By Bintoro Suryo – Batam sedang dilanda hujan berterusan beberapa minggu ini. Beruntung, waktunya bisa diprediksi berkat kemajuan teknologi di bidang meteorologi dan klimatologi ; Lewat tengah malam, pada pagi hari dan terkadang di siang atau sore.
Hujan yang terjadi biasa disertai badai dan tiupan angin yang kencang. Apalagi di kediaman kami yang hanya berjarak kurang dari satu kilometer dari pantai yang mengarah ke selat internasional, Batam – Singapura. Kejadian berulang yang sudah biasa saya rasakan sejak berpindah ke kota pulau ini hampir 40 tahun silam.
Tidak ada musim pasti di sini. Hujan bisa turun sepanjang tahun. Pun saat wilayah yang terdiri dari banyak pulau ini diprediksi sedang memasuki kemarau.
Di pulau yang sekarang jadi bagian Provinsi Kepulauan Riau, memiliki luas wilayah daratan 715 km² dan total wilayah keseluruhan mencapai 1.575 km², intensitas curah hujannya cukup tinggi sepanjang tahun, mencapai rata-rata 2.600 mm per tahun (data BMKG Hang Nadim – Batam, pen).
Iklimnya tergolong tropis dengan suhu rata-rata 26 sampai 34 derajat celsius.
Pulau ini memiliki dataran yang berbukit dan berlembah. Tanahnya kemerahan dan tergolong kurang subur. Itu sebabnya selama ratusan tahun sebelum dikembangkan sebagai kota pulau industri, pulau ini sepi.
Cuaca yang yang kerap berubah, membuat tidak banyak tanaman pertanian yang bisa tumbuh subur di sini, kecuali tanaman yang dapat tumbuh tanpa mengikuti musim.
Walau begitu, sejak dulu Prakirawan Meteorologi di Indonesia tetap menggolongkan Batam dan pulau-pulau sekitarnya pada kategori beriklim tropis. Secara umum, mereka memprediksi musim hujan dimulai pada bulan November hingga bulan April. Sementara musim kering (kemarau, pen) dimulai pada bulan Mei hingga bulan Oktober.
Kategori berdasar pada intensitas seringnya hujan dalam setahun. Hingga akhir November ini, Batam relatif lebih dingin karena terus diguyur hujan.
ANGIN badai adalah yang menakutkan bagi saya sekeluarga di bulan-bulan seperti sekarang. Bukan hanya saat ini. Tapi sejak masih kecil.
Hujan bisa turun terus setiap hari pada periode jam-jam tertentu. Terkadang disertai gemuruh angin. Sudah puluhan atau mungkin ratusan kali, saya mendengar atau melihat bangunan rumah tinggal orang di pulau ini yang rusak karena cuaca. Fenomena itu kadang menelan korban jiwa.
Atap bisa beterbangan terbawa angin putar yang sering disebut puting beliung di sini. Atau, dinding rumah terangkat karena terbawa pohon dan tanaman besar di sekitarnya yang tercerabut dari akar.
Banjir? Sudah biasa terjadi di sini sejak daratan Batam dibuka massif puluhan tahun lalu.
Penebangan pohon, perusakan hutan mangrove, bukit terbabat untuk pembangunan, atau rawa penampung air yang ditimbun untuk perumahan, bangun ruko dan perkantoran, membuat banjir makin meluas wilayahnya di musim penghujan dari tahun ke tahun.
Tahun 1989, misalnya. Wlayah Nagoya, Jodoh dan beberapa wilayah lain yang baru dibuka oleh Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (OPDIPB) sempat terendam banjir setelah hujan yang turun terus menerus dalam beberapa hari. Ketinggian mencapai pinggang orang dewasa.
Ruas jalan menuju bandara Hang Nadim putus. Ada luapan air besar di sekitar pintu air sebelum perumahan bandaramas saat ini (dahulunya, itu adalah sungai bermata air dengan aliran mengarah ke lokasi RS Bhayangkara saat ini, pen).
Aktifitas penerbangan dari dan ke Batam juga sempat berhenti selama beberapa waktu. Banjir di Batam dan wilayah cakupannya terus meluas hingga sekarang, seiring pembangunan yang makin massif.
HUJAN badai lagi menjelang subuh beberapa hari kemarin. Saya tidak bisa tidur. Beberapa kali keluar masuk rumah, memperhatikan pohon sawo di depan yang sudah doyong hampir 30 derajat. Khawatir akarnya tercerabut, pohon tumbang dan berimbas bukan hanya ke rumah kami. Tapi rumah tetangga di sekelilingnya.
“Bah, ih ngapain sih di luar? Ngeri”, kata isteri yang mendadak nyusul ke teras rumah. Tadinya ia dan anak-anak sudah tidur lelap. Mungkin terbangun karena suara gemuruh angin dan hujan yang keras.
