By Sultan Yohana – Seorang bocah berseragam sekolah, celana panjang, bersongkok ala Soekarno, duduk dua kursi dari saya. Di bangku besi di terminal bus Boonlay, Kamis (6/1/2022) sore. Memainkan telepon pintarnya, ia seperti sedang menunggu sesuatu.
Kacamata bulat, besar, yang ia kenakan, mempertegas kecerdasan penampilannya. Sepasang matanya yang tak pernah bisa diam, jelalatan ke mana-mana. Khas mata seorang bocah yang ingin tahu banyak hal. “Sekolah di madrasah mana?” saya membuka pembicaraan dengannya. Hanya siswa madrasah yang bersongkok.
“Madrasah Aljuneid,” jawabnya. Dari wajahnya, ia menunjukkan mimik sedikit kaget. Mungkin dipikirnya, saya yang kelihatan China, kok tiba-tiba bisa ngomong pakai bahasa Melayu. “Sekolah yang bagus. Kelas berapa?” tambah saya, sedikit basa-basi.
“Level one, sekolah menengah,” ia mencampur bahasa Inggris dan Melayu. Sekolah menengah maksudnya, setingkat SMP. Di Indonesia, madrasah menengah biasa disebut tsanawiyah, sementara aliyah untuk menyebut tingkatan setara SMA.
“Seberapa sulit masuk ke sana?” kali ini saya tanya dengan bahasa Inggris. Karena sepertinya, ia tidak mahir bahasa Melayu. Generasi Melayu Singapura jaman sekarang memang lebih Nginggris.
Ia kemudian menjelaskan berapa susahnya masuk madrasah. Semua nilai harus terbaik. Penguasaan baca Quran dan bahasa Arab harus sip. “Di sekolah, semua pembicaraan harus dengan bahasa Arab,” jelasnya.
Untuk ukuran Indonesia, ngobrol sehari-hari dengan bahasa Arab adalah hal biasa. Di pesantren-pesantren, kebiasaan itu ditanamkan. Namun ukuran Singapura yang warga Muslimnya cuma 15 persen, bagi saya, ini menakjubkan.
***
Sekolah madrasah di Singapura, kini, adalah prestise. Sekolah unggulan. Setara dengan sekolah unggulan China dan Kristen. Mereka yang bisa masuk ke sana, kudu berotak encer. Lulusannya pun keren-keren (lihat https://madrasahalumni.websheets.pro/). Saat ini, ada enam madrasah di seantero Singapura.
Sejarah madrasah di Singapura, membentang panjang sejak era kolonial Inggris. Ketika itu, para reformis Islam tidak puas dengan sistem pendidikan ala pondok yang dianggap terlalu mengedepankan ritualitas Islam. Mereka kemudian mendirikan madrasah. Sejak saat itu, madrasah berkembang pesat. Puncak “kejayaan” madrasah ada di era dekade 60-an. Ketika ada 26 madrasah di seantero Singapura.
Namun pada perkembangannya, kualitas madrasah menurun. Madrasah dianggap cuma mencetak guru ngaji dan pejabat Ugama Islam saja. Madrasah juga dikenal sebagai “sekolah buangan” siswa yang gagal masuk sekolah negeri. Lulusan-lulusannya pun banyak yang tidak bisa meneruskan sekolah ke jenjang lebih atas. Mengingat perbedaan platform dan kurikulum antara madrasah dengan sekolah umum.
Akibatnya, banyak lulusan madrasah tidak punya ketrampilan kerja. Siswa-siswa Muslim lulusan sekolah nasional, jauh lebih berprestasi ketimbang lulusan madrasah.
Pemerintah Singapura kemudian turun tangan. Setelah disahkannya Administration of Muslim Law Act (AMLA) tahun 1966, MUIS (kementrian agama Islamnya Singapura) ditunjuk untuk mengurusi madrasah. Banyak perbaikan dilakukan. Di antaranya dimasukkannya berbagai pelajaran sekuler seperti matematika, bahasa Inggris, dan sains dalam kurikulum madrasah. Ujian O level Cambridge (standar dasar ujian nasional Singapura sebelum masuk SMA) juga diterapkan di madrasah.
Banyak yang menentang kebijakan pemerintah. Apalagi setelah melihat banyak madrasah yang tutup karena gagal memenuhi standar yang ditetapkan pemerintah. Pemerintah dianggap terlalu ikut campur dan punya “niat jahat” untuk merusak madrasah. Lee Kuan Yew, bahkan dianggap sebagai orang yang sengaja hendak “menghabisi” madrasah. Tapi, perdana menteri pertama Singapura itu menyangkal tuduhan itu. Lee cuma khawatir, perkembangan Singapura yang begitu cepat, tidak bisa diikuti oleh lulusan madrasah. Ia bertekad, madrasah harus direformasi.
“”Sekitar 10 persen dari populasi di sekolah-sekolah agama (madrasah) yang dikelola khusus, di mana Anda belajar bahasa Arab, Al-Qur’an, dan Melayu, dan sedikit sains dan matematika dan bahasa Inggris. Tetapi dalam masyarakat yang cepat berubah seperti Singapura, bagaimana Anda kelak akan mencari nafkah? Itu yang membuat saya khawatir,” begitu kata Lee Kuan Yew satu kali (https://en.wikipedia.org/wiki/Madrasahs_in_Singapore).
Pada akhirnya, didapat jalan tengah antara pemerintah dan madrasah. Madrasah dibebaskan mengurus kurikulum mereka sendiri, namun dengan syarat mereka harus mempersiapkan siswa sekolah dasar mereka untuk menghadapi ujian nasional.
Campurtangan itu kini membawa hasil. Dari sekolah yang dianggap sebagai tempat siswa buangan, madrasah kini menjadi sekolah unggulan yang mampu mencetak banyak cendikiawan. Dan siapa tahu, bocah bersongkok Soekarno yang saya temui di terminal tadi; bisa jadi perdana menteri Singapura berikutnya. Mengingat jelalatan cerdas kedua bola matanya. ***
Penulis : Sulton Yohana, Citizen Indonesia berdomisili di Singapura. Menulis di berbagai platform, mengelola blog – ‘Rasa Singapura’