By Socrates – Profesionalisme wartawan sejak lama diperbincangkan. Ada yang menyebutkan, wartawan adalah sebuah profesi. Mereka yang ahli dalam sebuah profesi disebut kaum profesional. Seorang profesional dihargai karena karya jurnalistiknya, bukan karena hal lain.
Seorang profesional adalah seseorang yang menawarkan jasa atau pelayanan sesuai peraturan dalam bidang yang dijalaninya dan menerima gaji atau upah atas jasanya. Artinya, seseorang yang ahli dalam bidangnya disebut profesional dan kebalikannya adalah seseorang yang amatir.
Anda wartawan profesional? Inilah pertanyaan penting yang harus kita ajukan kepada para wartawan, jika ingin menjadikan pers menjadi tulang punggung demokratisasi di Indonesia. Setidaknya, ada tiga dimensi untuk mengetahui profesionalisme wartawan.
Pertama, dimensi kognitif yakni yang berkaitan dengan skill dan kemampuan seorang wartawan dalam menjalankan pekerjaannya yang ditentukan pendidikan dan pelatihan yang diperolehnya. Kedua, dimensi normatif yang berkaitan dengan etika profesional dan aturan yang melingkupi dunia kewartawanan itu sendiri. Sedangkan yang ketiga, dimensi evaluatif yang bersifat menilai kinerja wartawan sebagai seorang profesional. Saya mencoba mengklasifikasikan ketiga dimensi tersebut, apa yang diperlukan seseorang menjadi wartawan profesional.
Paham profesi wartawan
Ia harus paham dengan pekerjaan seorang wartawan dan lika-liku berita seperti straight news, investigative reporting, indept news, reportase, human interest news, artikel, foto berita, dan grafis yang ber-nilai berita. Ia mengerti standar sebuah berita dan memenuhi syarat jurnalistik dan rumus 5 W + H. Juga harus paham how to get news dan how to write news.
Ia tahu cara mengumpulkan data dan fakta, melalui wawancara, reportase, riset dan investigasi. Ia juga teguh dan menjunjung tinggi fakta, membela kebenaran dan melawan ketidakadilan dan kepentingan umum serta tidak mencampuradukkan fakta dan opini, sekalipun narasumbernya dibencinya sampai ke liang kubur sekalipun.
Paham berita
Bukan wartawan namanya kalau tidak tahu berita. Berita bukan fiksi, dan selalu berdasarkan fakta. Berita selalu menyangkut fak-ta publik, bukan fakta pribadi. Fakta publik mencakup fakta em-pirik dan fakta psikologis seperti peristiwa dan kejadian nyata. Wartawan yang ’’mengkloning’’ berita adalah plagiator. Ia tahu kapan dan dimana mencari berita, siapa yang diwawancarai, apa yang harus ditanyakan, dan memverifikasi hasilnya.
Ia juga paham syarat sebuah berita, yakni akurat, berimbang, tidak melanggar norma dan rasa kesusilaan masyarakat. Dia mewakili kepentingan publik dengan melaporkan hal-hal yang hanya ada kaitannya dengan kepentingan masyarakat kebanyakan.
Wartawan profesional sangat paham, hanya informasi yang mempunyai nilai bagi peri kehidupan manusia yang layak diberitakan, yang dicari, diperoleh, dimiliki, disimpan, diolah dan di-sampaikan secara etis, yang pantas, yang patut dan layak diberitakan.
Paham UU Pers dan KEJ
Wartawan adalah orang yang melaksanakan kegiatan jurnalistik secara teratur. Ia seorang yang teliti dan wajib mengedit ulang tulisannya. Ia memberitakan peristiwa dan opini dengan meng-hormatinorma-norma agama, rasa kesusilaan masyarakat, asas praduga tak bersalah, melayani hak jawab, hak koreksi dan kewajiban koreksi.
Wartawan profesional paham UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, sebagai rambu-rambu dan aturan yang harus dipatuhinya termasuk penafsirannya. UU dan KEJ harus menjadi buku saku wartawan kemanapun dia pergi. Prinsip balancing dan cover both side harus dipegang teguh dan menjadi alasan profesional menggarap berita secara lengkap dari berbagai angle atau sudut pandang. Dia tahu hukum. Dia tahu soal pencemaran nama baik, penghinaan persidangan, hak-hak parlementer dan ketentraman publik. Dia tahu aturan kepolisian hingga dia bisa bekerja seperti detektif dan provos.