“Tuh liat, pohon sawonya doyong-doyong begitu kena angin. Kuatir tumbang”, kata saya.
“Udah, masuk. Angin kenceng begini malah diliatin”.
Sebelum masuk, saya perhatikan atap spandek dari tetangga depan rumah yang sepertinya mulai terangkat-angkat. Suara gesekannya terdengar keras.
“Mudah-mudahan gapapa. Kasihan mas Agung”, kata saya ke isteri mengomentari kondisi rumah tetangga bernama Agung yang atapnya sedang diterpa angin kencang.
HUJAN sudah reda usai subuh. Anak-anak sudah bangun dan bersiap ke sekolah. Istri sibuk menyiapkan sarapan dan bekal mereka. Saya? Menyibukkan diri di depan laptop di ruang tamu.
Terdengar seperti ada suara teriakan. Tapi bukan suara orang. Asalnya dari halaman depan rumah. Sekali, dua kali saya abaikan. Begitu terdengar lagi, saya bergegas memeriksanya.
Di antara pohon sawo dan pohon kelapa di depan rumah, seekor monyet kra (jenis monyet Asia Tenggara, pen) terlihat melompat, seperti mengejar sesuatu. Kemudian terdengar lagi suara teriakan aneh tadi.
Saya ikuti ke arah suara. Ada seekor anakan burung shorebird/ perandai (sejenis burung yang biasa tinggal di habitat pantai yang masih alami, pen). Ukurannya sekitar 30 – 40 cm. Ia sedang berusaha menghindar dari kejaran monyet kra sambil berteriak. Suaranya khas.
Saya tahu, burung itu tidak bisa terbang tinggi. Walau tubuhnya relatif besar dibanding burung seperti prenjak atau gereja, burung itu tergolong masih anak-anak. Bulu-bulunya juga belum tebal. Ia kelihatan takut dan terus bergerak ke arah pucuk dahan kelapa. Mungkin ia terbawa angin kencang dari habitatnya di pantai dekat rumah tadi malam.
Saya berusaha mengusir si monyet kra untuk memberi rasa aman ke anakan burung perandai di pucuk pohon kelapa depan rumah. Si monyet meringis ke saya, kemudian menggaruk-garuk kepala dan akhirnya mau menyingkir meninggalkan si anakan perindan. Ia melompat ke atap rumah.
Sampai beberapa jam kemudian, anakan perandai itu masih bertengger di pucuk pohon kelapa. Ia seperti bingung.
“Bah, kita piara aja. Lucu. Makannya ikan ya? Nanti aku beli di warung Jawa. Banyak pindang atau ikan-ikan kecil”, kata isteri begitu tahu ada seekor anakan burung Perandai yang masih terus bertengger di pucuk pohon kelapa depan rumah.
Iya, nangkapnya gimana? Lagian kasihan lah. Ntar kita kurung di sangkar. Itu kan burung penjelajah yang biasa hidup di pantai-pantai alami”, kata saya.
“Monyetnya kemana tadi”, tanya isteri.
“Itu, paling di atap rumah. Bingung juga mungkin cara kembali ke hutan. Atau, hutannya udah rusak.”
BURUNG Perandai atau Shore Bird seperti yang tiba-tiba muncul di rumah kami, merupakan burung pantai yang biasa hidup di iklim tropis. Perandai adalah sebutan umum untuk menyebut sekelompok, tetapi sebenarnya terdiri atas banyak jenis, burung yang biasa hidup di lingkungan pantai yang basah. Kebanyakan jenis perandai menghabiskan sebagian besar waktunya di dekat badan air. Makanya, mereka memiliki tungkai yang relatif panjang, seperti bangau.
Itu untuk memudahkannya mereka merandai atau mengarungi habitat berair yang jadi tempat hidupnya. Masyarakat umum terbiasa menyebut mereka sebagai burung pantai.
Di Batam yang pantainya didominasi hutan-hutan bakau, sebenarnya merupakan rumah hidup yang baik bagi kelompok burung Perandai dari masa ke masa. Mereka juga terbiasa bermigrasi ke lokasi pesisir pantai lain di sekitar wilayah pulau ini.
Kebiasaan bermigrasi ini menjelaskan mengapa banyak jenis burung perandai yang memiliki sayap relatif panjang. Para ahli menyebut metabolisme tubuh mereka juga efisien. Itu memungkinkan tersedianya energi yang memadai selama masa panjang mereka bermigrasi.
Mayoritas burung perandai memakan invertebrata kecil yang diambil dari lumpur atau tanah terbuka di sekitar pantai. Perbedaan panjang paruh yang dimiliki, memungkinkan aneka spesies yang berbeda mencari pakan bersamaan di habitat yang sama, tanpa terjadinya kompetisi memperebutkan makanan.
