By Socrates – Air adalah kebutuhan dasar manusia. Organisasi Kesehatan Dunia menyatakan, pada masa datang, air akan menjadi salah satu sumber langka di bumi. Satu-satunya cara memenuhi kebutuhan air bersih warga Batam yang terus bertambah adalah, mengandalkan dam atau waduk tadah hujan.
Dam pertama di Batam adalah Dam Baloi, yang dibangun Otorita Batam tahun 1977 dan dioperasikan 1978 untuk memenuhi kebutuhan air bersih di wilayah Nagoya, Pelita, dan Jodoh. Namun, akibat serbuan rumah liar, sehingga dam Baloi tercemar limbah rumah tangga.
Tahun 2012 dam Baloi stop beroperasi karena tercemar deterjen, kromium, kadmium, dan timbal alias logam berat yang sudah terlampau tinggi. Permukaan dam tertutup eceng gondok.Tahun 1978, Otorita Batam membangun dua dam sekaligus. Dam Sei Harapan dan Dam Nongsa. Kini, permukaan air di Waduk Sei Harapan menyusut hingga 2,5 meter. Waduk itu diperkirakan akan berhenti produksi dalam kurun waktu tidak lama lagi.
Sedimentasi waduk akibat alih fungsi daerah penyangga dituding menjadi penyebabnya. Dam Nongsa mulai dioperasikan 1979. Waduk ini terletak di kelurahan Sambau, kecamatan Nongsa, kota Batam.
Tahun 1985, Otorita Batam membangun dam keempat, yakni Dam Sei Ladi. untuk menambah cadangan air baku di Pulau Batam. Empat tahun kemudian, dibangun lagi Dam Mukakuning dan mulai beroperasi tahun 1991.
Dam Duriangkang
Kebutuhan air baku yang terus meningkat membuat Otorita Batam berinisiatif membangun Dam Duriangkang. Dam yang mulai dibangun tahun 1990 tersebut merupakan dam estuari terbesar di Indonesia dengan volume air baku mencapai 78.560.000 m3. Estuari adalah zona peralihan lingkungan sungai dengan lingkungan laut.
Meski sudah ada lima waduk, pesatnya pertumbuhan penduduk Batam, industri, perdagangan, alih kapal dan pariwisata yang menggeliat, kebutuhan air bersih terus meningkat. Tahun 1992, perencanaan pembangunan waduk keenam, yakni Dam Duriangkang pun dimulai.
Kontraktor Dam Duriangkang adalah PT Bangun Cipta Kontraktor, direncanakan selesai tahun 1995. Tapi, prosesnya berjalan lamban. Proyek dam Duriangkang ini baru selesai tahun 1997 dan menenggelamkan sebuah kampung.
Masalah yang menghambat pelaksanaan pembangunan waduk Duriangkang adalah ada sekitar 1.200 Kepala Keluarga yang bermukim di area genangan waduk. Warga menolak direlokasi dan bertahan di lokasi dam. Perlahan tapi pasti, air menggenang. Rumah penduduk, pepohonan dan segala sesuatu yang berada di kawasan itu bakal terendam. Jadi waduk Duriangkang, yang diproyeksikan sebagai waduk terbesar di Pulau Batam, dibangun untuk memasok kebutuhan warga Batam yang terus bertambah terhadap air ber-sih. Namun, masih ada warga yang nekat bertahan di sana.
Curah hujan yang cukup tinggi di Batam yang mencapai rata-rata 2.432 milimeter per tahun, diandalkan untuk menggenangi waduk. Sedangkan waduk Duriangkang, dibangun dengan cara membendung sejumlah muara sungai. Antara lain, Sungai Pancur, Sungai Beduk, Sungai Tongkang dan Sungai Ngedan.
Sungai-sungai tersebut termasuk daerah aliran sungai (DAS) Duriangkang seluas 79 km2 dan bermuara di Laut Cina Selatan. Jadi, tidak heran kalau pengaruh air laut merembes sampai 12 kilometer ke hulu sungai Duriang-kang dan masuk ke waduk.
Dengan luas daerah genangan 23,4 km2, waduk Duriangkang menjadi waduk terbesar di Batam. Kapasitas tampungnya mencapai 107 juta meter kubik. Untuk membendung muara sungai Duriangkang, digunakan tanggul pilot dyke sampai elevasi + 4 meter low spread water (LSW) sebagai bendungan utama.
Ada pula bangunan pelimpah, saluran permanent bottom outlet yang ber-fungsi untuk penggelontoran, bendungan pelana yang dipasang di daerah elevasi rendah untuk melindungi lereng, dinding kedap air, drainase dan proses desalinasi untuk mengatasi pasang surut air laut dan lumpur.
Perencanaan pembangunan waduk Duriangkang, sebenarnya sudah di-mulai sejak 1992 sebagai antisipasi pertumbuhan penduduk dan kebutuhan warga Batam terhadap air bersih. Namun, prosesnya berjalan lamban dan terkendala oleh hal-hal tak terduga. Di antaranya, masih ada warga yang nekad bermukim di kawasan itu dan musim kemarau yang melanda.
Adalah CDPP Konsorsium yang merancang pembangunan waduk terse-but, dan dilaksanakan oleh PT Bangun Cipta Kontraktor yang diperkirakan bakal rampung dari Juli 1994 sampai Oktober 1995. Namun pembangunan dam Duriangkang molor beberapa tahun.