Akurat dan Profesional
Tiga syarat sebuah berita adalah: akurasi, akurasi, akurasi. Wartawan harus teliti, melaksanakan check and recheck, mengedit ulang untuk mengetahui apakah sudah memenuhi standar jurnalistik. Kesalahan penulisan adalah kemalasan dan kecero-bohan dan bisa mencelakakan narasumber, orang lain dan wartawan itu sendiri. Dia suka akurasi dan selalu mengecek fakta lebih dari sekali. Selalu berusaha melihat dua sisi dari sebuah kejadian.
Ia harus rajin membaca, rapat dan diskusi untuk mengasah kemampuannya. Seorang wartawan harus memiliki semangat menjadi wartawan profesional, mencintai profesinya, idealisme tinggi dan solidaritas terhadap profesi. Romantisme sebagai pekerja surat kabar, harus digeser menjadi semangat profesi. Ia tidak akan silau oleh godaan uang dan menjadi alat kekuasaan. Prinsip menghalalkan segala cara tak ada dalam kamus reportasenya. Laporkan berita dengan akurat dan tulis dengan jelas.
Paham Kemerdekaan dan Peran Pers
Kemerdekaan pers adalah salahsatu wujud kedaulatan rakyatyang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Peran pers adalah memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, mengembangkan pendapat umum, dengan menyampaikan informasi yang tepat, akurat dan benar.
Kemerdekaan pers bukan hanya untuk orang pers, tapi untuk seluruh masyarakat untuk mengembangkan kehidupan yang demokratis. Pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin.
Kemerdekaan pers disertai penegakan supremasi hukum dan tanggungjawab profesi yang dijabarkan dalam kode etik jurnalistik sesuai hati nurani insan pers. Selain bebas dari tekanan dan intimidasi, pers memilik hak tolak untuk melindungi sumber informasi, kecuali demi keselamatan negara dan ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan.
Kemerdekaan pers digunakan untuk memberantas KKN, menegakkan prinsip good governance dan clean goverment, menegakkan hukum, keadilan dan kesetaraan, serta melindungi hak-hak minoritas.
Wartawan profesional paham peran pers. Yakni, memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan; mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; memperjuangkan keadilan dan kebenaran
Dihargai karena Karya
Seorang wartawan dihargai karena karya jurnalistiknya. Bukan karena jabatannya sebagai redaktur, bahkan pemimpin redaksi. Ia dikenal bukan karena pintar melobi, dekat dengan pejabat dan pintar cari muka, tapi karena karya jurnalistiknya.
Wartawan profesional selain melakukan wawancara, reportase, riset dan investigasi, ia menyadari benar sebagai seorang intelektual dengan standar moral yang tinggi. Ia bukan tipe wartawan talking news tapi menyajikan berita yang kaya informasi, datanya lengkap, kaya analisis, mampu memberi motivasi dan inspirasi bahkan empati pembacanya. Wartawan profesional harus mengutamakan data, analisis dan investigasi. Bukan hanya jurnalistik ’’omong doang’’ apalagi kini ada kecendrungan wartawan terjebak statement journalism. Kewajiban wartawan yang paling dasar: menggali dan memverifikasi fakta dari lapangan, sesederhana apapun. Selain menghasilkan berita, feature, laporan, dan hasil investigasi, kehormatan wartawan akan lebih lengkap jika ia menghasilkan buku.
Selalu Belajar dan Belajar
Bakat menjadi seorang wartawan memang penting. Tapi, mo-dal bakat saja tidak cukup. Seorang wartawan juga harus me-miliki kemampuan yang terukur dan sekolahan. Itu sebabnya, minimal seorang wartawan harus sarjana stara I.
Masyarakat kini semakin kritis dan pintar, seiring meningkatnya status sosial ekonomi, pendidikan, mobilitas yang makin tinggi dan terbukanya akses informasi berkat kemajuan teknologi dan informasi secara global. Wartawan profesional menyerap keterampilan jurnalistik tertinggi: kemampuan belajar, bagaimana untuk belajar. Dia seorang generalis dengan satu spesialisasi: rasa ingin tahu.
Dia, misalnya, bisa memahami persoalan hukum superpelik, mengerti detil teknis di bidang sains dan pertahanan militer, dan bisa menggunakan pandangan para ahli dan pakar untuk menjawab persoalan ekonomi dan politik dan melakukan semua itu dengan cepat.
Itu sebabnya, proses rekrutmen wartawan pun makin ketat. Selain sarjana, ia harus mengikuti pelatihan jurnalistik, in house training, lokakarya dan pendidikan khusus di bidang jurnalistik lainnya. Ilmu seorang wartawan profesional tidaklah semakin tinggi, tapi makin meluas dan mendalam.
