TAHUN 1998, situasi ekonomi dan politik di Indonesia tidak stabil. Dipicu oleh kriris moneter dan tragedi tewasnya empat mahasiswa Trisakti di Jakarta. Buntut dari peristiwa itu merembet jadi kerusuhan berbau rasial pada tanggal 13-15 Mei 1998. Korban kerusuhan kebanyakan warga Tionghoa.
Ratusan toko, perusahaan dan kendaraan, dihancurkan massa. Dalam kerusuhan tersebut, banyak warga keturunan Tionghoa ang meninggalkan Indonesia. Kerusuhan berbau rasial ini, menjadi lembaran hitam sejarah Indonesia. Kerusuhan yang bermula di Jakarta itu, lalu menjalar ke berbagai kota di Indonesia.
Muljadi yang saat itu lebih banyak berada di Singapura, merasa khawatir. Rumah mewahnya di Jakarta yang sebelumnya bernilai 1 juta Dolar Singapura, dijual hanya dengan harga 400 ribu Dolar Singapura saja.
‘’Kami sekeluarga, lalu pindah ke Batam dan ke Singapura,’’ tulis Muljadi terkait peristiwa tersebut.
Di mata anaknya, sang ayah dikenal memiliki insting yang kuat. Apalagi dalam berbisnis. Alim, anak sulungnya mengaku salut dengan insting papinya tentang datangnya kerusuhan 1998 tersebut. Muljadi membuat keputusan tepat dengan menjual hotel yang dibangunnya pada tahun 1996.
Menurut Alim, Hotel Nagoya Plaza yang dibangun ayahnya dilakukan dengan meminjam dana kepada bank sebesar Rp.13 Miliar. Dengan uang cash sebanyak Rp.1 Miliar dan Rp.12 Miliar dalam pecahan dollar. Setiap bulannya, hotel harus membayar bunga sebesar Rp.250 juta dalam waktu tiga bulan sekali. Pajak pokok sebesar Rp.120 juta. Sehingga, hal tersebut membuat hotel harus mengejar target setiap harinya.
“Melepas Nagoya Plaza Hotel karena feeling akan ada topan keuangan 1998 itu, kalau tidak lewat semua,” ujar Alim.
Selanjutnya : Mendirikan PSMTI Batam dan Selatpanjang I Mengurus Ribuan Pengungsi Selatpanjang– MENEROBOS WAKTU’ Sebuah Memoir: My Life Journey – MULJADI, TOKOH PROPERTY BATAM (Bagian 37)