By Socrates – Berita bohong, berita palsu atau hoaks sudah ada sejak abad ke 16. Namun, istilah hoaks baru populer tahun 1808 yang berasal dari kata hocus pocus yang artinya mengelabui. Ini mirip mantra penyihir atau pesulap : sim salabim. Mengapa kini hoaks makin banyak?
Hoaks muncul dalam berbagai cara. Tahun 1661, seorang penulis buku menceritakan kisah horor. Tiap malam, di rumah seorang tuan tanah, ia mengaku mendengar suara gebukan drum. Ternyata, cerita itu bohong dan trik agar bukunya laku.
Tahun 1835 ada catatan Great Moon Hoax, artikel yang terbit di New York Sun tentang penemuan kehidupan di bulan. Hoax tidak melulu dalam bentuk tulisan, tapi juga foto. Seperti kisah monster Loch Ness, yang digambarkan raksasa berleher panjang yang muncul dari dasar danau Loch Ness di Skotlandia. Laporan penampakannya, ternyata hoax dan menghebohkan dunia tahun 1933.
Yang bikin gempar, foto Loch Ness terbit di koran Dayli Mail, menyembul dari permukaan air. Setelah diselidiki, ternyata foto itu palsu yang dibuat oleh seseorang bernama Spurling dan sengaja dijual ke surat kabar, terbit tahun 1934. Nah, 60 tahun kemudian, Spurling yang sudah berumur 93 tahun mengaku, foto itu palsu. Ia merasa bersalah karena membohongi banyak orang.
Kisah yang dipercaya banyak orang bahwa tembok Cina bisa terlihat dari luar angkasa, juga hoax. Padahal, berita bohong ini sudah menyebar pada tahun 1932. Astronot Cina pertama Yang Li Wei mengaku, tidak bisa melihat tembok Cina dari luar angkasa. Dilansir dari Live Science, obyek apapun di bumi, tidak bisa dilihat dengan mata telanjang karena jaraknya dari luar angkasa 370.000 kilometer. Bumi terlihat seperti bola berwarna biru dan putih.
Berita bohong atau hoax adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar. Tujuannya adalah, membuat masyarakat tidak aman, tidak nyaman dan bingung. Dalam kebingungan, masyarakat akan mengambil keputusan yang salah.
Parahnya hoaks adalah, di balik tindakan berbohong itu terkandung intensi atau maksud jahat pembuat hoaks, sebagaimana yang didefinisikan kamus Oxford ini: “an act intended to make somebody believe something that is not true, especially something unpleasant a bomb hoax, hoax calls …”.
Atau dengan kata lain, suatu perbuatan yang dimaksudkan untuk membuat seseorang mempercayai sesuatu yang tidak benar dan tidak menyenangkan. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan, hoaks mengandung makna informasi atau berita bohong, berita tidak bersumber. Silverman (2015) menegaskan, hoaks merupakan sebagai rangkaian informasi yang memang sengaja disesatkan, tetapi “dijual” sebagai kebenaran.
Apa beda hoaks dengan April Mop? Padahal, sama-sama bohong?
Konon, April Mop yang dilakukan setiap tanggal 1 April itu, sudah ada berabad-abad silam. Pada hari ini, setiap orang boleh berbohong kepada orang lain tanpa dianggap bersalah.
Tujuannya, hanya untuk lucu-lucuan. Mereka yang dibohongi, tidak boleh marah. Tapi, hanya satu hari itu saja. Bukan sesuatu yang serius dan berakibat fatal. Tujuan berbohong pada April Mop memang untuk melucu, bukan untuk merugikan orang lain. Jadi, beda niatnya. Hoaks berniat jahat. April mop berniat sebagai lelucon.
Mengapa Hoaks Tetap Ada?
Kenapa hoaks terus ada dan makin merajalela? Media massa, salah satu alat penyebar hoaks, mencoba membuat aturan dan batasan agar berita yang disajikan kepada pembaca, sesuai fakta dan akurat.
Bill Kovach dan Tom Rosertiel merumuskan sembilan elemen jurnalisme, antara lain, kewajiban jurnalisme pertama adalah berpihak pada kebenaran. Loyalitas kepada publik dan esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi.
Pers Indonesia mengantisipasi kabar bohong dan hoaks ini dengan kode etik wartawan Indonesia. Antara lain, menempuh tata cara yang etis., menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang, meneliti kebenaran informasi, tidak melakukan plagiat. Serta tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul, serta tidak menyebut identitas korban kejahatan susila.
Lantas, mengapa hoaks tetap ada? Selain makin melemahnya jurnalisme karena tidak disiplin melakukan verifikasi, celakanya media abal-abal dan wartawan bodong makin menjamur. Belakangan, lantaran makin sulitnya kehidupan media massa, beberapa di antaranya, nyambi jadi uploader dan buzzer.
Dalam hal ini, buzzer yang kerjanya menyebarkan konten hoaks dan ujaran kebencian di media sosial.
Tingkat pendidikan yang rendah dan tidak mampu menyaring informasi secara kritis dan dengan gampang menerima dan menyebarkan informasi tersebut. Literasi media yang rendah sehingga tidak memverifikasi apakah informasi itu, benar atau tidak. Inilah beberapa indicator hoaks tetap ada.
Siapa saja bisa membuat hoaks. Dalam perkembangannya, muncul produsen dan ‘pabrik’ hoaks, yang menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, secara terorganisir di media online dan media sosial. Ribuan akun sengaja dibuat. Isinya beragam konten.
