By Socrates –Rumah liar adalah rumah yang didirikan tanpa izin instansi yang berwenang. Rumah liar di Batam disingkat Ruli, diperkirakan sudah ada sejak pulau ini dikelola Otorita Batam tahun 1971. Sampai saat ini, tidak ada data pasti, berapa jumlah Ruli di Batam. Apa solusinya?
Ketua Otorita Batam yang kini bernama BP Batam dan Walikota Batam, silih berganti. Tapi, masalah Ruli belum teratasi, tidak ada solusi dan sebatas janji-janji. Ada memang, upaya mengatasi. Dari relokasi, pemutihan lahan, dan kapling siap bangun. Tapi, yang paling sering dilakukan ya, ini. Digusur.
Mengapa Ruli bermunculan dan merebak di Batam? Sejak Batam disulap menjadi kota industri, arus migrasi dari berbagai daerah, sangat deras. Bisa ditebak, sulitnya lapangan kerja di daerah asal, Batam yang menawarkan peluang kerja, gaji yang lumayan tinggi, diminati pendatang. Harap dicatat, sampai tahun 2022 ini, Upah Minimum Kota (UMK) Batam, tertinggi di Sumatera. Inilah yang menjadi faktor pendorong (push factors) dan faktor penarik (pull factors) orang-orang datang dan hijrah ke Batam.
Uniknya, migrasi tenaga kerja tersebut lebih didominasi oleh perempuan. Perusahaan-perusahaan pengerah tenaga kerja pun bermunculan. Lalu, dimana para pendatang ini tinggal? Bagi pekerja yang didatangkan, mendapat fasilitas asrama atau dormitory.
Bagi yang datang sendiri, ada yang menumpang di rumah keluarga, mengontrak rumah atau tinggal di kos-kosan. Banyak sekali ruko yang disulap jadi kos-kosan. Malah, sewa rumah kontrakan dan kos-kosan sangat fleksibel. Bisa bayar bulanan, mingguan, dan harian tergantung permintaan konsumen. Yang tidak mampu memiliki rumah, bayar kontrakan dan kos-kosan, memilih tinggal di rumah liar.
Nah, berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia, sejak awal Batam dikem-bangkan, pengelolaan lahan dikuasai oleh Otorita Batam yang lalu ganti nama menjadi BP Batam. Para pendatang yang tidak mampu memiliki lahan dan menyewa kos-kosan, memilih membangun rumah yang disebut rumah liar itu. Ketika ditanya, mengapa membangun Ruli di tanah Otorita Batam, mereka menjawab,’’ Ini kan tanah Tuhan,’’ katanya.
Berapa jumlah seluruh rumah liar di Batam? Tidak ada data yang pasti dan akurat. Saat Ismeth Abdullah baru menjadi Ketua Otorita Batam tahun 1998 diperkirakan jumlah Ruli 25.000 unit, tersebar di 59 lokasi.
Saat itu, Ismeth berjanji, menertibkan rumah liar dengan cara pemukiman kembali, pemutihan dan program rumah murah. Yang dikenal dengan nama Rumah Sangat Sederaha (RSS) dan ditambahi Sangat Sempit Sekali itu. ’’Dalam tempo 12 bulan, rumah-rumah liar itu akan habis,’’ kata Ismeth, saat itu.
Bukannya habis, jumlah rumah liar terus bertambah dan meningkat drastis. Berdasarkan data dari BP Batam, tahun 2016 jumlah rumah liar mencapai 85. 950 unit. Anehnya, data jumlah rumah liar antara BP Batam, Dinas Tata Kota Pemko Batam, Dinas Perumahan, Permukiman, dan Pertamanan (Disperkintam) dan Tim Terpadu, sering berbeda dan tidak sinkron, satu sama lain.
Misalnya, data jumlah ruli tahun 2018. Ada yang menyebutkan jumlahnya 33.868 unit. Ada juga yang mencatat 42.000 unit dan Tim Terpadu Kota Batam menyebut 50.000 unit. Entah mana data yang benar.
Rumah-rumah liar itu, umumnya dibangun di lahan kosong, daerah tangkapan air (cachment area) hutan lndung dan lahan yang sudah dialoka-sikan kepada pihak lain. Sangat sering terjadi, konflik horizontal antara warga yang tinggal di ruli dengan pengusaha yang mendapat alokasi lahan dan ada ruli di lahan tersebut.
Selain warga yang tinggal di ruli karena kebutuhan, juga ditemukan warga yang memiliki beberapa ruli, lalu disewakan. Bahkan, ada ’cukong-cukong’ yang menjadikan rumah liar sebagai lahan bisnis yang menggiurkan.