Apalagi, kita tahu. Bertambahnya jumlah wartawan berbanding terbalik dengan pendidikan jurnalistik di akademi dan perguruan tinggi atau lembaga pendidikan lainnya. Sekolah jurnalistik di Indonesia baru muncul tahun 1953, namun baru tahun 1980-an perusahaan media mensyaratkan calon wartawannya seorang sarjana.
Pada dimensi evaluatif, penilaian terhadap wartawan profesional selain dari karya jurnalistik yang dihasilkannya, kini bebe-rapa perusahaan media seperti menerapkan standar penilaian seperti: produktivitas, penilaian prestasi yang mencakup skill, kreativitas, disiplin, team work dan aspek prospektif seperti latar belakang pendidikan, kepemimpinan dan loyalitas. Ada juga yang menerapkan Key Performance Indicator (KPI).
***
Sikap Wartawan Profesional
Memang, tidak mudah menjadi wartawan profesional. Selain me-menuhi kriteria di atas, perlu watak dan karakter tertentu untuk menjadi profesional sebagai berikut :
Berpikir kritis dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi (curiosity) berpandangan positif dan memiliki respek terhadap kemanusiaan. Selalu curiga, tapi tidak apriori.
Jujur, independen dan obyektif. Memiliki integritas tinggi dan moral yang baik. Aktif dan membuka mata dan telinga untuk berita. Suka bekerja keras dan cerdas, pantang menyerah. Bisa be-kerja dalam tim.
Gemar bepergian, pikiran dan wawasannya terbuka terhadap hal-hal baru. Cinta bahasa, suka membuka kamus, suka hal-hal detail.
Tak pernah puas, karena informasi terus berkembang. Wartawan tak boleh ‘’kuper’’ dan ‘’telmi’’ suka pada tantangan.
Tahan banting, ulet dan tahan terhadap godaan suap dan tidak menghalalkan segala cara. Loyalitas tinggi terhadap profesinya.
Bagaimana Pers di Kepri?
Sebelum era pers bebas hadir di republik ini, Kepulauan Riau boleh bangga pernah tampil dalam panggung jurnalistik nasional. Tokoh seperti Raja Ali Haji sudah menulis buku Kitab Pengetahuan Bahasa (1857). Tokoh lain yang pantas disebut sebagai penggagas tradisi jurnalisme di Tanah Melayu adalah Raja Ali bin Raja Muhammad Yusuf Al-Ahmadi Yang Dipertuan Muda Riau alias Raja Ali Kelana. Majalah yang dikelolanya Al-Imam melaporkan tentang Pulau Tujuh yang menjadi rebutan Inggris dan Belanda. Al Imam terbit pertama kali Juli 1906 dan beredar di seluruh semenanjung sampai ke Singapura. Laporan jurnalistik Raja Ali Kelana yang terkenal adalah Pohon Perhimpunan.
Pada tahun 1939, Raja Haji Muhammad Yunus Ahmad menerbit-kan majalah Peringatan di Pulau Penyengat. Guru agama ini juga bertindak sebagai penanggungjawab dan pemimpin redaksinya. Ma-jalah tersebut menyajikan pemikiran cendekiawan dan kegiatan pen-didikan di Pulau Penyengat. Hebatnya lagi, pada masa itu sudah ada percetakan Mathabatul Riauwiyah di Pulau Penyengat. Percetakan ini semula berada di Daik Lingga. Pada masa itu, Kerajaan Siak Sri Indrapura juga memiliki percetakan yang menerbitkan undang-un-dang kerajaan Babul Kawaid.
Namun, sejak masa kejayan jurnalisme di bumi Melayu itu hingga dekade 90-an, tak satu pun media di Riau dan Kepulauan Riau yang mampu bertahan lama. Baru pada tahun 1991 terbit Riau Pos di Pekanbaru, sebagai koran lokal secara konsisten. Pada tahun 1996, koran ini melalukan cetak jarak jauh di Tanjungpinang.
Sejak reformasi, koran tumbuh luar biasa mencapai 2000 pener-bitan. Namun, tahun 2005 tinggal 800 saja. Hanya 30 persen yang sehat secara bisnis. Kematian pers lebih banyak karena hara-kiri lantaran kurang modal dan tak mampu mengelola SDM.
Momentum reformasi, juga berimbas ke Kepulauan Riau. Dulu, ada istilah Koran nasional dan koran daerah. Tapi kini adalah era kebang-kitan koran daerah dan community newspaper. Pada tahun 1998, terbit Sijori Pos sebagai koran lokal pertama di Kepri yang kemudian berganti nama menjadi Batam Pos tahun 2003.
