MARIANI adalah anak ke lima dari tujuh bersaudara. Ia masih kecil saat ayahnya memutuskan untuk pindah ke Jakarta, memboyong mereka sekeluarga dari Selatpanjang.
“Saat kelas 3 SMP, saya diajak Papi dan dua adik paling kecil, Cortina dan Hendry, pindah lagi ke Singapura. Kemudian, setelah tamat SMA, saya memilih kuliah di Amerika Serikat. Saya pikir, di Amerika lebih enak. Saya enam tahun di sana,’’ cerita Mariani Muljadi.
Pilihan Mariani melanjutkan studi ke Amerika Serikat, meski kakak-kakaknya di Australia, tidak menjadi masalah bagi Muljadi. ‘’Mami yang keberatan karena jauh dan membujuk saya agar jangan sekolah di Amerika,’’ kenang Mariani.
Tapi, ia memantapkan tekad untuk melanjutkan pendidikan di negeri Paman Sam itu. Sepulang dari Amerika Serikat, Mariani bekerja di Singapura. Saat itu, Ayahnya masih sering bolak-balik Batam-Singapura untuk mengurus bisnis propertinya. Mariani tinggal bersama ibu dan keponakannya, Asmaya Dinata, anak dari abang sulungnya, Alim Muljadi.
‘’Waktu Papi sakit, saya bantu Mami jagain Papi. Kena kanker dan setelah itu terkena stroke. Saat itu, Mami masih sehat dan masih bisa nyetir mobil antar Papi ke rumah sakit,’’ cerita Mariani.
Sejak ayahnya sakit, Mariani kemudian memutuskan untuk berhenti bekerja. Ia jugalah yang menemani ibunya sejak terkena stroke di Singapura.
‘’Kalau Papi dan Mami ke Batam, saya antar lalu dijemput kakak saya di pelabuhan, saya putar balik ke Singapura,’’ cerita Mariani.
Hari-hari Mariani dalam beberapa tahun terakhir ini, lebih banyak dihabiskan di rumah sakit untuk mendampingi orangtuanya. Dari tujuh bersaudara, Mariani yang paling banyak menemani orang tuanya selama sakit di Singapura. Ia menjalaninya dengan tulus dan sabar.
‘’Saya sangat terharu melihat begitu sayangnya Papi sama Mami, pun dalam kondisi keduanya sakit’’ kata Mariani.
Biasanya, penderita stroke sangat sensitif. Dari seorang pengusaha sibuk, ayahnya jadi tidak bisa melakukan apa-apa. Namun begitu, ingatan sang ayah di mata Mariani masih begitu kuat. Berkali-kali ia selalu mengingatkannya untuk selalu menjaga kesehatan.
‘’Papi selalu bilang agar saya menjaga kesehatan. Soalnya, saya punya kecenderungan kena penyakit seperti Papi. Disuruh olahraga, jaga makan, disuruh ke dokter. Kamu jangan sampai sakit seperti saya. Setiap kali saya minum manis, pasti dilarang. Tiap hari dia ingatkan saya,’’ kata Mariani sambal terisak mengenang pesan sang ayah padanya.
Mariani, seperti juga kakaknya, Mariana, tidak ikut dalam bisnis keluarga. Ia mendukung upaya yang dilakukan kedua kakaknya, Merry dan Princip Muljadi yang mengembangkan bisnis keluarga mereka hinggga berkembang seperti sekarang.
‘’Papi sayang sama saya karena saya jagain mereka berdua. Saya juga sayang anak-anak. Semua keponakan saya perhatikan. Saya bukan tipe pebisnis atau wanita karir,’’ terang Mariani.
Kendati ayahnya sedang sakit, Mariani justeru melihat ayahnya lebih mengkhawatirkan kondisi penyakit ibunya. Sang ayah memang dikenalnya sebagai sosok yang begitu mencintai istri dan anak-anaknya sejak dulu.
‘’Papi memang sangat sayang Mami. Mungkin juga karena saat kami kecil, Mami harus jaga tujuh anak, sementara Papi jarang pulang,’’ kata Mariani.
Menurut Mariani, zaman sekarang sudah jarang orang menyayangi istrinya seperti yang ditunjukkan ayahnya, Muljadi.
“Tiap hari, Papi selalu jaga Mami di kamar. Setiap pagi, Papi menyapa Mami dan mengucapkan selamat pagi,’’ kata Mariani mengenang momen saat ayahnya masih ada.
‘’Papi sekarang sudah tidak sakit lagi di sana. Tidak perlu khawatir, kami akan jaga Mami. Dua kaki Papi sampai diamputasi. Saya bisa membayangkan, sakit yang dialami Papi. Saya sudah jaga Papi cukup lama, dan saya akan tetap jaga Mami,’’ lanjut Mariani sambil menangis.
Selanjutnya : Cortina Muljadi : Anak Cucu Dibelikan Asuransi, Dia Sendiri Tidak I Muljadi di Mata Keluarga– MENEROBOS WAKTU’ Sebuah Memoir: My Life Journey – MULJADI, TOKOH PROPERTY BATAM (Bagian 53)