Tulisan, foto, video hingga meme.
Hoaks dipercaya karena penyangkalan apa sebenarnya yang terjadi, terpengaruh pada teori konspirasi, informasi dipercaya begitu saja sebagai kebenaran dan tanpa pikir panjang, di share dan menyebarkan ulang. Ada juga karena keterikatan emosional, ideologi politik dan sentimen antar kelompok dan golongan.
Lingkaran Setan Internet dan Medsos
Internet sebagai bagian vital dari peradaban dan revolusi teknologi informasi, sepertin namanya — interconnected network—semuanya serba terhubung.
Di awali dengan temuan email, lalu muncul relay chat, tahun 1997 muncul Six Degree yang membuat orang saling terhubung. Tahun 2002 hadir Friendster dan diikuti Myspace dan Facebook tahun 2004. Setelah itu, berturut-turut muncul beragam media sosial seperti youtube 2005 dengan fitur video, twitter tahun 2006, tumblr 2007, Instagram tahun 2010 dan Tiktok pada 2016.
Internet dan media sosial, makin memperparah sirkulasi hoaks di dunia. Betapa tidak. Saat ini, pengguna internet di seluruh dunia 4,6 miliar. Sedangkan pengguna media sosial 4,2 miiar. Indonesia saja, per Januari 2022 dengan jumlah penduduk 277 juta jiwa, pengguna internet mencapai 204,7 juta.
Pengguna media sosial juga sangat besar. Masuk dalam peringkat 5 besar dunia. Inilah urutannya. Facebook 129,8 juta peringkat 3 dunia. Youtube 127 juta nomor 3 di dunia. Instagram 99,9 juta peringkat 4 dunia. Disusul pengguna Tiktok 99,1 juta nomor 2 di dunia. Twitter 18,4 juta peringkat 3 dunia dan terakhir Linkedin sebanyak 22,7 juta pengguna.
Dengan perkembangan internet dan dunia digital serta media sosial seperti itu, masuk akal apabila hoaks makin gampang menyebar dan makin sulit ditangkal. Motif dan modusnya beragam. Mulai dari sekedar cari perhatian, narsis dan publisitas diri, sampai ke tujuan politik praktis. Negara maju seperti Amerika Serikat saja, ribuan hoaks bertebaran saat pemilihan presiden.
Fenomena bubble atau gelembung penggunaan media sosial, ikut mendorong menyebarnya hoaks, kata Direktur Institute of Cultural Capital di University of Liverpool Simeon Yates.
Kabar bohong yang beredar di medsos, menjadi makin besar ketika diambil oleh situs atau pihak terkemuka yang memiliki banyak pengikut. Kecepatan dan sifat medsos yang mudah dibagikan (shareability), berperan dalam penyebaran berita bohong.
Lantas, bagaimana menangkal hoaks?
Indonesia telah membuat pagar hukum dengan menyetujui lahirnya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, memblokir situs-situs yang menyebarkan hoaks, menangkap sindikat penyebar hoaks hingga membentuk lembaga siberkreasi yang berfokus dalam menangani hoaks.
Tidak hanya itu. Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) hingga 8 Mei 2022 telah menghapus dan menurunkan (take down) 5.783 hoax soal Covid-19 serta menghapus konten dan 767 diproses hukum. Baik di Fafebook, twitter, youtube dan Instagram.
Cukup? Belum. Pemilik platform media sosial seperti twitter, facebook dan youtube, terus berupaya meminimalisasi konten-konten menyesatkan ini. Youtube bisa menghentikan akun Anda, setelah memberi peringatan melalui notifikasi.
Alasannya, melanggar pedoman komunitas, seperti berulang kali memposting video atau komentar yang berisi kata-kata kasar, bernada kebencian, atau melecehkan. Predator, spam, atau pornografi, ujaran kebencian, pelecehan, atau peniruan identitas.
Selain itu, Youtube bisa menyetop akun Anda (banned) apabila melanggar hak cipta, baik foto, video maupun musik milik orang lain yang memiliki hak cipta (copy right). Anda bisa mengajukan banding, apabila klaim tersebut tidak benar, untuk memulihkan akun Anda.
Konten yang mendapat sorotan tersebut antara lain, konten yang menyesatkan (misleading content) mengedit informasi asli seperti gambar, data statistik sehingga tidak berhubungan dengan informasi sebenarnya.
Ada juga konten tiruan (Imposter content) yang ditiru atau diubah untuk mengaburkan fakta sebenarnya. Konten palsu berupa konten baru yang 100% salah dan secara sengaja dibuat, didesain untuk menipu serta merugikan. Konten keterkaitan yang salah (false connection) ketika judul, gambar, atau keterangan tidak mendukung konten.
Misalnya, judul dan isi berita berbeda dan sensasional.
Konten yang dimanipulasi (manipulated content) ketika informasi atau gambarasli sengaja dimanipulasi untuk menipu untuk mengecoh publik.
Ketika Anda mau menulis status, memposting foto dan video, meme, emoticon, selalu ada pertanyaan di akun Facebook. Apa yang Anda pikirkan? Saat Anda posting, pada saat itu juga menjadi milik publik.
Pesan nyata dari masalah hoax adalah, tanyakan pada diri sendiri, seberapa sering Anda memeriksa fakta cerita sebelum menyebarkannya?
(penulis host Socrates Talk. Dari berbagai sumber).