Setelah itu, berturut-turut terbit Posmetro Batam, Harian Lantang, Sijori Mandiri, Batam News, Tribun Batam dan Media Kepri. Juga hadir belasan stasiun radio, tabloid, majalah dan koran mingguan serta tiga stasiun televisi seperti Batam TV, Semenanjung TV dan Urban TV. Peranan media dari luar Kepri, seperti Kompas, Suara Karya, perlahan tersisih dengan kehadiran pers lokal. Ini belum termasuk koran mingguan yang jumlahnya mencapai puluhan.
Belakangan, koran-koran ini tutup, baik mingguan maupun harian, dan berubah wujud menjadi koran online. Jumlahnya pun meningkat berkali lipat menjadi ratusan media online. Atau terbit dalam bentuk PDF dan mencetak korannya sekedar menjadi bukti pembayaran iklan.
Dengan gambaran seperti itu, pertanyaannya, apakah wartawan di Kepulauan Riau sudah bekerja secara profesional? Kondisi pers di Kepri salah satu daerah yang termasuk crowded di Indonesia. Sebab, dari jumlah media yang pernah tercatat di Pemko Batam saja—baik cetak mau pun elektronik—mencapai 87 media.
Informasi terbaru yang saya peroleh dari Dinas Kominfo Kota Batam tahun 2021, jumlah media yang bekerjasama dengan Pemko Batam sebanyak 167 media. Sedangkan yang bekerjasama dengan Pemprov Kepri menurut Kepala Dinas Infokom Pemprov Kepri, sebanyak 240 media!
Jumlah wartawan pun diperkirakan mencapai 500 orang. Ini belum termasuk di Tanjungpinang, Karimun, Natuna dan Lingga serta pu-lau-pulau lainnya. Sedangkan jumlah anggota PWI Cabang Kepri yang baru berdiri sejak 2004 hanya 137 orang wartawan. Selain war-tawan media luar Batam, media yang pernah terbit lalu mati, masih tetap mengaku sebagai wartawan yang dikenal sebagai wartawan ’’bodong.’’
Dari berbagai kasus yang melibatkan wartawan dan dilaporkan ke PWI Kepri, sebagian besar karena pelanggaran etika jurnalistik se-perti penulisan yang tidak berimbang, mencampuradukkan fakta dan opini, tidak akurat dan melanggar norma kesusilaan masyarakat serta mengandung prasangka suku, antar golongan, ras dan agama seperti yang kita saksikan di persidangan antar pejabat belakangan ini di Tanjungpinang.
Sementara, kasus-kasus pidana yang menyangkut pidana yang dilakukan oknum wartawan seperti pemerasan, pencemaran nama baik, pelecehan seksual hingga pemerkosaan. Akibat ulah oknum-ok-num tersebut, merusak imej dan mengganggu kenyamanan war-tawan yang berusaha menjalankan tugasnya secara profesional.
Selain itu, beberapa oknum wartawan yang berasal dari luar Kepri, setelah melakukan perbuatan tak terpuji, lalu pindah ke pulau lain yang dijuluki ’’wartawan antar pulau’’ yang juga merugikan nama baik wartawan di daerah ini. Mereka terkenal dengan istilah ’’kapal pecah, hiu yang kenyang.’’ Maksudnya, setelah sebuah kasus diberitakan, maka mereka beramai-ramai memeras narasumber tersebut.
Masalah lain yang dihadapi pers di Kepri adalah persoalan mana-jemen. Ketika pers berkembang menjadi industri, selain modal, tek-nologi canggih untuk kecepatan informasi, perusahaan pers juga dituntut mempercanggih sistem manajemennya secara profesional. Yang terjadi, dari sekian banyak media lokal tersebut, lebih banyak yang mati daripada yang bertahan hidup.
Selain kesulitan modal—berkantor di rumah, dengan beberapa komputer, mencetak di perusahaan lain, terbit tidak teratur, meng-andalkan biaya operasional dari sumbangan atau dimodali pejabat dan pengusaha tertentu—proses rekrutmen dan kualitas sumber daya manusia yang kurang memadai. Malah, beberapa perusahaan media yang tampak bersinar pun, menghadapi masalah kesejah-teraan karyawan seperti tidak naik gaji atau terlambat gajian.
Namun, di sisi lain, Batam dan Kepulauan Riau selama ini dikenal sebagai ’’daerah basah’’ dimana penegakan hukum lemah dan ba-nyak orang bersikap aji mumpung. Artinya, semakin banyak penjabat dan pengusaha yang menyeleweng, maka makin banyak juga oknum wartawan yang memanfaatkan kondisi ini untuk kepentingan dirinya sendiri.
