By Sulton Yohana – Di warung kopi yang sudah berusia 109 tahun, lima lelaki meriung di satu meja. Terlihat sehat-sehat mereka. Antusias. Penuh semangat.
Bahasa Inggris yang menjadi pilihan bahasa percakapan, memberi tanda, tingkat keterbukaan cara berpikir mereka. Jauh dari kesan eksklusif.
Sejarak tiga meja dari mereka, saya bisa mencuri dengar, apa yang mereka obrolkan. Mengobrolkan topik apa saja dengan gembira.
Lima lelaki tua itu.
Itu jam makan siang, di 8 September 2021 yang begitu sumuk. Istri mengudap fish ball, sementara saya yang sebelum berangkat, telah menghabiskan masakan sisa semalam, memilih menyeruput kopi saja.
Melihat kelimanya, tiba-tiba saya teringat warung kopi langganan. Di lantai tiga Pasar Singosari yang kumuh itu, saya menghabiskan lebih banyak waktu di sana ketimbang di bangku kuliah bahasa dan sastra.
Di warung kopi Pasar Singosari itu, sambil mencatat berpuluh-puluh ide untuk naskah cerpen yang tak kunjung diterima koran, saya diajari bagaimana cara menjadi sabar. Sangat sabar, bahkan. Bahwa mencintai sesuatu, ya, cintai dengan begitu saja! Tak perlu syarat apa pun.
Pada akhirnya, ketika sedikit-demi sedikit naskah cerpen-cerpen saya bisa diterima, saya justru kehilangan keinginan untuk terus menulis. Saya tidak tahu kenapa. Saya tidak ingin menulis cerpen.
Saya tidak ingin merangkai puisi. Saya tidak ingin menyusun buku. Saya tidak ingin apa-apa lagi, selain mencintai semuanya begitu saja. Tanpa syarat apa pun.
Tapi saya ingin terus menulis apa saja. Menulis remeh-temeh apa pun kesaksian yang saya lihat, saya dengar, saya temui. Menulis dengan cara yang paling sederhana. Seperti lima lelaki tua yang mengobrolkan apa saja dengan gembira.
(*)
Penulis : Sulton Yohana, Citizen Indonesia berdomisili di Singapura. Menulis di berbagai platform, mengelola blog – ‘Rasa Singapura’