PUTERI kelima dan anak keenam Muljadi ini, tidak banyak mengingat masa kecilnya di Selatpanjang. Yang paling diingatnya adalah ketika ia jatuh ditabrak orang naik sepeda. Cortina Muljadi, setelah pindah ke Jakarta dan Singapura, hanya sekali datang ke Selatpanjang. Saat neneknya sakit dan dirawat di Singapura, Cortina dan saudaranya ditawari sekolah di Singapura saja.
‘’Mariani, saya dan Hendry pindah sekolah dari Jakarta ke Singapura,’’ kata Cortina Muljadi mengenang kepindahan mereka lagi dari Jakarta ke Singapura.
Kepindahan keluarga Muljadi ke Singapura berawal dari sakitnya ibu sang ayah (nenek Cortina, pen) dan harus menjalani pengobatan di Singapura. Karena sering bolak-balik Jakarta – Singapura, sang ayah kemudian memilih untuk meindahkan keluarganya ke negeri Singa itu sekitar tahun 1988.
“Papi menyuruh kami sekeluarga untuk pindah ke Singapura. Saat ditanya Papi siapa saja yang mau ikut pindah, saya, kakak Mariani, Hendri dan Mami. Kami memutuskan untuk pindah ke Singapura saat itu,” kenang Cortina.
Untuk melanjutkan pendidikan di Singapura, kala itu Cortina belum bisa berbahasa Inggris. Ia harus mengikuti les bahasa Inggris, termasuk juga matematika dan sains selama enam bulan, sebelum kemudian mengikuti tes ujian masuk di Singapura.
‘’Saya sekolah di Singapura sampai SMP saja. Saya kemudian minta sekolah ke Amerika Serikat, tapi tak diizinkan karena kata Papi terlalu jauh. Akhirnya, saya sekolah di Australia,’’ kata Cortina, tujuh tahun ia berada di negeri kangguru itu.
Tahun 1998, anak keenam pasangan Muljadi dan Lusi tersebut akhirnya kembali ke Singapura. Saat itu menurutnya, sulit mendapatkan pekerjaan di Singapura. Apalagi saat itu, ia belum menjadi warga negara Singapura. Atas saran sang ayah, Cortina kemudian berinisiatif untuk mengambil pendidikan master di Singapura.
Sang ayah tidak pernah menawarinya untuk ikut terjun ke bisnis yang dibangunnya. Ia malah disarankan agar jangan mengambil jurusan bisnis atau akuntansi, tapi di sains saja.
Menurut Cortina, sang ayah benar-benar memikirkan masa depan dan pendidikan anak-anaknya. Awalnya, sang ayah menginginkan Cortina untuk menjadi seorang dokter.
“Pilihan pertama saya kedokteran, pilihan kedua chemical engineering,’’ kata Cortina.
Ia akhirnya diterima di jurusan chemical engineering. Usai pendidikan masternya, Cortina kemudian diterima bekerja di sebuah perusahaan Biotechnology di Singapura.
“Saat sudah bekerja, saya langsung mengajukan permanent residence, and I’m so lucky, dua tahun bekerja, apply kewarganegaraan saya diterima. Saya kemudian menjadi warga negara Singapura”, katanya.
Menurut Cortina, ayahnya sangat senang dengan kabar itu. Muljadi memang berharap agar Cortina bisa terus tinggal di Singapura mendampinginya dan isteri yang sedang sakit.
“Hingga saat ini, saya menjadi satu satunya di antara saudara saya yang berkewarganegaraan Singapura”, kata Cortina.
Saat sang ayah terkena stroke di kapal pesiar pada tahun 2005, Cortina sedang berada di Singapura. Ia sempat mengontak dokter kenalannya dan menghubungi pihak rumah sakit. Begitu juga saat Maminya terkena stroke dan pendarahan otak.
‘’Saya memutuskan berhenti bekerja selama dua tahun untuk mengurus Papi dan Mami yang sakit, papi harus menjalani fisioterapi empat kali seminggu,’’ kata Cortina.
Setelah kondisi ayahnya agak stabil, Cortina baru bekerja kembali. Yang paling berkesan dan diingatnya tentang sang ayah adalah saat ia kuliah di Australia. Ia punya pacar warga Malaysia.
‘’Papi nggak suka. Kalau nggak putus, papi tidak akan menganggap saya sebagai anaknya. Itu yang saya ingat sampai sekarang,’’ kata Cortina, terisak dan meneteskan air mata. Alasan Muljadi kala itu karena pacar Cortina bertampang preman.
Kesan lain yang melekat kuat di ingatan Cortina tentang sosok sang ayah adalah sangat peduli dengan anak, cucu dan keluarga.
‘’Pikiran Papi beda. Dia belikan semua anak-anak dan cucunya polis asuransi, tapi untuk dia sendiri tidak. Ketika dia sakit, Papi malah tidak punya asuransi, padahal biaya perawatannya besar,’’ kata Cortina mengenang.
Cortina tahu, ayahnya menulis kisah hidupnya di masa-masa sakitnya beberapa tahun terakhir. Ia ikut mendampingi sang ayah yang begitu detil menuliskan tahapan demi tahapan perjalanan hidupnya.
‘’Tidak semua orang bisa menulis autobiografi. Kalau kita lihat di toko buku, biasanya yang melakukan adalah orang terkenal semua,’’katanya.
Anak keenam Muljadi ini juga merasa bahwa wajahnya paling mirip dengan sang ayah. Selain itu, seperti kakak perempuannya Merry, Cortina juga cenderung kidal seperti ayahnya, Muljadi.
‘’Saya bisa dua tangan, kanan dan kiri. Dulu saya pakai tangan kiri semua dan dimarahi Papi,’’ kata Cortina yang malah tidak tahu bahwa ayahnya Muljadi juga seorang kidal.
Pada peringatan 100 hari meninggalnya sang ayah pada 7 Januari 2023 lalu, membuka kembali kenangannya tentang sosok sang ayah. Sosok tangguh, detil dan penyayang keluarga.
“Papi tidak sakit lagi. Sudah tenang di alam sana. Cucu-cucunya bisa belajar bagaimana papi peduli pendidikan,’’ kata Cortina.
Selanjutnya : Hendry Chandra Muljadi : Sejak Kecil, Kami Diajarkan Kebersamaan I Muljadi di Mata Keluarga– MENEROBOS WAKTU’ Sebuah Memoir: My Life Journey – MULJADI, TOKOH PROPERTY BATAM (Bagian 54)