PADA pertengahan tahun 1975, terjadi kesalahan jadwal pengiriman kayu ke Jepang oleh mitra usaha Muljadi di bisnis perkayuan. Akibatnya, dalam satu bulan, dua kapal datang dari Jepang menjemput kayu. Sementara, perusahaan Muljadi tidak memiliki stok kayu yang cukup untuk dimuat dan dikirim ke negara tujuan. Setelah melalui beberapa kali rapat, akhirnya diputuskan untuk membeli kayu dari perusahaan lain. Hal itu dilakukan untuk memenuhi permintaan pembeli dari Jepang yang sudah terlanjur tiba.
Ada perusahaan lain yang memiliki stok kayu dan coba diajak bekerjasama untuk hal ini. Tapi masalah muncul. Dua petinggi perusahaan, di perusahaan Muljadi dan perusahaan yang memiliki stok kayu dan jadi incaran Muljadi pernah berselisih.
‘’Keduanya pernah bergesekan dan berselisih paham. Sehingga tidak cocok satu sama lain. Mereka bermusuhan,’’ tulis Muljadi dalam catatannya.
Lalu, bagaimana agar perusahaannya bisa membeli stok kayu dari perusahaan tersebut? Pihak perusahaan kemudian menunjuk Muljadi untuk melakukan kontak dan berkomunikasi dengan perusahaan tersebut.
‘’Perusahaan mengutus saya melakukan negosiasi. Awalnya, saya agak khawatir dan panik. Namun, setelah beberapa kali melakukan pertemuan membahas transaksi antar perusahaan, segalanya berjalan lancar,’’ kenang Muljadi.
Bisnis berjalan, komunikasi pun lancar. Suatu hari, Muljadi datang ke kantor perusahaan tempat perusahaannya membeli kayu untuk melunasi pembayaran pembelian kayu sebelumnya. Pimpinan perusahaan itu menceritakan, bahwa mereka pernah melakukan survei ke sebuah hutan di Sumatera Bagian Tengah, tepatnya di pulau Cawan yang terletak di kabupaten Inderagiri Hilir, provinsi Riau.
Kayu bakau di hutan itu jumlahnya sangat banyak. Masalahnya, perairan di kawasan hutan itu dangkal dan kedalaman air tidak mendukung sehingga kapal tidak bisa merapat. Seketika, Muljadi ingat pengalamannya ketika melakukan survey ke sebuah hutan yang sama di Sumatera Bagian Tengah beberapa tahun lalu.
‘’Saya lalu memutuskan, pergi sekali lagi untuk melihat potensi kayu di hutan itu,’’ kenangnya.
Ternyata, setelah datang untuk kedua kalinya, hutan tersebut belum pernah dieksploitasi. Keesokan harinya, Muljadi datang lagi untuk memeriksa hutan itu saat air laut pasang. Ia memperkirakan, kapal dengan muatan 3.500 ton kayu, bisa masuk dan merapat di kawasan hutan. Mengapa Muljadi bisa sangat yakin dengan perkiraannya?
‘’Mengukur kedalaman air adalah bidang dan keahlian saya. Saya yakin, saya tidak akan salah,’’ tulisnya.
Muljadi segera memberi tahu staf perusahaan di Jakarta agar segera mengurus izin untuk mengekploitasi secara komersil hutan tersebut. Dari proses pengurusan izin diketahui, sebelumnya hutan tersebut berada di bawah pengawasan badan intelijen. Namun kemudian diserahkan pengelolaan dan penguasaannya kepada koperasi perkayuan setempat.
Selanjutnya : Eksplorasi Kayu di Hutan Sumatera Tengah | Menjadi Pemegang Saham– MENEROBOS WAKTU’ Sebuah Memoir: My Life Journey – MULJADI, TOKOH PROPERTY BATAM (Bagian 22)