Timses : “Bapak dan Ibu sudah punya pilihan?”
Warga : “Belum, Pak”
Timses : “ini ada titipan Rp350 ribu. Bapak Ibu bisa pilih caleg ini. Satu paket. Untuk DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kota. Saya tidak memaksa, terserah Bapak, mau atau tidak.”
Warga : “Baik Pak”
By Socrates – Inilah percakapan antara seorang anggota tim sukses partai politik dengan warga sebuah perumahan padat penduduk di Batam, sebelum hari pencoblosan pemilu 2024 lalu, yang diceritakan kepada saya. Ia menyangkal, terlibat money politics alias politik uang. ‘’Saya tidak menyuap. Yang penting akadnya,’’ katanya, berkilah. Setelah pencoblosan, ia tinggal menghitung apakah jumlah suara yang diperoleh, sesuai dengan uang yang dibagikannya. Ternyata, calon yang diusungnya, menang.
Istilah politik uang atau money politic adalah uang dijadikan alat untuk memengaruhi seseorang dalam menentukan keputusan. Bisa juga diartikan jual beli suara pada proses politik, kekuasaan dan tindakan membagi-bagikan uang baik milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara pemilih. Para ahli punya banyak definisi politik uang. Ada yang mengartikan mempengaruhi massa pemilu dengan imbalan materi. Atau upaya mempengaruhi perilaku pemilih agar memilih calon tertentu dengan imbalan materi, uang atau barang.
Politik uang termasuk mempengaruhi penyelenggara dengan imbalan tertentu untuk mencuri atau menggelembungkan suara, termasuk membeli suara dari peserta atau calon tertentu. Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian berbentuk uang, sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai yang bersangkutan.
Dasar hukumnya ada. Politik uang telah dilarang dalam UU Pemilu dan UU Pilkada. Pasal 523 UU Pemilu telah mengatur larangan memberikan uang atau materi lainnya dalam pelaksanaan pemilu. Pihak yang melakukan praktik tersebut dapat dijerat pidana hingga 4 tahun dan denda hingga Rp 48 juta. Pasal 73 UU Pilkada juga tegas melarang praktik tersebut.
Pasal 73 ayat 3 Undang Undang No. 3 tahun 1999 berbunyi: “Barang siapa pada waktu diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji berbuat sesuatu.
Pasal 515 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menegaskan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu
Apakah bagi-bagi sembilan bahan pokok atau sembako pada masa kampanye termasuk politik uang? Jawabannya iya. Seperti ditegaskan Ketua Badan Pengawas Pemilu Rahmat Bagja. Oleh karena itu, bagi-bagi sembako dilarang dilakukan di masa kampanye. Bawaslu akan menindak tegas Peserta Pemilu yang melakukan hal tersebut. “Sembako tidak boleh dibagi-bagi, harus dijual. Itu masuk dalam tindakan money politic,” kata Rahmat Bagja
Faktanya, entah berapa banyak sembako yang dibagikan ke masyarakat Batam dengan dalih bantuan sosial. Seorang Aparat Sipil Negara kepada saya bercerita. Ia kerap diperintah atasannya hadir di acara bagi-bagi sembako. ‘’Kami diperintah hadir. Tak perlu pakai baju seragam kerja. Pakai baju bebas dan berbaur dengan masyarakat agar acaranya kelihatan ramai, saat bagi-bagi sembako,’’ katanya.
Benarkah bagi-bagi sembako itu murni bantuan sosial? Ibarat menangkap ikan, bagi sembako adalah umpannya. Panennya ya saat pemilu. ‘’Atasan saya diperintahkan agar mendulang suara paling sedikit 400 suara untuk memenangkan caleg tertentu. Kalau tidak, resikonya bisa digeser jabatannya atau non job,’’ kata ASN itu.
Akademisi dan peneliti Burhanuddin Muhtadi mengaku heran dengan prilaku pemilih soal politik uang. Hasil survey yang menyebutkan bahwa politik uang dianggap wajar oleh calon pemilih pada pemilu 2019 hanya 30 persen, tapi meningkat sampai 47 persen dianggap wajar pada pemilu 2024 ini.
Survei yang dilakukan Charta Politika menyebutkan, praktik politik uang hingga saat ini rupanya masih dianggap wajar oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Survei yang dilakukan pada 2.000 responden pada 19-25 Maret 2024 di 34 provinsi, diketahui sebanyak 45,6% masyarakat masih menganggap wajar dan dapat memaklumi praktik politik uang. Sebanyak 39,1% berpendapat politik uang salah dan tidak dapat dimaklumi. Sementara itu, sisanya sebanyak 15,4% tidak menjawab.
Temuan lain dari survei tersebut, masyarakat saat ini cenderung lebih pintar dalam memanfaatkan praktik politik uang. Sebanyak 40,8% responden mengatakan bahwa mereka akan menerima pemberian uang oleh peserta pemilu, tapi enggan memberikan jaminan akan memilih sosok pemberi uang tersebut.
Seorang politisi Batam yang sudah menjadi anggota dewan beberapa periode yang sebelumnya sangat percaya diri bahwa dirinya akan dipilih kembali, akhirnya terpental dan gigit jari. Padahal, ia mengaku selama menjadi wakil rakyat, ia sudah membantu masyarakat. Mulai dari mengajak ngopi dari tunjangan komunikasi, menabur dana reses ke setiap komplek dan kelompok masyarakat, semenisasi jalan, membangun gerbang dan sebagainya.
