By Socrates – Profesi public relation (PR) atau hubungan masyarakat yang biasa disebut humas, tak bisa dipisahkan dengan profesi wartawan. Keduanya saling berhubungan, ibarat dua sisi mata uang. Tidak jarang, terjadi konflik kepentingan, berseberangan, salah paham dan saling melecehkan. Kenapa bisa demikian?
Salah satu penyebabnya adalah, meski sama-sama mengelola informasi, budaya profesi antara humas dan wartawan, berbeda dan bertolak belakang. Humas berusaha menjaga reputasi instansi, lembaga, dan organisasinya melalui pembentukan citra positif. Salah satunya dengan memanfaatkan media massa. Sedangkan wartawan, menjalankan fungsi kontrol sosial dan mengkritisi instansi, perusahaan dan lembaga tersebut.
Ada dua masalah utama yang muncul antara humas dan wartawan. Yakni, keterbukaan dan kejujuran dalam komunikasi serta akses antara keduanya. Baik akses humas ke media, maupun akses wartawan ke lembaga tempat humas itu bekerja. Dilaporkan, sekitar 40 sampai 50 persen semua berita dari pemerintah, perusahaan dan organisasi, berasal dari departemen humas.
Ini berarti, hubungan antara humas dan wartawan penting dan signifikan. Namun, di sisi lain, ada hubungan dilematis antara saling membutuhkan dan saling bertentangan, dalam situasi tertentu.
Dari perspektif wartawan, konflik bisa terjadi karena humas tidak mau memberikan informasi yang dibutuhkan, menghindar ketika dimintai konfirmasi, hingga melecehkan wartawan. Sedangkan dari perspektif humas, konflik biasanya terjadi karena wartawan terlalu memaksa untuk mendapatkan informasi, tidak mengikuti prosedur yang diharapkan, pemaksaan kehendak, hingga munculnya pemberitaan negatif.
*****
Mari kita lihat perbedaan tugas dan tanggung jawab humas dan wartawan. Humas adalah keseluruhan upaya secara terencana dan berkesinam-bungan memelihara hubungan antar organisasi sebagai suatu rangkaian kampanye atau program terpadu. Praktisi humas atau Public Relation Officer tugasnya adalah menjalin hubungan baik dengan media massa (media relations).
Informasi yang diberikan kepada publik melalui wartawan, seorang praktisi humas harus jujur, terbuka dan akurat. Ini bukan berarti keterbukaan total, namun ketika diputuskan menahan informasi, maka informasi ini tidak akan menyesatkan dan bohong. Misalnya, kepentingan humas penegak hukum yang meminta embargo berita, sampai kasusnya terungkap. Tentu dengan batas waktu dan informasi lebih lengkap.
Praktisi humas menghindari penyumbatan saluran komunikasi masyarakat dengan tidak memberikan berita palsu. Menyumbat saluran komunikasi masyarakat memiliki efek yang merusak masyarakat serta elemen kepercayaan dalam hubungan antara humas dan media.
Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik, yaitu kegiatan yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Wartawan memiliki standar kompentensi yang memadai dan disepakati oleh masyarakat pers. Standar Kompetensi wartawan adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan/ keahlian, dan sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas kewartawanan.
Standar kompetensi tersebut menjadi alat ukur profesionalitas wartawan serta diperlukan untuk melindungi kepentingan publik dan hak pribadi masyarakat. Yakni, kemampuan intelektual dan pengetahuan umum, memahami etika dan hukum pers, konsepsi berita, penyusunan dan penyuntingan berita, serta bahasa. Wartawan juga terikat dengan kode etik jurnalistik, yaitu landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme.
Bagaimana hubungan humas dan wartawan di Batam dan Kepulauan Riau? Wartawan di mata humas, sebagian besar memang dinilai negatif. Antara lain, wartawan dinilai suka mencari-cari kesalahan, baik pimpinan maupun lembaganya. Arogan, megalomania dan sok tahu. Suka cari amplop dan ujungnya duit, tidak menghargai orang lain, suka memelintir berita dan tidak profesional.