Seperti halnya kota-kota lain di dunia, para pendatang dan kaum migran sering dianggap sebagai akar masalah kemiskinan di perkotaan. Para ahli sosial berusaha menjawab masalah migrasi ini. Munculnya orang-orang miskin di kota ini, menurut pandangan teori struktural, karena model pemba-ngunan menciptakan ketergantungan. Sektor industri yang dikembangkan menuntut orang yang bekerja harus memiliki keahlian. Mereka yang tidak punya keahlian, gagal bersaing dan menganggur. Apalagi, teknologi makin maju sehingga kesempatan kerja makin mengecil.
Pembangunan yang dipusatkan di kota Batam, sementara pulau-pulau kecil di wilayah Batam, Pulau Bintan, Karimun, Lingga, Natuna ketinggalan, telah menimbulkan urban bias sehingga kaum migran enggan kembali ke daerah asalnya, menumpuk di Batam. Sebut saja misalnya, perpindahan warga Dabosingkep ke Batam pasca tutupnya tambang timah.
Dalam pandangan teori margin, orang miskin di kota adalah para migran yang membawa kebiasaan, nilai dan norma kehidupan desa ke kota. Kaum migran ini, ternyata tidak mampu berintegrasi dengan kehidupan sosial ekonomi kota dan gaya hidup di perkotaan. Ketidakmampuan ini menyebab-kan jumlah orang miskin di kota, makin lama makin bertambah banyak.
Saat awal datang ke Batam, umumnya para pendatang ini, berencana tinggal sementara. Mengadu nasib, mencari kerja. Ketika pabrik-pabrik dan kawasan industri tidak bisa menampung mereka, akhinya merambah sektor informal seperti buruh, pengojek, supir taksi, sekuriti, penyapu jalan, pemulung dan sebagainya.
Ini salah satu sebab, mengapa mereka memilih tinggal di rumah liar. Beli rumah, yang tipe kecil dan paling murah sekalipun, biaya kontrakan bulanan atau kos-kosan, terasa memberatkan. Pilihan yang paling masuk akal, ya tinggal di rumah liar.
Selain itu, suasana kekeluargaan, banyak tetangga orang sekam-pung, dekat dengan tempat kerja, menyebabkan warga lebih suka di rumah liar dari pada pindah ke rumah susun atau rumah sewa murah. Meski awalnya rencana tinggal di Batam sementara, sadar atau tidak, mereka seperti terjebak dan tinggal bertahun-tahun, berkeluarga dan bera-nak pinak di Batam. Apalagi, umumnya para pendatang dari berbagai daerah ini, berusia produktif.
Hidup dan tinggal di Batam yang dikenal sebagai kota mahal dengan biaya hidup tinggi, ternyata tidak selalu memenuhi harapan para pendatang. Ukuran keberhasilan, seberapa banyak uang yang bisa dikumpulkan dan ekonomi mereka membaik. Tidak sedikit pula, yang merasa malu pulang ke kampung halaman.
Modernisasi Pulau Batam ditandai dengan kebangkitan bisnis. Pemba-ngunan gedung, jalan dan jembatan, pusat perbelajaan, galangan kapal dan pabrik-pabrik. Inilah yang memicu migrasi besar-besaran. Orang-orang kampung dari berbagai daerah, hijrah ke Batam.
Jadilah Batam ibarat kampung besar dengan budaya urban. Ciri-ciri budaya urban adalah ketidakpastian. Kehidupan manusia urban berkeping-keping dan tidak harmonis lantaran ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup dan keteraturan sosial. Rasa frustrasi sosial merebak ditambah beban hidup yang semakin berat. Tidak heran, titik-titik pemukiman liar bertambah banyak, menjadi kawasan slum area yang dipadati rumah liar.
Jumlah penduduk terus bertambah secara fantastis. Sedangkan lahan, daya tampung dan daya dukung Pulau Batam makin terbatas.
TAHUN | JUMLAH PENDUDUK | KENAIKAN | |
1970 | 6.000 Jiwa | ||
1980 | 47.000 Jiwa | 7, 8 kali lipat | |
1990 | 135.000 Jiwa | 22,5 kali lipat | |
2000 | 455.000 Jiwa | 75,8 kali lipat | |
2010 | 949.000 Jiwa | 158 kali lipat | |
2020 | 1.196.000 Jiwa | 199,3 kali lipat | |
1970 s/d 2020 | 199,3 kali lipat | ||
Tabel pertambahan jumlah penduduk Batam setiap 10 tahun
Mari kita lihat data penduduk Batam. Tahun 1970 penduduk Batam 6.000 jiwa. Tahun 1980 melonjak menjadi 47.000 jiwa hampir 8 kali lipat. Tahun 1990 penduduk Batam 135.000 jiwa. Tahun 2000 naik lagi menjadi 455.000 jiwa. Tahun 2010 jumlah penduduk Batam 949.000 jiwa. Dan tahun 2020 menjadi sebanyak 1.196.000 jiwa. Dalam tempo 50 tahun, penduduk Batam naik 199 kali lipat!