Berdasarkan studi kelayakan, luas genangan air di waduk Duriangkang dengan posisi permukaan air + 7,5 dari low water spread (LWS) mencapai 23,4 km2. Secara teknis, kendala yang dihadapi untuk mewujudkan waduk dengan kapasitas terbesar itu adalah musim kemarau. Akibatnya, waduk itu belum terisi air. Air laut dibendung sehingga menggenang di waduk, lalu dilakukan proses pencucian (flushing) secara alamiah dengan air hujan untuk mengurangi kadar garam air laut.
Sejak rencana pembangunan waduk itu digulirkan, sebagian warga yang tinggal disana sudah pindah. Tapi, sebagian tetap bertahan. Rumah-rumah, tempat ibadah, pohon dan segala isinya sudah terendam air yang debitnya terus bertambah. Namun celakanya, ada pula warga yang menangguk di air keruh. Meski sudah dapat kapling, segelintir warga kembali ke sana dan membangun lagi rumah liarnya. Tujuannya bisa ditebak. Nanti kalau ada pem-bagian kapling, mereka dapat lagi. Jadi, bisa ‘investasi’ dengan mengharapkan belas kasihan Otorita.
Dengan makin tingginya posisi permukaan air, maka bahaya tenggelam ke dasar waduk bagi masyarakat yang bertahan tinggal di area genangan, makin besar. Saat itu, sempat dikhawatirkan warga yang bertahan di lokasi waduk, bakal jadi kasus Kedungombo kedua.
Dam Duriangkang resmi dioperasikan pada 2001 setelah dibangun Instalasi Pengolahan Air (IPA) Tanjung Piayu. Hanya saja, pada 1997/1998 saat Batam terkena dampak El Nino, air baku di dam tersebut sebenarnya sudah mulai dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan air bersih di Batam.
Dam Duriangkang menjadi dam terbesar di Batam.
Saat ini, Dam Duriangkang menyuplai 70 persen kebutuhan air bersih warga Batam. Kemampuan abstraksi air baku mencapai 3.000 liter/detik. saat ini waduk Duriangkang menyuplai kebutuhan air bersih untuk warga di Sei Beduk, Tembesi, Batu Aji, Batam Kota, Lubuk Baja, Bengkong dan Batu Ampar.
Terancam Pencemaran
Para pendatang dan kaum migran ke Batam, tidak semua tertampung di sektor formal. Sebagian terpaksa bekerja di sektor informal dan memiliki daya beli yang rendah dan tinggal di rumah liar. Data dari BP Batam, pada tahun 2010 terdapat sejumlah 42.182 unit rumah liar yang tersebar di 65 lokasi di Pulau Batam.
Selain itu, aliran drainase dari 4 Kecamatan di Batam mencemari waduk. Diperkirakan, Kecamatan Batam Kota mencemari waduk Duriangkang sebesar 10.913 M3 /hari, Kecamatan Sagulung mencemari waduk Tembesi 9.136 M3 /hari, Kecamatan Batu Aji dan Kecamatan Sekupang mencemari waduk Sei Harapan, masing masing sebesar 8.378 M3 / hari dan 10.421 M3 /hari.
Umumnya, air limbah rumah tangga (domestik) dibuang ke saluran terbuka menuju ke selokan atau drainase lingkungan. Saat ini, secara kasat mata pencemaran akibat limbah domestik telah menunjukkan tingkat yang cukup serius.
Pantauan yang pernah dilakukan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah terhadap kualitas air waduk Duriangkang dan Sei Harapan, dilihat pollution index berstatus pencemaran sedang. Artinya, air limbah domestik dari rumah tangga, rusunawa, pasar, hotel dan restaurant perlu mendapat perhatian serius agar tidak mencemari air baku di dam tersebut.
Analisa pencemaran lingkungan di Batam menunjukkan gejala yang cukup besar, khususnya pencemaran air. Penyebabnya tidak hanya limbah industri, tapi dari air limbah dari warga Batam itu sendiri. Pemukiman yang makin padat, rendahnya kesadaran masyarakat yang langsung membuang kotoran atau tinja atau limbah padat dan sampah ke dalam drainase, menyebabkan proses pencemaran bertambah cepat.
Dam Duriangkang kini terancam aktivitas illegal di sekelilingnya. Mulai dari peternakan, perkebunan, rumah liar, keramba apung, kolam darat dan limbaqh rumah tangga, yang masuk ke dalam dam. Saat ini, sekitar 180 hektar genangan dam ditutupi eceng gondok. Dalam satu bulan, eceng gondok bisa bertumbuh dua kali lipat.
Eceng Gondok menyebabkan pendangkalan yang mengakibatkan kurangnya kapasitas waduk dan bisa masuk ke pompa air. Eceng gondok tumbuh pesat sehingga menutupi waduk karena limbah berupa kotoran atau deterjen yang berlebihan dan merangsang tumbuhnya eceng gondok.
Otorita Batam atau BP Batam sebenarnya sudah membangun Dam Tembesi yang merupakan dam estuari seperti Dam Duriangkang. Namun hingga saat in Dam Tembesi masih belum bisa digunakan, masih menunggu airnya tawar.
Bagi 1,3 juta warga Batam dan diprediksi terus bertambah, tidak ada pilihan, selain menjaga kelestarian dam Duriangkang, sebagai penyuplai air baku dan sumber air bersih di kota ini. Di beberapa titik pinggiran dam, masih ada saja warga yang menerobos masuk, memancing, beternak dan berkebun meski sekeliling dam sudah dipagar. ***