By Indrawan
Tidak lengkap rasanya ke Batam tidak berkunjung ke Pulau Belakang Padang. Pulau yang bersejarah ini bisa ditempuh dari Pelabuhan Sekupang dengan naik perahu transportasi rakyat atau disebut Pompong.
Ongkos ke Pulang Belakang Padang hanya Rp 20.000 per orang dengan jarak tempuh sekitar 10-15 menit.
Pulau Belakang Padang, juga dikenal sebagai Pulau Penawar Rindu, memiliki luas 29.702 km2. Pulau ini merupakan salah satu kawasan tertua dan bersejarah di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Pulau Belakang Padang juga memiliki ekosistem mangrove yang luasnya mencapai 110,5 hektar.
Dulu, banyak bangunan tradisional dari bahan kayu tapi kini bangunan-bangunan lama mulai terganti dengan bangunan beton. Meski masih ada juga bangunan lama yang mempertahankan bahan dari kayu.
Sebelum Batam, Belakang Padang digunakan sebagai pusat kecamatan untuk pulau-pulau kecil di sekitar Batam tetapi karena luasnya yang terbatas, pulau Belakang Padang tidak berkembang sehingga pusat kecamatan dipindahkan ke Pulau Batam.
Kini, Kecamatan Belakang Padang merupakan salah satu kecamatan kepulauan di Kota Batam dengan wilayahnya mencakup lebih dari 100 pulau. Berdasarkan data Kecamatan Dalam Angka Tahun 2014, wilayah Kecamatan Belakang Padang mencakup kurang lebih 108 pulau yang terdiri dari 43 pulau berpenghuni dan 65 pulau tidak berpenghuni.
Lokasi Kecamatan Belakang Padang yang berbatasan langsung dengan Singapura menjadikan kecamatan ini menjadi salah satu kecamatan perbatasan di Kota Batam.
Terdapat 3 pulau terluar dan 6 titik garis pangkal wilayah Kepulauan Indonesia di Kecamatan Belakang Padang. Ketiga pulau tersebut adalah Pulau Nipah, Pulau Pelampong dan Pulau Batu Berhanti (Perpres 78/2005). Sedangkan 6 titik garis pangkal wilayah Kepulauan Indonesia terdapat di Pulau Nipah (2 titik), Pulau Pelampong (1 titik), Pulau Batu Berhanti (1 titik), Karang Helen Mars dan Karang Benteng (PP 38/2002).
Saat berada di Pelabuhan Rakyat Pulau Belakang Padang, gedung-gedung pencakar langit di Singapura sangat jelas terlihat. Seperti hanya di satu kayuh perahu saja.
“Dulu, warga di sini, banyak yang bekerja ke Singapura, rata-rata bekerja di kapal. Saya juga pernah kerja di Singapura sebagai koki di kapal,” kata Hasan, seorang tokoh di Belakang Padang.
Sebagai bekas ibukota kecamatan Batam, masih terdapat beberapa gedung milik pemerintah seperti Gedung Kantor Imigrasi, gedung TNI AL, Polsek Belakang Padang dan gedung-gedung lama.
Suasana di pelabuhan juga cukup ramai. Kedai-kedai terisi oleh warga.
Hasan yang kini berusia 72 tahun menyebut, asal nama Belakang Padang ada dua versi. “Satu versi di sini dulu ada pulau kosong yang dihuni oleh orang asal Padang yang berkebun, lalu kami menyebutnya sebagai Pulau Padang. Nah, pulang ini lalu disebut Belakang Padang,” katanya
Versi kedua, kata pria yang 30 tahun jadi guru itu adalah, di sini dulu banyak warga Bugis sehingga ada kampung Bugis. Di belakang kampung Bugis itu ada sebuah padang yang cukup luas. “Makanya, orang-orang menyebut kalau kesini jadi ke Belakang Padang,” katanya.
Mengenai julukan Pulau Penawar Rindu dipopulerkan oleh tokoh bernama Arifin Nasir. “Dulu, anak-anak yang bekerja di Muka Kuning Batam sering ke sini untuk liburan akhir pekan. Sekedar melepas rindu. Kemudian pak Arifin Nasir mempopulerkan nama itu,” sambung Azman, tokoh Belakang Padang.
