SEBONG di laut, Pereh di bukit. Dua kelompok warga dengan pola kebiasaan hidup berbeda dan sudah mendiami Bintan di bagian sisi sebelah utaranya sejak seratusan tahun lalu itu, disatukan menjadi Sebong Pereh.
Oleh: Bintoro Suryo
“Apa tadi namanya, pak?”, tanya Sania.
“Sebong Pereh. ‘E’ pertama pada ‘Pereh’ dibunyikan lemah”, kata saya.
“Oh, oke”.
Saya, Domu dan Sania sedang melintasi sisi Utara pulau Bintan. Usai dari Tanjung Uban dengan melewati komplek tentara dan KPLP, kami melewati pantai Sakera, kemudian kampung Bugis. Ada gerbang yang menunjukkan lokasi yang kami lintasi, mulai memasuki wilayah kecamatan Teluk Sebong.
Desa Sebong Pereh yang akan kami tuju dari kota tua Tanjung Uban, awalnya cuma sebuah kampung. Wilayahnya bergabung bersama kota Tanjung Uban di kecamatan Bintan Utara. Kemudian, sekarang berkembang menjadi sebuah desa dengan nama sama, seiring pemekaran kecamatan induk Bintan Utara yang terbagi menjadi beberapa kecamatan baru.
Luas Sebong Pereh mencakup ± 30,80 km². Setelah berstatus desa, wilayahnya bergabung di kecamatan Teluk Sebong. Desa Sebong Pereh terbagi ke dalam 3 (tiga) Dusun, 5 (lima) Rukun Warga dan 17 (tujuh belas) Rukun Tetangga.
“Coba tanya kakak itu, mu. Mungkin dia tau, kepala desa atau perangkat RT/RW di sekitar sini”, kata saya ke Domu.
Kami berhenti sejenak di ruas jalan di pinggir pantai ini.
“Itu rumahnya, yang panggung. Rumah kepala desa kami”, kata seorang wanita muda yang kami hampiri. Awalnya, ia tengah asyik menyapu pekarangan rumahnya yang luas, persis di pinggir jalan lintas ini.
Ada beberapa orang di bagian samping rumah model panggung yang unik tersebut. Rasanya, itu merupakan satu-satunya rumah panggung yang tersisa di wilayah ini. Bentuknya mirip rumah panggung Limas potong khas tempat tinggal warga Melayu pesisir tempo dulu.
“Assalamualaikum, apa benar ini rumah pak Kades?” tanya saya begitu kami sampai di rumah panggung di pinggir jalan perlintasan itu. Letaknya sekitar 20 meter dari rumah wanita yang kami tanyai tadi.
“Ya, saya sendiri”, kata salah satunya.
Perawakannya besar dengan kulit legam, mungkin terbiasa terpapar matahari.
Namanya Bahari, kepala desa Sebong Pereh periode sekarang. Ia baru terpilih pertengahan tahun kemarin dalam sebuah pesta demokrasi pemilihan kepala desa serentak yang digelar di kabupaten Bintan.
“Sile lah. Nak di dalam atau teras biar dapat angin?” tanyanya ramah.
Bahari, pria 53 tahun kelahiran Tanjung Uban ini kemudian mempersilahkan kami untuk naik ke rumah panggungnya yang sederhana.
“Saya bangun sendiri ini, perlahan-lahan lah”, katanya saat Domu menanyakan proses rumah panggungnya yang terbilang langka saat ini.
“Seharusnya, rumah panggung macam ni, dibangun di atas tanah yang luas. Jadi, ada halaman depannya yang bise buat macam-macam lah. Karena tak punya tanah besar, kite bikin macam ni saje lah”, kata Bahari tersenyum.
Ada dua orang lain bersamanya saat itu. Belakangan kami tahu, yang satu adalah pak Atan, keturunan orang pertama yang pernah memerintah di wilayah ini seratusan tahun silam. Yang lainnya adalah mantan sekretaris desa ini di periode sebelumnya, Samsul Kamal.
Mereka sedang memantau pengerjaan tembok batu miring di sepanjang pantai sekitar wilayah ini untuk menahan abrasi. Pengerjaannya ternyata juga melintasi bagian belakang rumah sang kepala desa yang persis berhadapan dengan pantai.
Rumah panggung Bahari berdiri persis di pinggir jalan lintas desa Sebong Pereh, berhampiran laut. Bagian dapur dan ruang tandasnya berada di ujung pantai, agak menjorok ke laut. Sebagian besar bangunan itu didirikan dari kayu.
“Bahannya dari sekitar sini saje. Mase lengang, saya kerjakan. Sambil lalu saje, bang. Lumayan lah buat berteduh”, katanya.
“Rumah limas potong, ya?” tanya saya.