Seorang politisi kawakan dari Batam balik bertanya kepada saya, ketika saya tanyakan kenapa perolehan suaranya, jauh menurun dibanding pemilu sebelumnya. ‘’Menurut Anda, berapa kira-kira, uang yang digelontorkan caleg yang mendapat suara banyak itu?,’’ katanya. ‘’Saya tidak tahu,’’ jawab saya. Lagi-lagi, dia bertanya,’’ Kalau saya gelontorkan uang Rp30 Miliar, menurut Anda apakah saya akan menang?,’’ tanyanya lagi. ‘’Ya, mungkin saja,’’ kata saya, sekenanya. Politisi itu mengatakan, ia tak mengerti dan tidak habis pikir dengan cara berpolitik saat ini. ‘’Cara berpolitik sekarang tidak sesuai dengan prinsip berpolitik yang saya anut selama ini,’’ katanya.
Yang perlu dicatat dan diingat, politik uang akhirnya memunculkan para pemimpin yang hanya peduli kepentingan pribadi dan golongan, bukan masyarakat yang memilihnya. Dia merasa berkewajiban mencari keuntungan dari jabatannya, salah satunya untuk mengembalikan modal yang keluar dalam kampanye.
Akhirnya setelah menjabat, dia akan melakukan berbagai kecurangan, menerima suap, gratifikasi atau korupsi lainnya dengan berbagai macam bentuk. Tidak heran jika politik uang disebut sebagai “mother of corruption” atau induknya korupsi. Politik uang telah menyebabkan politik berbiaya mahal. Selain untuk jual beli suara (vote buying), para kandidat juga harus membayar mahar politik kepada partai dengan nominal fantastis. Para donatur yang mengharapkan timbal balik jika akhirnya caleg tertentu terpilih biasa disebut investive corruption, atau investasi untuk korupsi.
Jual beli suara atau vote buying yang banyak terjadi dikenal dengan nama “serangan fajar”. Menggunakan istilah dari sejarah revolusi Indonesia, serangan fajar adalah pemberian uang kepada pemilih di suatu daerah sebelum pencoblosan dilakukan. Serangan fajar kadang dilakukan pada subuh sebelum pencoblosan, atau bahkan beberapa hari sebelumnya.
Mengapa politik uang makin menggila? Pertama, faktor politik, pelembagaan parpol yang rendah, pengelolaan parpol yang oligarkis dan transaksional, dan tata kelola keuangan parpol yang tidak transparan dan akuntabel. Bagi calon, politik uang seperti tiket masuk ke arena pemilihan. Kedua, faktor ekonomi. Politik uang terjadi karena ada kebutuhan ekonomi masyarakat dan pengangguran yang tinggi di satu sisi, dan ada pihak yang memenuhi kebutuhan ekonomi sesaat.
Ketiga, faktor hukum. Hukum tidak dapat menjangkau praktek politik uang karena kelehaman peraturan perundang-undangan dan rendahnya tingkat penegakan hukum. Keempat, faktor sosial budaya. Ada pihak yang menganggap pemberian dan membalas penerimaan sebagai sesuatu yang lumrah. Masyarakat permisif, menganggap pemberian uang saat kampanye sesuatu yang wajar dan sudah seharusnya.
Dalam buku Politik Uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme Pada Pemilu Legislatif 2014 disebutkan bahwa pembelian suara adalah praktik yang dilakukan secara sistematis, melibatkan daftar pemilih yang rumit, dan dilakukan dengan tujuan memperoleh target suara yang besar. Disebut sistematis karena terjadi mobilisasi tim yang masif untuk melakukan pendataan dan menyebarkan ribuan amplop uang, serta bergerilya untuk memastikan penerimanya benar-benar mencoblos pemberi amplop.
Serangan Fajar telah dilakukan sejak zaman Orde Baru dan seakan menjadi bagian dari proses demokrasi Indonesia. Hal ini dibuktikan dari survei LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) pada 2019 yang menyebutkan masyarakat memandang pesta demokrasi itu sebagai ajang “bagi-bagi rezeki”.
Tidak hanya dari sisi masyarakat, dari sisi politisi pun serangan fajar telah membangun sebuah tradisi demokrasi yang buruk. Politisi menganggap votes buying adalah sesuatu yang lumrah, mesti dilakukan untuk bisa mengalahkan rivalnya pada pemilihan. Mempengaruhi pilihan dengan politik uang pada akhirnya akan berdampak buruk bagi masyarakat sendiri. Praktik ini akan menghasilkan pemimpin yang tidak tepat untuk memimpin. Kebijakan dan keputusan yang mereka ambil kurang representatif dan akuntabel. Kepentingan rakyat berada di urutan sekian, setelah kepentingan dirinya, donatur, atau partai politik.
Korupsi tersebut bisa berdampak di internal instansi yang dipimpin maupun kepada masyarakat. Di internal, korupsi bisa terjadi dalam bentuk jual beli jabatan atau pada pengadaan barang dan jasa. Sedangkan dampaknya kepada masyarakat, akan terlahir regulasi yang tidak memihak mereka, pungutan liar, hingga pemotongan anggaran untuk kesejahteraan.
Berbagai jenis korupsi adalah turunan dari politik uang. Maka, memberantas korupsi di Indonesia tidak akan tuntas jika politik uang sebagai induknya korupsi tidak dapat diatasi. Pendidikan antikorupsi menjadi penting agar masyarakat dapat menolak serangan fajar. Dengan penolakan tersebut, harapannya rantai korupsi yang membelenggu negeri ini bisa putus.
Mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kepulauan Riau Said Sirajudin mengatakan kepada saya,’’Politik uang itu seperti kentut. Baunya ada tapi tidak kelihatan. Seorang politisi harus memiliki popularitas dan ini butuh uang, kapasitas atau kemampuan, dan elektablitas. Suka tidak suka, harus punya isi tas. Ongkos politik itu besar,’’ katanya. Kalau politik uang seperti kentut, alangkah busuknya demokrasi kita. ***