Selain Perandai, jenis bangau putih juga cukup banyak di Batam, dahulunya.
Migrasi mereka untuk mencari makan dari pantai ke pantai di pulau ini semakin jauh seiring menghilangnya habitat hidup karena pembangunan. Pulau sepi yang dahulu begitu nyaman untuk ditinggali, sekarang tidak lagi.
Beberapa kelompok terlihat masih ada yang bertahan di sekitar pantai Batam Centre. Terutama di sekitar pantai pulau Penambi yang bukitnya sudah digunduli dan dipotong-potong untuk kepentingan reklamasi. Mereka biasanya berkelompok bersama kawanan bangau putih. Habitat hidup mereka makin mengecil dari tahun ke tahun.
Sementara monyet kra adalah sebutan monyet kecil yang biasa hidup di hutan-hutan Asia Tenggara. Peneliti menyematkan nama latin untuk kelompok hewan ini : Macaca fascicularis.
Kra, dalam bahasa Melayu biasa disebut kera. Itu mengacu pada tiruan bunyi yang biasa keluar dari mulut mereka ; kraa!
Kelompok warga di Kepulauan Riau biasa menyebut mereka sebagai monyet ekor panjang. Itu juga merujuk pada bentuk ekor mereka yang panjang.
Di wilayah Kepulauan seperti Kepri ini, kelompok monyet kra atau monyet ekor panjang biasa mendiami hutan-hutan bakau atau tropis pulau. Sukanya makan buah-buahan.
“Monyet itu sudah beberapa hari ini ada di atap rumah bapak. Semalam malah menghabiskan buah-buah mangga di depan rumah saya. Habis itu dirontokkan semua buahnya”, kata tetangga depan rumah sambil menunjukkan buah-buah mangga yang berjatuhan di halaman rumahnya.
Selain buah, monyet kra memang diketahui menyukai hewan-hewan kecil seperti serangga, ketam atau kepiting hingga telur burung. Jenis seperti itu sangat mudah dijumpai di pesisir pantai di pulau ini.
Monyet kra adalah kelompok hewan yang cukup mendominasi di pulau Batam sampai sebelum dibangun sebagai pulau industri. Mereka tersebar di hampir seluruh hutan yang ada di pulau ini, dulunya. Sampai dekade 80-an silam, masih cukup banyak yang bisa dengan mudah ditemui.
Mereka tergolong hewan liar yang sangat adaptif dan mampu mengikuti perkembangan peradaban manusia. Tak heran, walau hutan tempat tinggal mereka makin menyusut di Batam, banyak kelompok ini yang tetap mampu bertahan hidup, bersanding dengan aktifitas manusia modern.
Selain di hutan-hutan yang masih tersisa seperti di wilayah Nongsa, monyet kra juga terlihat nyaman hidup di wilayah sekitar Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP) bandara Hang Nadim, pelabuhan hingga pemukiman-pemukiman perumahan warga. Asal masih ada makanan yang bisa mereka makan dan tidak menjadikan mereka buruan, hewan liar itu relatif bisa hidup berdampingan dengan manusia.
Selain monyet kra, monyet lutung atau biasa disebut langur, juga sempat sangat banyak di pulau ini.
Lutung berbadan langsing dan berekor panjang. Warna bulu tubuhnya bisa berlainan, tergantung spesies. Ada yang hitam dan kelabu, hingga kuning emas. Jika dibandingkan dengan kakinya, tangan lutung terbilang pendek, dengan telapak yang tidak berbulu.
Berbeda dengan monyet ekor panjang. Di Batam, lutung lebih senang mendiami hutan hujan yang terletak lebih ke darat dari pulau ini. Saya masih mendapati kelompok hewan ini sekitar 30 tahun lalu. Mereka sangat aktif pada pagi dan sore hari. Hidupnya bergerombol antara 5-20-an dan biasanya dipimpin oleh seekor jantan.
Berbeda dengan kra yang bisa berubah jadi karnivora, lutung adalah jenis herbivora yang bertahan hidup dengan memakan buah, dedaunan hingga kuncup bunga saja. Seiring berkurangnya hutan di pulau ini, sudah sangat sulit menemui jenis hewan yang sering dikategorikan sebagai kelompok monyet dunia lama itu. Sedih.
ADA yang berusaha membuka tutup toples biskuit di teras rumah. Suaranya terdengar berkali-kali dari ruang tamu, tempat saya sedang bekerja di depan laptop. Saya terbiasa menggunakan ruang tamu untuk ruang kerja saat di rumah.
Sudah sepuluh tahun lebih ruang kerja di sisi kanan ruang tengah rumah, berubah fungsi. Jadi tempat lemari mainan anak-anak. Dari tahun ke tahun, kondisinya makin menyempit karena pertambahan anak-anak dalam keluarga. Stok mainan mereka dikumpulkan di ruang kerja saya itu.
