Socratestalk.com, BATAM – Menjelang akhir tahun ajaran 2023/2024, SMKN 1 Batam menggelar workshop pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah, Sabtu (5/5/2024). Siswa-siswi yang duduk di kelas 10 yang berasal dari beberapa jurusan menjadi peserta dalam kegiatan ini.
Selain siswa, kegiatan ini juga diikuti oleh sebanyak 14 guru dan staf SMKN 1 Batam. Guru dan staf ini menjadi anggota Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di SMKN 1 Batam yang dibentuk beberapa waktu lalu. Sebagai Ketua TPPK adalah Wakil Kesiswaan SMKN 1 Batam, Zulfahmi, S.Pd. Beberapa siswa juga berpartisipasi menjadi bagian dari TPPK.
Untuk mendapatkan pemahaman yang hoslitik soal pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah, kegiatan ini menghadirkan Eri Syahrial S.Pd, M.Pd.I sebagai narasumber dari luar lingkungan sekolah. Zulfahmi juga memberikan materi dan arahan kepada guru, staf dan siswa apa yang mesti dilakukan dalam menyukseskan program TPPK SMKN 1 Batam.
Eri Syahrial dinilai narasumber yang representatif untuk memberikan materi pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah. Ia sering terlibat dalam penanganan langsung kasus-kasus kerasan di sekolah serta mensosialisasikan pencegahan dan penanganan kekerasan di berbagai satuan pendidikan.
Ia merupakan pemerhati dan aktivis perlindungan anak di Provinsi Kepulauan Riau, mantan Ketua Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Kepulauan Riau. Saat ini sebagai Wakil Sekretaris Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Batam, mediator pendidikan dan keluarga.
Kepada peserta workshop, Eri berbagi pengalaman bagaimana mencegah dan menangani kekerasan di lingkungan sekolah. Pola Pendidikan di sekolah saat ini harus menyesuaikan dengan paradigma Pendidikan yang ramah anak dengan diterapkannya Sekolah Ramah Anak (SRA) di sekolah. Ditambahnya dengan aturan Permendikbudristek No 46 Tahun 2023 yang mengharuskan sekolah melakukan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan.
‘’Tidak boleh lagi pola pendidikan dengan kekerasan, termasuk dalam memberikan hukuman pada siswa kalau melanggar aturan. Hukuman yang diberikan tidak boleh dengan kekerasan, tapi hukuman yang mendidik atau memberikan dampak perubahan prilaku ke arah yang lebih pada siswa,’’ kata Eri.
Guru harus responsif pada kondisi siswa saat belajar atau berada di sekolah. Siswa yang bermasalah bisa dideteksi oleh guru atau TPPK dari cara belajar atau prilakunya di sekolah. Terhadap siswa bermasalah dilakukan assesmen sehingga terungkap apa masalah yang sebenarnya dihadapi siswa. Bisa masalah tersebut dibiarkan maka bisa menganggu kesiapan mentalnya belajar siswa.
‘’Dari assesmen sering ditemukan siswa punya masalah dan butuh bantuan penanganan. Tidak jarang juga saat saya lakukan asesmen terhadap siswa atau anak, terungkap ia pernah menjadi korban kekerasan, atau tindak pidana sehingga harus ditolong agar tidak menjadi korban terus,’’ papar Eri.
Persoalan anak selain terjadi di sekolah seperti bullying atau perundungan, sebagian lagi merupakan limpahan dari luar sekolah, yaitu lingkungan rumah tangga, lingkungan sosial anak dan lingkungan digital anak atau dunia maya.
Di rumah tangga kadang anak tidak luput dari kekerasan orangtua atau kerabatnya. Masalah anak di dalam lingkungan keluarga meningkat seiring dengan munculnya kerentanan keluarga yang dipicu masalah ekonomi, KDRT, pendidikan, pola asuh yang salah dan lainnya.
Masalah anak dari di lingkungan sosial berasal dari komunitas dan teman sebaya anak yang berprilaku negative, dan masyarakat yang kurang peduli pada anak. Di lingkungan dunia maya, anak menjadi korban cyber bullying, bahkan bisa berujung pelecehan dan pencabulan juga. Fakta ini diperkuat dari data-data kejadian yang saya temukan di lapangan, data KPAI dan hasil penelitian.
‘’Sekolah dengan TPPK-nya bisa membantu mencegah dan menyelesaikan masalah tersebut. Lebih baik lagi bisa bisa melibatkan dan bekerja sama dengan orangtua, komite sekolah dan pihak di luar sekolah. Masalah yang dihadapi anak bisa lebih cepat dan diantisipasi karena TPPK hari-hari memantau sikap anak di sekolah,’’ papar Eri.
Menurut Eri, dalam bekerja, TPPK mulai melakukan upaya pencegahan kekerasan di sekolah dengan menanamkan nilai-nilai kepada siswa, melakukan pengawasan terhadap karakter siswa, menentukan bentuk-bentuk kekerasan yang sering terjadi di sekolah, mencarikan solusi masalah anak, mengevaluasi program dengan mengkaitkannya dengan standar prilaku lulusan yang diharapkan.
Salah satu bentuk penyelesaian konflik di sekolah bila melibatkan dua pihak atau lebih adalah dengan jalur mediasi. Sangat diharapkan TPPK bisa menyelesaikan persoalan tersebut di tingkat sekolah. Boleh juga TPPK berkoordinasi dengan pihak luar untuk datang ke sekolah untuk menyelesaikannya.
‘’Hindari masalahnya dibawa keluar, seperti ke media sosial atau jalur hukum karena dampaknya sangat luas dan membutuhkan waktu yang panjang yang membuat proses pendidikan menjadi terganggu. Ini bisa diterapkan untuk banyak masalah kasus, kecuali kekerasan seksual atau pencabulan,’’ pungkas Eri.
Eri menyarankan supaya anggota TPPK termasuk siswa bisa menguasai teknik dan pendekatan mediasi untuk menyelesaikan masalah atau konflik di lingkungan sekolah. Sebenarnya siswa juga bisa bantu menyelesaikan masalah yang dihadapi temannya dengan menguasai peer mediation.
Sementara Zulfahmi mengungkapkan, jenis bullying yang masih terjadi di SMKN 1 Batam adalah verbal bullying, yaitu bahasa komunikasi seperti panggilan nama yang digunakan antar siswa-siswa. Bahasanya tidak sopan dan cinderung merendahkan pihak lain, baik dalam komunikasi langsung maupun lewat media sosial.
Setelah penyampaian materi, acara TPPK SMKN 1 Batam dilanjutkan dengan membentuk beberapa tim kecil yang terdiri dari beberapa orang siswa dan satu guru atau staf pendamping. Guru bisa lebih dekat dengan siswa dalam menanamkan nilai-nilai, mempermudah melakukan pencegahan dan pengawasan.(*)