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021, jumlah penduduk Kepulauan Riau sebanyak 2.055.278 jiwa. Mari kita cek sebarannya. Jumlah penduduk Batam 1.169.648 jiwa. Penduduk Karimun 260.438 jiwa. Bintan 185.920 jiwa dan Anambas 42.803 jiwa. Tampak jelas sebaran penduduk timpang dan tidak merata. Malah, penduduk Kelurahan Belian di Batam, jauh lebih banyak dari penduduk Kabupaten Anambas.
Pertanyaan penting adalah, solusinya untuk mengatasi rumah liar di Batam?
Pertama, harus ada keinginan politik (political will) yang kuat dari Wali Kota Batam dan Kepala BP Batam, untuk menyelesaikan dan menuntaskan masalah rumah liar di Batam. Tidak bisa lagi penyelesaian secara sporadis dan temporer, seperti pemutihan lahan, kavling siap bangun karena ketersediaan lahan makin terbatas.
Rumah susun (rusun) merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah kebutuhan perumahan warga Batam yang masih tinggal di Ruli. Apalagi, rusun tidak terlalu banyak menggunakan lahan dan ruang terbuka kota lebih lega.
Ada lima pilihan, yakni rumah susun sewa (Rusunawa) Rumah Susun Milik (Ruisunami) Rumah Susun Khusus, Rumah Susun Negara dan Rumah Susun Komersil. Agar warga yang terbiasa bertahun-tahun tinggal di Ruli, rusun tersebut dibangun di lokasi strategis. Bukan di daerah pinggiran sehingga menyulitkan dari segi transportasi. Rusun yang dekat tempat kerja, akan jadi daya tarik tersendiri.
Apa saja keunggulan rumah susun? Harga murah dan terjangkau. Layak huni. Secara hukum legal. Keamanan 24 jam. Optimalisasi lahan terpenuhi dengan membangun rusun secara vertikal. Bisa dibuat fasilitas bersama dalam bentuk fasilitas umum.
Lalu, dimana lokasi rusun dibangun? Tahap awal, bisa dibangun di setiap kecamatan, lalu di tiap kelurahan. Rusun yang bagus bisa jadi percontohan. Soal lahan, tentu bisa diputuskan BP Batam sebagai penguasa lahan. Bukankah investor yang sudah dapat alokasi lahan, kalau tidak dibangun, izin alokasinya dicabut? Apalagi, Wali Kota adalah ex officio Kepala BP Batam yang sebelumnya, belum pernah terjadi.
Ada lagi solusi yang agak ekstrim dan kontraversial. Yakni, menjadikan bangunan hotel, ruko dan apartemen yang mangkrak pembangunannya jadi rusun. Anggap saja ini sebagai sanksi buat pemiliknya. Selain itu, ratusan bahkan ribuan dormitory kawasan industry Batamindo yang dulu penuh, kini banyak yang kosong. Jadikan ini rusun, khusus untuk warga Batam yang masih lajang dan bekerja di kawasan industri Mukakuning.
Johan Lindquis, antropolog dari Stockholm University, pernah tinggal dua tahun meneliti Batam. ‘’Banyak orang terjebak di Batam. Terkait globalisasi, Batam adalah kota perbatasan yang miskin berhadap-hadapan dengan Singapura yang kaya. Percepatan pertumbuhan Batam memunculkan berbagai masalah-masalah sosial dan budaya,’’ katanya, kepada saya yang mewawancarainya, tahun 2008 silam.
Bule yang fasih berbahasa Indonesia ini mengatakan, masalah utama Batam adalah perumahan. ’’Tidak ada rumah-rumah murah untuk orang miskin. Biaya kos di ruko-ruko di Jodoh dan Nagoya mahal. Siapa yang bisa tahan tinggal tiga orang dalam satu kamar,’’ katanya.
Rekomendasi penelitiannya adalah, pemerintah harus memikirkan orang miskin dengan serius. Pemerintah sendiri sudah tahu, tapi caranya harus lebih cepat. Orang miskin harus diperhatikan dan bukan soal investasi saja serta membentuk struktur sosial yang lebih kuat. Jangan lihat semua masalah, tetapi pecahkan satu persatu. Ketika masalah Ruli terselesaikan, masalah lain akan ikut terurai. ***