Saya mulai melongok ke jendela. Ternyata si monyet kra yang beberapa hari ini mendiami atap rumah saya. Ia berusaha membuka tutup toples dari plastik yang berisi biskuit jagung “Hatari”. Itu biskuit sisa property program kuis yang sempat saya buat dua bulan lalu. Masih ada banyak biskuit serupa sebenarnya di dalam lemari stok makanan.
Saya panggil anak bungsu saya, Yuma, sebelum memutuskan keluar rumah. Saya ingin Yuma melihat langsung monyet kra yang sepertinya sedang kelaparan itu. Tidak hanya di gambar atau video dari YouTube.
Ia bergerak menjauh, meninggalkan toples biskuit yang sedari tadi dipegangnya begitu saya keluar rumah. Sekarang, ia duduk sambil sesekali mengibas ekor panjang di atas pohon sawo di halaman depan.
“Jangan dekat-dekat, nanti kamu dikejar monyet!” Kata Yuma ke saya sambil mengintip dari pintu depan yang terbuka.
Ini pengalaman pertamanya bisa berhadap-hadapan langsung dengan monyet.
Saya melemparkan dua keping biskuit jagung dari toples yang tadi berusaha dibukanya. Hewan ini memang cerdas dan cepat beradaptasi di lingkungan manusia. Ia turun dari pohon, mengambil sekeping dan mulai mencari tempat untuk memakannya. Kelihatan sekali ia sedang lapar.
BATAM berubah dan berkembang jadi begitu ramai orang sekarang. Sebagai hewan yang cepat beradaptasi, kelompok monyet ekor panjang atau monyet kra juga berubah cara hidupnya. Sebagian masih ada yang meninggali hutan-hutan perawan yang tersisa di pulau ini, jauh dari sentuhan manusia. Tapi banyak juga yang mulai bersentuhan secara sosial dengan manusia karena tempat hidupnya yang diubah. Dari hutan menjadi lingkungan perumahan, misalnya.
Di laman Mongabay Indonesia, Kepala Seksi Konservasi Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) wilayah Kepri, Decky, mengaku sering mendapatkan laporan monyet ekor panjang turun mendatangi perumahan warga.
“Ada beberapa perumahan yang pernah melaporkan, seperti warga di perumahan Patam Lestari Sekupang, Tiban, Sukajadi, Panbil dan komplek Polda, terakhir yang melaporkan warga perumahan Panbil,” katanya beberapa waktu lalu.
Ada beberapa hal yang disarankan pihak BKSDA. Seperti mengusir, menangkap, atau merelokasi para monyet tersebut ke hutan atau pulau lain.
“Kita juga mengedukasi masyarakat agar tidak sembarangan membuang sampah makanan, terutama di perumahan yang lokasinya dekat dengan hutan atau habitat monyet ekor panjang.”
Beberapa kali menurutnya, pihak BKSDA di Batam merelokasi monyet ekor panjang ke pulau kecil sekitarnya yang masih perawan hutannya. Tetapi jumlahnya terbatas sekali. Hanya sekitar dua sampai empat ekor. Mereka dipindahkan ke hutan di sekitar Jembatan 4 Barelang.
Decky bilang, belum menemukan langkah jangka panjang mengatasi masalah monyet ekor panjang di Kota ini.
Dia menduga, interaksi monyet kra dengan manusia terjadi karena tutupan hutan di Batam terus berkurang hingga mereka kesulitan mencari pakan.
“Jangka panjang, terus terang belum terpikir oleh kita, kalau kaji lebih jauh, mungkin seperti kasus gangguan satwa di tempat-tempat lain, bahwa kondisi ini terjadi karena habitat makin sempit. Sumber pakan mereka juga makin terbatas,” kata Dekcy.
Dia mengatakan, monyet merupakan hewan cerdas dan cepat adaptasi. “Kalau mereka sudah terbiasa dengan lingkungan manusia, mereka juga makin berani,” katanya.
Sampai saat ini, BKSDA Kota Batam belum pernah mendata populasi monyet ekor panjang di Kota Batam.
Monyet kra adalah hewan cerdas dan cepat beradaptasi, di lingkungan hidup manusia sekalipun. Mereka tetap bisa bertahan. Namun, bagaimana dengan hewan lain, generasi penerus dari penghuni lama pulau ini saat masih berupa hutan belantara dengan pesisir berupa hutan-hutan bakau yang perawan?
Seperti misalnya burung Perandai yang kebingungan terdampar di depan rumah saya usai badai hujan tempo hari? Atau lutung “kelompok monyet dari dunia lama” yang sekarang makin sulit ditemui?
(*)
Penulis : Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography. Temui konten lainnya dari penulis di sini : bintorosuryo.com