Apalagi, sejak reformasi, jumlah media massa, terutama tabloid dan surat kabar mingguan, meningkat berkali lipat. Ketika korannya tutup dan berhenti terbit, wartawannya masih mengaku-ngaku sebagai wartawan yang dikenal sebagai wartawan bodong.
Seorang pegawai Pemko Batam yang kini menjabat sebagai kepala dinas, kepada saya bercerita, ‘’Begitu nama saya diumumkan sebagai kabag humas, saya menepuk jidat dan berseru: alamak!. Saya mencret-mencret selama tiga hari karena masalah pemberitaan,’’ katanya. Ternyata, dia stress.
Suatu sore, ia mau pulang dari kantor. Ternyata, ada tiga orang oknum wartawan menunggu di depan litt. Mereka minta uang. Sang kabag humas, mengeluarkan dompetnya sambil menunjukkan empat ratus ribu di dompetnya. ‘’Uang saya cuma segitu, diambil mereka semua,’’ katanya, geleng-geleng kepala.
Namun, ada juga kabag humas yang cerdik menghadapi wartawan seperti itu. Saat dikerubungi wartawan, ia berkata,’’ Kalau sama saya, tidak ada pendapatan. Tapi, pendapat banyak,’’ katanya. Ini semacam sinyal agar wartawan tidak berharap dapat amplop darinya.
Konflik antara humas dan wartawan, diduga sering terjadi. Meski tak semua muncul ke permukaan. Malah, si wartawan tidak segan-segan menyerang pribadi kabag humas dalam beritanya. Misalnya, menyebut nama humas dalam judul berita yang menjilat ke wali kota. Sangat vulgar.
Humas yang berasal atau pernah menjadi wartawan, juga tidak selalu mulus menjalankan tugasnya. Meski ia dianggap tahu seluk beluk berita, dapur redaksi, sikapnya sebagai mantan wartawan yang arogan dan sok tahu, tetap terbawa-bawa meski dia tidak lagi jadi wartawan dan menjalankan tugas dan fungsi sebagai humas.
Sebaliknya, para wartawan juga memiliki pandangan negatif terhadap humas. Antara lain, humas dianggap pembungkus keburukan dan borok institusi, tukang propaganda dan penyebar siaran pers, tukang kliping berita, tidak menguasai masalah, dan suka bilang no comment.
Yang paling sering dikeluhkan wartawan adalah, sikap pilih kasih humas terhadap sesama wartawan dan menganggap wartawan hanya menyusahkan dirinya dalam menjalankan tugas. Humas yang membiasakan membagi-bagikan amplop kepada para wartawan, sadar atau tidak, sudah merusak kehidupan pers yang sehat dan bermartabat.
Akibatnya, humas yang seperti ini, cenderung menghindar bertemu wartawan, yang ingin mengkonfirmasi berita agar memenuhi standar berita yang berimbang atau cover both side. Sebagai juru bicara, humas sering dinilai tidak menguasai masalah. Padahal, yang ditanyakan wartawan, seringkali menyangkut masalah di dinas lain. Alasannya, dia tidak memndapat informasi dari dinas lain, sehingga sulit memberikan jawaban atau klarifikasi.
Mestinya, seorang kabag humas yang tugasnya membangun citra positif pimpinan dan lembaganya, menjadi tangan kanan pimpinan, komunikatif, proaktif, responsif dan solutif, bicara runtut, rajin membaca, mampu menulis serta tampil menarik dan camera face. Sebab, idealnya seorang humas, sering tampil di publik mewakili pimpinan dan lembaganya.
Tantangan dan kesulitan menjadi wartawan antara lain, dikejar-kejar deadline, dimarahi atasan karena kecolongan berita, dicurigai terima amplop karena beritanya yang baik-baik saja, harus siaga siang malam apabila ada peristiwa tak terduga, jadi kambing hitam dari humas dan sebagian kondisi ekonominya belum sejahtera.
Kenyataannya, wartawan di daerah seperti Batam dan daerah lain di Kepulauan Riau, adalah wartawan umum yang meliput sederetan luas isu dan topik, yang belum tentu mereka kuasai. Dalam artian, wartawan generalis. Bukan wartawan spesialis dalam bidang mereka, seperti wartawan ekonomi, wartawan politik, wartawan kriminal, wartawan olahraga, dan sebagainya.
