By Socrates – Truk warna kuning, kumal dan kotor dan kadang bau itu, datang dua kali seminggu. Empat lelaki, dua di atas truk dan dua di bawah, memungut dan menumpuk sampah ke dalam truk dari rumah-rumah warga.
Siapa yang peduli dengan petugas pemungut sampah? Kemana sampah-sampah Anda ini dibuang? Warga baru protes ketika sampah tidak diangkut dan bau busuk menguar dari tong sampah mereka.
Dari seluruh penjuru kota Batam, sampah diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Telagapunggur. ’’Seluruh sampah dari seluruh kota Batam, bermuara di TPA Punggur,’’ kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Batam, Herman Rozie, S.STP, Msi.
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Telaga Punggur, adalah satu-satunya tempat pembuangan sampah di Batam. Dibangun Otorita Batam tahun 1997 dan dioperasikan Pemko Batam sejak 2002. Luas areanya 46,8 hektar. 20 hektar di antaranya sudah digunakan selama hampir 26 tahun sejak pertama kali dibangun.
Dari timbunan sampah rumah tangga dari perumahan, diangkut oleh armada kecamatan ke Tempat Pembuangan Sampah (TPS) lalu diangkut lagi ke TPA Punggur. ’’Sampah kota Batam rata-rata 850 sampai 900 ton per hari yang diangkut 134 armada, seperti dump truck dancompector,’’ kata Herman Rozie, yang sudah mengurus sampah ini sejak 2017 lalu.
Ratusan ton sampah itu, ditimbang, lalu dibuang dan ditumpuk di TPA Telagapunggur. Pengolahannya masih sederhana. Dari sejak TPA Punggur digunakan tahun 1997 sampai sekarang, sistim yang digunakan adalah landfill yakni pengelolaan atau pemusnahan sampah dengan cara membuang dan menumpuk sampah di lokasi cekung, memadatkannya , dan kemudian menimbunnya dengan tanah.
Metode pengelolaan sampah dengan sanitary landfill adalah jenis yang paling umum digunakan dibanyak negara, termasuk Indonesia. Menurut Herman Rozie, tumpukan sampah yang sebagian besar sampah plastik yang diratakan dan ditimbun tanah, totalnya mencapai 7 juta ton sampah.
Truk sampah silih berganti menumpahkan sampah di area landfill tersebut. Para pemulung, dengan cekatan memilah-milah sampah yang masih laku dijual seperti plastik, kardus dan sebagainya. Setelah itu, sebuah buldozer akan meratakan sampah sebelum ditimbun tanah. ’’TPA Punggur hanya punya satu buldozer. Kebutuhannya, tiga sampai empat unit,’’ kata Herman Rozie.
Sistem pengelolaan sanitary landfill banyak dipakai oleh TPA karena hemat biaya, hanya perlu lahan yang luas dan jauh dari permukiman. Mengurangi pencemaran udara karena sampah ditimbun di dalam tanah. Mampu menampung berbagai jenis sampah, mampu menghasilkan energi listrik. Gas metana yang keluar dari sampah bisa dijadikan bahan bakar penggerak turbin.
Namun, jika TPA tidak dikelola dengan baik, bisa menyebabkan pencemaran air dari sampah organik atau kimia yang menghasilkan cairan berbahaya dan merembes ke dalam tanah. Serta ancaman ledakan dari gas metana, hasil pembusukan sampah yang tidak dialirkan dengan baik.
Gas metana dapat menimbulkan ledakan yang membahayakan keselamatan manusia. Itulah penyebabnya, kenapa TPA Punggur ini rawan kebakaran. Saat kemarau, puntung rokok bisa memantik kobaran api di gunungan sampah itu. ‘’Sejak saya jadi Kepala Dinas Lingkungan Hidup tahun 2017 sudah tiga kali TPA Punggur terbakar’’ kata Herman Rozie. Yakni, tahun 2017, tahun 2019 dan tahun 2021.
