By Sultan Yohana – Akhir pekan itu, saya ingin joging dengan rute berbeda. Tidak lagi di taman biasa, di samping rumah. Dari tempat tinggal saya di Ang Mo Kio Avenue 4 Singapura, saya mengambil rute lari menuju hutan lindung yang sekaligus waduk Lower Peirce Reservoir.
Saya berencana joging di pedestrian kayu yang membelah hutan itu. Lalu, menyusuri jalan, finis di Bishan-Ang Mo Kio Park (biasa disebut Bishan Park saja). Dari taman itu, saya bisa menumpang bus nomor 71, untuk kembali ke rumah. Itu rute, jika diselingi blusuk sana-sini, bisa sejauh 10 kilometer. Lumayan untuk olahraga akhir pekan.
Di Bishan Park, saya selalu mengakhiri ritual berolahraga dengan melakukan peregangan di exercise corner. Hari masih cukup pagi ketika itu, tiba-tiba muncul keinginan bertelanjang kaki, jalan dan merasakan gemericik air di “sungai” yang berada sekitar 50 meter dari tempat saya melakukan pergangan. ‘’Duduk di batu sambil menenggelamkan kaki di air pasti menyenangkan,’’ pikir saya.
Di antara taman dan gedung-gedung apartemen pemukiman warga, memang mengalir “sungai” indah sepanjang tiga kilometer. Sungai yang mengingatkan saya pada kampung halaman, di Singosari, Malang, Jawa Timur. Sebagai orang gunung, sungai adalah bentang alam yang paling saya akrabi, selain sawah, dan tentunya gunung. Hampir sebagian besar waktu kanak-kanak saya, habis di sungai.
Diresmikan pada tahun 2012, proyek paling utama dari Bishan Park adalah mengubah sebagian badan sungai Kallang (sebetulnya drainase utama) yang berupa selokan beton menjadi sungai alami yang berkelok-kelok. Proyek ini menandai pertama kalinya selokan beton dinaturalisasi dan diintegrasikan dengan taman.
Proyek ini juga untuk pertama kalinya memakai teknik bioteknologi tanah dalam proses pengubahan kanal beton menjadi sungai. Teknik ini melibatkan kombinasi bahan alami, seperti tanaman dan batu, dengan teknik tradisional untuk menstabilkan tepi sungai dan mengurangi tanah. Sungai ini juga didisain secara khusus sebagai sistem pembersih air alami.
Bentang alam di pinggir sungai Bishan yang didesain landai dan luas, dipenuhi rerumput dan bunga yang sebagian dibiarkan liar. Pohon-pohon besar di sepanjang taman meneduhkan. Aneka hewan hidup di sana. Dari ayam, berang-berang, hingga babi hutan yang sering kesasar pergi ke sana.
Memang, “sungai” itu tidak hanya berfungsi sebagai selokan pembuangan air dan taman untuk bermain atau berolahraga. Singapura mendesain kawasan seluas 62 hektar itu sebagai ekosistem tempat hidup dan tumbuhnya aneka hewan dan tumbuhan liar.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2014, desain khusus Bishan Park ini telah meningkatkan keanekaragaman hayati di sekeliling-nya hingga 30 persen. Taman ini tercatat memiliki lebih dari 60 spesies bunga liar, lebih dari 50 spesies burung, dan lebih dari 20 spesies capung. Beberapa di antaranya, bahkan sebelumnya sangat jarang dilihat. Berang-berang, ayam, bahkan beberapa kali babi hutan yang keluar dari hutan di atasnya, terlihat di taman. Desain taman yang sengaja dibiarkan lebih liar dan natural, dimaksudkan untuk menciptakan kesadaran bagi hewan dan manusia untuk saling berinteraksi dan menjaga kedua belah pihak tetap sehat dan aman.
Airnya jernih sekali. Sejuk membasuh kaki yang baru saja terpakai lari berkilo-kilo meter. Sesekali kedua tangan ini mencelup ke dalam. Ikut merasakan kesejukan air. Ikan-ikan bertubuh ramping yang berkeliaran dengan gembira, menunjukkan air yang mengalir sangat-sangat sehat.