Sedangkan tantangan humas antara lain, berita jelek dimarahi pimpinan, berita bagus tidak dipuji atasan. Dianggap orang buangan, waktu kerja tak menentu, terjepit antara kepentjngan pimpinan, publik dan pers serta tidak didukung bagian atau instansi lain dalam bentuk data dan informasi yang dibutuhkan media yang ditanyakan kepada mereka.
Satu hal yang kadang dilupakan seorang humas adalah, ia tidak hanya mewakili pimpinan dan instansi atau organisasi tempatnya bekerja, tetapi juga menampilkan citranya secara pribadi. Misalnya, ketika sang humas berselingkuh, ia bakal menjadi sasaran empuk si wartawan. Tidak hanya akan merusak citra dirinya pribadi, keluarganya, termasuk lembaga tempatnya bekerja.
*****
Era tranformasi digital dan ancaman disrupsi, menjadi tantangan baru bagi profesi humas dan wartawan. Sebab, ancaman gempa disrupsi terbesar dialami media massa. Media-media mainstream dan konvensional, mengalami penurunan omset iklan dan koran dan turbulensi karena kalah cepat dari media online, harga kertas dan bahan baku percetakan yang terus meningkat dan tingkat kepercayaan pembaca yang menurun.
Dalam tiga tahun terakhir, tiga surat kabar di Batam tutup dan berhenti beroperasi. Begitu juga puluhan tabloid dan surat kabar mingguan, hilang tanpa bekas dari peredaran. Sebaliknya, media-media online, televisi streaming, tumbuh bak jamur di musim hujan.
Reuters Institute pada Juni 2022 merilis laporan Digital News Report bahwa mayoritas masyarakat Indonesia mengkonsumsi media daring sebanyak 88 persen sebagai sumber berita. Data dari Dewan Pers, sampai Februari 2022, jumlah media online atau media siber di Indonesia mencapai 47.000 media dan jumlahnya terus bertambah. Namun, hanya sebanyak 2.700 yamg sudah terverifikasi Dewan Pers yang mengaku kesulitan mengawasinya.
Jumlah media online di Kepulauan Riau, diperkirakan sebanyak 4.000 lebih. Sebab, wartawan yang medianya tutup, atau diam-diam sambil terus bekerja di media konvensional, membuat media online. Tentu saja, jumlah media online ini, terus bertambah. Seorang mantan wartawan surat kabar yang sudah berhenti dan membuat media online mengatakan,’’ Saya tidak menyangka, media online sekarang banyak sekali,’’ katanya.
Membuat media online, memang jauh lebih mudah daripada membuat koran, tabloid atau majalah. Tidak perlu kertas dan biaya cetak serta biaya distribusi. Apalagi, dalam 5 tahun terakhir, harga kertas terus naik. Cukup beli hosting, domain, template dan sewa server. Sudah jadi. Banyak yang menyangka, media online ini dibaca semua orang di seluruh dunia. Padahal, menembus peringkat 10 besar nasional saja, sulitnya setengah mati karena traffic-nya rendah.
Akibat maraknya media online ini, para humas juga pusing tujuh keliling. Sebab, nyaris semuanya berebut dana publikasi dalam bentuk iklan dan kerjasama pemerintah. Di Batam saja, ada 167 media yang mengajukan kerjasama ke Pemko Batam. Sedangkan di Pempov Kepri, ada sebanyak 240 media, baik media konvensional, televisi, radio dan media online yang mengajukan kerja sama.
Celakanya, dalam situasi anggaran yang makin terbatas, orang-orang humas, juga diam-diam membuat media online sendiri dan mengalokasi-kan anggaran ke medianya sendiri. Dan yang sudah menjadi rahasia umum, kerjasama wartawan dan humas sehingga makin tidak jelas, mana wartawan, mana humas. Bisa jadi, wartawan jadi humas, dan humas jadi wartawan. Kerja sama bagi hasil antara keduanya, ada satu istilah yang sama-sama mereka maklumi. Belah Jengkol. ***