LUSI, istri Muljadi, kemudian dirawat di rumah sakit Mount Elizabeth Singapura, masih tetap dalam keadaan koma. Istrinya dirawat selama 10 bulan lebih sehari.
‘’Saya merasa sangat sedih. Tidak ada yang bisa mengerti perasaan saya. Saya sangat menderita,’’ tulis Muljadi dalam catatannya, betapa sedihnya ia melihat kondisi sang istri.
Anak-anak Muljadi, baik yang di Batam maupun di Singapura, juga sedih melihat kondisi kedua orang tua mereka. Papi mereka lumpuh karena stroke, sedangkan Mami mereka koma dan tak sadarkan diri berbulan-bulan.
‘’Mami saya dirawat hampir 11 bulan di rumah sakit. Dua bulan lamanya di ruang ICU dan tidak boleh masuk untuk dijenguk. Papi, meski lumpuh karena stroke, tiap jam 07.00 pagi, minta antar ke rumah sakit. Pakai kursi roda, Papi datang dan hanya menunggu di ruang tunggu, sampai sore. Besok paginya, ia akan melakukan hal yang sama. Tiap hari,’’ tutur Merry Muljadi berkaca-kaca, menceritakan saat-saat awal ibunya dirawat di Singapura.
‘’Saya belum menemukan orang yang mencintai istrinya seperti Pak Mul. Tiap hari dia menangis. Kenapa harus Mami yang sakit, kenapa bukan saya? Dia bilang kepada dokter, dengan cara apapun, berapapun biayanya, sembuhkan istri saya. Batok kepala Mami akhirnya dibuka kiri dan kanan agar Mami bisa bertahan,’’ kata Merry Muljadi kemudian terisak.
Kesedihan dirasakan semua anak-anak, menantu dan cucu-cucu Muljadi. Papi mereka lumpuh dan Mami koma. Dengan kondisi kedua orang tua seperti itu, Merry dan Princip Muljadi pada tahun 2013 itu, selama satu tahun penuh tidak bisa bekerja. Kadang-kadang, selama dua sampai tiga bulan lamanya, mereka harus berada di Singapura untuk menemani orangtua mereka. Keduanya hanya pulang ke Batam jika ada keperluan mendesak dan bebas dari segala kegiatan.
Anak Muljadi yang berada di Jakarta pun juga pulang ke Singapura. Bahkan Asmayadinata Muljadi Putera, cucu pertama Muljadi pulang dari studinya di Australia. Anak- anak Merry juga turut berkumpul menunggu di rumah sakit. meski harus sembari belajar di rumah sakit Mount Elizabeth, Singapura. Keluarga ini, begitu kompak menjaga kakek dan nenek mereka.
Cucu pertamanya, Asmayadinata Putera Muljadi yang sejak kecil tinggal bersamanya sebelum melanjutkan Pendidikan di Australia, setia menemani sang kakek. Asmaya yang memanggil Muljadi dengan panggilan sayang Yeye, ingat momen saat sang nenek yang dipanggilnya Nainai dirawat di rumah sakit di Singapura.
“Saya masih ingat, selesai diploma pulang, lalu saya langsung mendatangi Yeye. Beliau langsung bilang bahwa beliau sedih sekali. Terus saya bilang jangan sedih, kita semua sedih,” ujar Asmaya.
Saat Nainai-nya harus berada di rumah sakit, Asmaya tidur di sebelah Muljadi dan setia menemani kakeknya di rumah sakit. Asmaya menyebut, sang kakek menjadi lebih terbuka padanya. Karena usia yang sudah cukup dewasa, ia berinisiatif mencoba menggantikan peran sang nenek untuk berbicara dari hati ke hati dengan Muljadi.
“Di situ beliau bilang sama saya, tahu tidak, Nainai terakhir kali berbicara apa dengan saya ketika kejadian jatuh di kamar mandi? Karena saat itu Yeye sudah stroke, Nainai bilang terakhir kepada Yeye, Papi jangan datang, jangan datang, aku baik- baik saja, ” ujar Asmaya haru.