Jenis ikan memang bisa menunjukkan kadar kesehatan air. Ini ilmu yang saya dapatkan ketika kecil di kampung saya. Ketika itu, jika ingin mendapatkan ikan wader atau ikan bertubuh ramping lainnya, saya biasanya mancing di sungai deras yang berair bersih dan jernih. Tubuh ramping ikan memang secara teoritis memberi keleluasaan mereka untuk melawan arus yang deras.
Di situ pasti banyak ikan wader yang gurih jika digoreng garing dan “nyam-nyam” dimakan bersama nasi putih panas serta sambal terasi. Jika sebangsa ikan lele yang diinginkan, kami biasa mencari air kedungan yang agak keruh, butek, dan airnya tidak mengalir baik. Ikan gabus? Ah, ikan yang di kampung kami sebut kotes ini tak laku. Berkarung-karung didapat pun, biasanya kami buang begitu saja. Kami kerap menjulukinya “ikan setan’.
Mungkin karena wajahnya yang seram dengan mata melotot, serta sama dengan ikan lele yang suka tinggal di tempat wingit, tempat yang dianggap angker: kedung berair keruh yang airnya tidak mengalir deras. Saat kecil, kami kadang malah suka “main” dengan ikan ini jika tertangkap kail. Kami tiup dulu matanya, kalau berkedip, “wah… iki pasti penjelmaan setan!” Ndilalah, di Kepri, ikan gabus menjadi salah satu ikan paling digemari.
Saya kembali ke “sungai” Bishan Park. Untuk menyulap selokan beton menjadi sungai alami, memang tidak murah. Ongkos pembuatannya, nyaris setengah triliun rupiah. Sumber air utama yang mengalir di “sungai” itu, dari air hujan yang merembes ke hutan dan tanah di sekitar taman yang memang dibiarkan kosong untuk ditanami, serta dari waduk yang dikelilingi hutan di atasnya, Lower Peirce Reservoir.
Di atas waduk ini, masih ada waduk yang jauh lebih besar, Upper Pierce Reservoir, yang juga dikelilingi oleh hutan belantara yang penuh dengan babi hutan, rusa, dan monyet. Dua waduk itu, Lower dan Upper Pierce Reservoir, adalah salah satu dari sekian banyak waduk yang dimiliki Singapura.
Sumber air keduanya sepenuhnya tergantung pada air hujan. Pemerintah Singapura memanfaatkan air waduk itu untuk bahan baku air minum. Ini adalah bagian kecil dari persiapan Singapura untuk bisa swasembada air. Seperti kita semua tahu, setengah dari bahan baku pengolahan air bersih di Singapura kini masih dibeli dari Johor, Malaysia. Singapura berencana bisa swasembada air pada tahun 2040.
Keseriusan Singapura menghijaukan alam serta membangun infrastruktur untuk air bersih, menjadi peringatan bagi Batam, juga Kepulauan Riau, untuk melakukan hal serupa. Batam dan Singapura punya cuaca hampir sama. Jika Batam kering, Singapura pun demikian. Jika Singapura tak berhujan lama, Batam juga biasanya begitu.
Namun ketika waduk-waduk di Batam, di mana sumber bahan yang akan dipakai untuk mengolah air bersih kering saat musim kemarau, kenapa hal itu tidak terjadi di Singapura? Kita semua sudah tahu jawabannya! Sementara Singapura tetap memelihara hutan mereka, dan bahkan justru terus menanam pohon di manapun tanah mengada, hutan di Batam justru terus “ditanami” perumahan dan ruko-ruko.
Hutan lindung dijual pejabat untuk ongkos pilkada, taman-taman dibeton. Rakyatnya lebih senang memandikan mobilnya dengan air bersih, dan tak puas punya rumah satu dua biji. Karena permintaan masyarakat yang serakah akan rumah, developer terus membangun hingga menggusuri hutan.
Sementara Singapura menikmati rahmat yang diberikan alam, berupa air melimpah karena bisa menjaga alam yang diberikan Tuhan; Batam malah kian “berhutan ruko” dengan penjahat-penjahat jalanan yang kian merajalela karena kehausan. ***