangsaan Timur nomor 56, Jakarta oleh Dwi Tunggal, Soekarno Hatta. Wilayahnya meliputi bekas jajahan Belanda di kepulauan nusantara atau Hindia Belanda.
Bandar Tebing Tinggi Selat Panjang, tempat kediaman pasangan Lim Kim Seng dan istrinya, hanyalah wilayah kecil di pinggiran selat Malaka. Situasi sedang tidak menentu saat itu. Perang dunia kedua bergolak. Serdadu Nippon Jepang menguasai negeri ini sejak 3,5 tahun terakhir.
Di kota Selatpanjang, tentara Jepang sengaja menyembunyikan kabar penyerahan tanpa syarat pasukan jepang kepada sekutu dua hari sebelumnya pada 15 Agustus 1945. Selain menyembunyikan kabar kekalahan tersebut, mereka juga merahasiakan berita proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta pada warga yang tinggal di tanah Jantan (sebutan Selatpanjang tempo dulu, pen) ini.
Orang orang Jepang yang bekerja di perusahaan perusahaan Jepang di Selatpanjang seperti Ataka Sangyo Kabushiki Kaisha, Kaso Kabushiki Kaisha, dan lain lain kelihatan gelisah. Mereka sibuk mempersiapkan diri menuju Pekanbaru.Sebagian lainnya berencana ke Johor Bahru di semenanjung Malaya. Tidak ada satu berita sekalipun yang keluar dari mulut mereka bahwa negeri ini telah merdeka.
Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia akhirnya baru terdengar dan disampaikan ke warga di Selatpanjang Ketika salah satu pemuda dan pejuang di Selatpanjang. Wan Ali Husin menerima berita melalui Pos Telegraf dan Telepon (PTT).
Rakyat ”Tanah Jantan” menyambut kemerdekaan Indonesia dengan antusias.
Mereka menggantungkan harapan bahwa kemerdekaan adalah era baru untuk masa depan yang lebih baik. Kebebasan berpikir, kesempatan memperoleh pendidikan dan terutama perekonomian pasti akan lebih baik jika rakyat suatu negara telah berstatus merdeka.
Di Kota Selatpanjang, semangat nasionalisme sebagai efek dari berita kemerdekaan Indonesia semakin membara. Warganya saling bahu-membahu dan mengesampingkan perbedaan latar belakang. Termasuk dari etnis Tionghoa sebagai kaum pendatang di wilayah ini.
“Kedua orangtuaku sebenarnya tidak terlalu tahu tanggal pasti kelahiranku dalam tahun masehi. Yang mereka ingat, aku lahir pada bulan ketujuh tanggal sepuluh dalam penanggalan lunar ditradisi kami. Setelah waktu kemudian dan aku pelajari ilmu penanggalan Gregorian,persamaan tanggal lunar tersebut jatuh pada 17 Agustus 1945”, tulis Lim Qi Hui atau Muljadi dalam catatan yang ditulisnya di usia senjanya.
Lim Qi Hui alias Muljadi lahir di sebuah rumah kontrakan sederhana tepat pada saat negeri ini diproklamirkan. Ia jadi generasi kedua dari leluhurnya yang dilahirkan di negeri nusantara ini. Namun, nasibnya tidak semujur sang ayah yang sempat menikmati gelimangan materi dari kekayaan sang Kakek yang merupakan perantau kaya dan datang dari daratan Tiongkok puluhan tahun sebelumnya ke Bandar kecil di tepian selat Malaka ini.
Jauh sebelum masa kemerdekaan, leluhur Lim Qi Hui diketahui merantau dari daratan Tiongkok ke Selatpanjang. Mereka berasal dari Kabupaten Yongchun, Fujian, China yang terletak di tepi sungai Jin dan termasuk bagian dari kota Quanzhou.
Bersambung
[…] Selanjutnya : Bandar Tebing Tinggi Selatpanjang 17 Agustus 1945 | ‘Masa-Masa Kecil & Kisah Keluarga‘ – M… […]