Pada bulan Juli 2014, dokter di Singapura akhirnya mengizinkan istri Muljadi pulang dan dirawat di rumah saja. Meski sedikit, kondisi sang istri mulai ada kemajuan. Lusi mulai bisa berbicara pada saat sadar saja. Saat menulis catatan tentang perjalanan hidupnya, istrinya sakit dan sudah memasuki tahun kelima di tahun 2019 lalu. Biaya perawatan di rumah sakit pun tidak sedikit. Mencapai 1,5 juta Dollar Singapura.
‘’Harta adalah titipan Tuhan. Berapapun biayanya, asal bisa menyembuhkan istri saya, saya mau membayarnya. Saya dan istri jatuh sakit, mungkin ini sudah suratan nasib dan cobaan Tuhan. Beberapa tahun ini, kami, suami istri berjuang menghadapi penyakit kami,’’ tulis Muljadi dalam catatannya.
Untuk membantu dan menjaga istrinya yang dirawat di rumah, Muljadi meminta bantuan dan membayar dua orang perawat yang menjaga sang istri 24 jam setiap hari.
Cobaan terus datang silih berganti. Belum sembuh penyakit stroke yang dideritanya bertahun-tahun dan istri yang dalam keadaan koma, pada bulan Juni 2016, saat diperiksa dokter, ternyata ginjal Muljadi juga bermasalah. Akibatnya, setiap minggu Muljadi harus ke rumah sakit untuk melakukan cuci darah selama 4 jam.
‘’Apakah ini karma dalam ajaran Budha? Saya menganggap, ini semua adalah cobaan dari Tuhan. Hari demi hari, tahun demi tahun saya lalui. Saya hanya bisa pasrah. Namun, saya sadar. Hanya komitmen yang menopang kehidupan saya yang memiliki banyak cucu yang lucu, yang sangat baik dan pengertian kepada saya. Mereka membuat saya bahagia. Saya tetap optimis,’’ tulis Muljadi, dalam catatannya.
Menurut Merry, ayahnya Muljadi, sangat kuat melawan berbagai penyakit yang diderita. Mulai dari kanker usus, stroke dan gagal ginjal.
‘’Papi saya kuat menghadapi penyakitnya. Malah, Papi masih sempat pulang ke Batam satu dua hari, menghadiri pesta pernikahan anak temannya, menghadiri acara PSMTI dan sebagainya,’’ cerita Merry Muljadi.
Namun, sejak pandemi Covid-19 melanda dunia termasuk Batam dan Singapura, keluarga ini tidak bisa lagi berkumpul seperti sebelumnya. Ada larangan berkumpul, jaga jarak dan memakai masker. Apalagi, Singapura dan Batam melakukan lock down.
‘’Sejak Covid-19 awal tahun 2020, kondisi jadi semakin sulit. Apalagi, saya dan Papi serta Mami, tinggal di rumah yang berbeda, sehingga saat pemerintah Singapura menerapkan lock down dan di rumah saja, kami tidak bisa bertemu,’’ cerita Merry Muljadi.
Pemerintah Singapura dan Indonesia, menutup perbatasan masing-masing untuk mencegah penyebaran wabah Covid-19. Merry dan Princip lalu berbagi tugas.
‘’Saya bilang sama Princip, kamu di Batam dan saya di Singapura. Karena harus ada yang menjaga orangtua kita di Singapura, harus ada yang mengurus bisnis di Batam,” kata Merry Muljadi.
Sayangnya, meski Merry memutuskan tetap di Singapura karena ia juga permanent residence di negara tetangga itu, ia tak bisa mengunjungi dan melihat bagaimana kondisi kedua orangtuanya. Dua kali dalam waktu cukup lama, Merry tidak bisa mengunjungi Papi dan Maminya. Satu bulan lock down pertama dan tiga minggu yang kedua.
‘’ Tiap hari saya menelepon Papi. Pertanyaannya selalu sama. Kenapa tidak ke sini?’’ kata Merry dengan mata berkaca-kaca. Dalam pengamatan Merry Muljadi, sejak pandemi Covid-19, tubuh Muljadi makin kurus. Ia merasa kesepian, Kondisi fisiknya drop dan terus menurun.
Selanjutnya : Peduli pada Pendidikan Anak dan Cucunya I Sakit Bersama Istri, Bertahun-tahun Berjuang Sembuh– MENEROBOS WAKTU’ Sebuah Memoir: My Life Journey – MULJADI, TOKOH PROPERTY BATAM (Bagian 42)