Warga di Pulau ini terbilang ramah. Setiap ada pendatang, pasti ditegur sapa. Dan setiap penduduk saling mengenal satu sama lain.
Jumlah penduduk kecamatan ini pada tahun 2021 sebanyak 20.833 jiwa.
Alat transportasi umum di Belakang Padang adalah kendaraan beroda tiga yang disebut Becak. Alat transportasi lainnya adalah Ojek. Alat transportasi lainnya adalah “Boat” kecil atau yang sering disebut Boat Pancung dan juga Pompong, dengan kekuatan mesin yang mengantarkan penduduk ke pulau-pulau kecil di sekitarnya dan juga ke Batam. Boat ini dapat mengangkut maksimal 30 orang, sedangkan “Pompong” dapat memuat penumpang sampai dengan 70-100 orang.
Tidak hanya wisatawan lokal, wisatawan dari Korea, Malaysia, Singapura dan Hong Kong juga sering datang ke Belakang Padang. Bahkan, ada warga Singapura yang sengaja membuat rumah di tepian laut.
Tidak hanya pemandangan yang indah, kuliner di Pulang Belakang Padang juga banyak diminati. Ada mie lendir dan kopi Ameng yang sudah melegenda.
Jika ingin makanan laut atau seafood yang segar, di Belakang Padang adalah tempat yang cocok. Kita bisa memilih menu ikan laut yang sesuai selera dengan harga terjangkau dan rasa yang enak.
Pulau kecil ini dikelilingi beberapa pulau lain, bahkan di depannya ada Pulau Sambu yang sejak zaman Belanda hingga kini dijadikan sebagai depot minyak. Kini Pulau itu dikelola oleh Pertamina.
Banyak diantaranya yang masih memegang teguh tradisi, lebih nyaman tinggal di rumah panggung yang berdiri dengan pancang di laut.
Rumah-rumah kayu ini biasanya dibangun berkelompok dan dicat dengan warna-warna terang misalnya kuning dan hijau.
Dinamika kehidupannya sangat menarik, para ayah kebanyakan menjadi nelayan atau pengemudi pancung. Anak-anak sedari kecil telah jago berenang dan bermain air kapanpun air pasang.
Ketenangan Belakangpadang juga membuat penduduknya lebih santai dan bersahabat dengan para pelancong sekalipun.
Pulau Belakang Padang, yang terkenal dengan julukan Pulau Penawar Rindu, memiliki sejarah yang tak kalah menarik. Salah satu sejarahnya yang tak luput dari perhatian adalah bajak laut. Sejak abad ke-15, Selat Malaka dan Selat Singapura menjadi lalu lintas perdagangan rempah-rempah utama, dan sejak saat itu pula bajak laut Malaka mulai beraksi.
Bajak laut Malaka bukanlah hanya sekedar legenda, namun benar-benar ada di masa lalu. Bahkan pada tahun 1990-an, para bajak laut ini masih berkeliaran dan ditakuti oleh pedagang yang melintas di Selat Malaka maupun Selat Singapura. Mereka dikenal sangat lihai dalam melancarkan serangan ke kapal-kapal dagang yang melintas di perairan tersebut.
Tak hanya itu, Pulau Belakang Padang sendiri menjadi salah satu basis operasi para bajak laut tersebut. Meskipun tidak diketahui asal-usulnya, para bajak laut ini beroperasi di sekitar Pulau Belakang Padang sehingga banyak yang menyebut mereka sebagai bajak laut Belakang Padang.
Seiring dengan berjalannya waktu, para bajak laut ini akhirnya berhasil diberantas oleh pihak keamanan. Namun, sejarah kelam ini tetap menjadi bagian dari sejarah Pulau Belakang Padang yang menambah daya tarik wisata pulau ini.
“Kami tidak tahu asal bajak laut itu. Mereka datang ke sini karena lokasinya dekat dengan laut bebas atau perairan internasional. Kabarnya mereka beraksi disana,” kata Hasan, sedikit malu.
Berkeliling selama empat jam di Belakang Padang benar-benar melepas kerinduan. Pulau ini selalu menawarkan kerinduan…(ind)