Kasus-kasus korupsi, penyeludupan, pembuangan limbah, pem-balakan hutan, pengerukan dan penjualan pasir, perdagangan wanita dan anak-anak (trafficking) perjudian dan pelacuran, kejahatan tran-snasional, cybercrime, black market dan sebagainya menyebabkan orang gampang tergoda dan silau dengan materi. Termasuk war-tawan. Jadi, perlu syaraf baja dan mental yang kuat agar tidak terlibat konspirasi dengan pelaku kejahatan ini.
Lalu, apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan profesionalis-me wartawan di Kepulauan Riau? Pertama, perusahan pers harus dijalankan dengan manajemen modern dan sehat secara bisnis. Misalnya, seorang redaktur juga dituntut menerapkan fungsinya sebagai seorang manajer yang harus concern terhadap efektivitas, efisiensi dan produktivitas. Sebab, seorang wartawan yang cakap, sangat sulit diharapkan bekerja secara profesional jika perusahaan pers tempatnya bekerja dikelola secara amatiran.
Pada dasarnya, koran adalah bisnis kepercayaan. Kalau pembaca tak percaya, media itu akan ditinggalkan pembaca. Perusahaan pers harus berusaha meningkatkan kualitas SDM-nya dengan melakukan in house training, lokakarya dan pendidikan bagi wartawannya secara konsisten. Apalagi, kini berkembang jurna-lisme sastrawi, jurnalisme anggaran dan citizen journalism.
Kedua, organisasi wartawan harus secara berkala melakukan pelatihan dan menegakkan kode etik jurnalistik serta menambah wawasan wartawan dalam menjalankan tugasnya. PWI Kepri se-cara berkala mengikuti pelatihan seperti advokasi dan pembelaan wartawan, training of trainer secara nasional, konvensi media ma-ssa, Hari Pers Nasional, lokakarya tentang Pilkada dan sebagai-nya. Ada Dewan Kehormatan Daerah (DKD) PWI yang mengawa-si pelaksanaan kode etik anggotanya.
Perusahaan pers juga harus mensejahterakan wartawannya dan mengikis budaya amplop, dalam bentuk pemberian saham, devi-den, asuransi, bonus dan profit sharing. Namun yang terjadi belakangan ini, konflik antara pemegang saham, politik kantor yang kotor, hingga terungkapnya praktik penyalahgunaan kewenangan dalam perusahaan.
Ketiga, media massa harus mengaktifkan Dewan Redaksi, Dewan Pembaca dan membentuk lembaga Ombudsman sebagai jaksa internal di perusahaan pers, yang bisa memberi rekomendasi kepada pimpinan redaksi memecat wartawan yang melanggar kode etik.
Keempat, Dewan Pers sebagai muara segala persoalan pers, harus aktif ke daerah-daerah melaksanakan tugasnya meningkatkan kualitas pers nasional (bukan hanya di Jakarta!) termasuk di se-luruh daerah. Tugas Dewan Pers melindungi kemerdekaan pers, menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik, menyelesai-kan kasus yang berkaitan dengan pemberitaan pers, komunikasi antara pers, masyarakat dan pemerintah serta meningkatkan kualitas profesi kewartawanan.
Kelima, masyarakat melalui lembaga pemantau media (media watch) agar pers tidak menjadi anarkis. Pers yang profesional ada-lah pers yang terbuka dikontrol masyarakat. Masyarakat bisa me-mantau dan melaporkan pelanggaran dan kekeliruan teknis kepada Dewan Pers. Sebab, kebebasan pers bukan hanya milik komunitas pers, tapi milik seluruh masyarakat.
Keenam, pemerintah karena perusahan pers juga membayar pa-jak dan menciptakan lapangan kerja. Pejabat publik tidak boleh alergi terhadap wartawan dan harus konsisten melindungi pelaksanaan UU Pers serta tidak bersikap ambivalen terhadap media massa. Pejabat publik harus menjadi contoh penggunaan hak jawab.
Akhirnya, pers yang profesional adalah yang jujur melayani hak jawab pembacanya, yang ikhlas melaksanakan hak koreksi pembaca dan yang ksatria melakukan koreksi dan meminta maaf atas kesalahan pemberitaan yang dilakukannya.
Sebab tidak ada pemberitaan pers yang mutlak benar, yang ada adalah usaha yang tanpa henti dari pers untuk menaikkan dan atau mempertahankan derajat kebenaran pemberitaannya. Wartawan profesional, adalah wartawan yang tak mungkin tak pernah salah, tetapi wartawan yang satria dan jujur mengakui kesalahan. ***
Penulis adalah mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Batam 2001 – 2003 dan Ketua PWI Cabang Kepulauan Riau yang pertama periode 2004 – 2008.