“Katanya begitu, rumah orang Melayu lah pokoknya”, kata Bahari tergelak.
Limas Potong merupakan salah satu rumah adat atau tradisional khas Melayu di Kepulauan Riau. Rumah adat ini berbentuk panggung, sama halnya seperti rumah tradisional khas Sumatera lainnya. Jenis rumah seperti ini marak dibangun oleh warga yang tinggal di pesisir Kepulauan Riau, termasuk di Bintan dan pulau Batam.
Penamaan rumah adat ini diambil dari bentuk atapnya yang menyerupai bangunan limas yang terpotong. Keberadaan Rumah Limas Potong di Kepulauan Riau makin tergerus dengan model-model rumah modern yang lebih ringkas serta mudah dalam pengadaan bahan bakunya.
Dari jurnal Elemen Arsitektural Atap pada Rumah Tradisional Melayu Riau (2017) karya Bhara Marangga Ramadissa, dkk, ukuran pembangunan rumah Limas Potong sangat dipengaruhi oleh kemampuan pemiliknya. Artinya semakin kaya pemiliknya, maka ukuran rumahnya akan semakin luas dan besar pula.
Selain mempengaruhi besar, lebar atau luas, kemampuan pemilik rumah juga akan berpengaruh pada ragam hias yang digunakan. Semakin kaya pemiliknya, maka ragam hiasannya juga semakin banyak.
Lazimnya rumah jenis Limas potong di Kepulauan Riau lainnya, rumah yang dibangun sang Kades di Sebong Pereh ini, juga merupakan rumah panggung. Ketinggiannya sekitar 1 meter permukaan tanah. Ada lima bagian utama rumah ini ; teras, ruang depan, ruang tengah, ruang belakang serta dapur.
Bahari membangun rumahnya dari susunan papan kayu berwarna coklat. Untuk atapnya terbuat dari bahan seng dan dicat berwarna merah. Kusen pintu, jendela dan pilar anjungan kediamannya juga dicat untuk memberi kesan menarik.
“Rumah ini, sejak tahun 2014. Saya bangun sendiri lah”, kata Bahari.
Termasuk jendela dan pintu rumah tersebut, dibuat sendiri oleh Bahari. Menurutnya, keinginannya begitu besar untuk bisa memiliki rumah dengan konsep tradisional warisan leluhur.
“Awalnya, saya minta dibuatkan gambar oleh paman saya, dia memang bisa menggambar rumah. Saya minta Kecik saja, untuk tempat tinggal”, lanjutnya.
Menurut Bahari, karena dikerjakan sendirian saja, rumah etnik tersebut baru bisa dirampungkannya selama dua tahun.
“Bagian ruangnya apa aja, pak”, tanya Sania.
“Kalau yang bahagian sebelah dalam ni, biasa disebut ruang tengah. Biase kalau rumah yang agak besar, Ade tiang di tengahnya, disebut tiang Sri. Yang ni, tak Ade lah karena rumahnya Kecik saje”, kata Bahari.
“Kalau yang kite duduk ni, serambi, teras”, lanjutnya.
Menurut Bahari, Pada zaman dahulu, orang-orang tua sering duduk berlama-lama di bahagian serambi. Selain untuk beranjangsana, mereka juga menggunakannya untuk saling berbincang, tukar pendapat hingga menggelar kegiatan pengajian.
Umumnya rumah tinggal, ada juga bagian belakang yang berfungsi sebagai dapur serta ruang tandas/ toilet.
“Ini bahannya dari kayu apa, pak”, tanya Sania lagi.
“Banyak macam, ada kayu Meranti, seraya kemudian ada juga kayu kapur. Masalahnya kan, kita mencari bahannya sendiri. Mana yang kita temui, itu lah yang kita gunakan”, kata Bahari.
Walau terlihat sederhana, rumah kayu milik Bahari ini juga dihiasi beberapa motif ukiran yang dipahat. Seperti yang terletak di bagian bawah jendela serta menjadi pembatas ruang serambi dan halaman depan yang bermotif bunga atau daun.
“Nah, yang bahagian atas itu, ukiran bentuk lebah begayut. Tahu sarang lebah, kan? Nah yang bahagian bawahnya itu yang disebut begayut”, terang Bahari tersenyum.
Orang Melayu tempo dulu, menurutnya, biasa mengidentifikasi sesuatu dari hal yang biasa mereka lihat di sekitarnya. Mulai dari pohon, daun, bunga hingga binatang atau bahkan orang atau tokoh. Objek-objek itu kemudian ditransformasikan secara deskriptif menjadi sebuah seni yang mempengaruhi kebudayaan hingga penamaan tempat atau lokasi.
(*)
Bersambung
Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.Artikel ini pertama kali terbit di : bintorosuryo.com