TPA adalah tempat penimbunan sampah yang paling tua. Dari dulu, TPA merupakan cara paling umum untuk limbah buangan terorganisir dan tetap begitu di sejumlah kota di dunia. Tujuannya adalah untuk memroses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan. Sebab, TPA bisa berdampak negatif seperti pencemaran lingkungan, kontaminasi limbah cair serta gas metana dari pembusukan sampah.
Swastanisasi Sampah yang Gagal
Batam pernah mendapat julukan Kota Terkotor di Indonesia dari Kementrian Lingkungan tahun 2005. Salah satu indikatornya adalah Tempat Pembuangan Akhir sampah sebuah kota, termasuk Batam. Predikat kota terkotor ini, memunculkan ide dari pengusaha otomotif Batam Sujak Widodo dan Pungky yang saat itu karyawan Otorita Batam, melalui perusahan PT Sinar Utama Sejahtera Abadi dan PT Surya Sejahtera.
PT SUSA menilai, sampah harus ditangani secara khusus dan terintegrasi. Tahun 2006 saja, timbunan sampah Kota Batam mencapai 771,71 m3 per hari. Berbekal surat dari Dinas Pasar dan Kebersihan No. 547/DPK-Kb/VIII/2006 Dukungan dalam Rehabilitasi & Penataan TPA selama 10 bulan dan Surat Izin Pemanfaatan Sampah yang terus diperpanjang hingga tahun 2007.
Setelah melakukan rehabilitasi, yang menurut Sujak Widodo dirogoh dari koceknya sendiri, PT SUSA mengajukan permintaan sebagai berikut: management & pemanfaatan TPA selama 5 tahun dalam bentuk Maintenance TPA, compost processing & recycle product dengan teknologi, pasar bibit buah & tanaman hias, budi daya kalajengking (scorpion oil) cacing sutra (vermie-compost) serta pasar bibit buah dan tanaman hias.
Selain itu, PT SUSA juga meminta management dan pemanfaatan TPA selama 10 tahun ditambah kegiatan penangkapan gas methane / CDM Program dan Leacheate processing & production (pupuk cair) dan pemanfaatan TPA selama 15 tahun untuk pemanfaatan gas methane untuk pembangkit listrik.
Swastanisasi sampah yang dimaksudkan agar ratusan ton sampah warga Batam itu bisa tertangani, yang dimulai sejak 1 April 2009 yang dimenangkan oleh PT Surya Sejahtera, dan setahun kemudian mengundurkan diri, sampah kembali dikelola Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Batam. Padahal, kontrak kerjanya 25 tahun.
Siapa sangka, sampah juga memiliki nilai ekonomi dan bisnis yang tinggi. Sampah bisa diolah dan dimanfaatkan menjadi pupuk kompos, gas methane dan air lindi atau pupuk cair. Sedangkan sampah baru menghasilkan recycling plastic, besi dan kayu, composting serta gas methane.
Pada akhirnya, akan menghasilkan keuntungan dalam bentuk retribusi atau royalti. Sehingga, Pemko Batam selain tidak lagi dipusingkan urusan sampah, malah bisa menjadi pemasukan baru bagi daerah.
Namun, yang terjadi, jauh panggang dari api. Aroma kolusi, ekonomi biaya tinggi karena harus membentuk panitia khusus, tender dan sebagainya, meruap di antara bau busuk sampah. Pemko Batam kembali menggelar tender untuk merancang, membangun, membiayai dan mengoperasikan Infrastruktur Pengolahan Sampah Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan
Pemko Batam merencanakan membangun infrastruktur yang dapat mengolah sampah minimal 1.000 ton sampah per hari dengan teknologi waste to energy (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) berupa incinerator. Perkiraan nilai proyek adalah sebesar Rp 1,5 triliun. Nilai yang cukup besar untuk membuat Batam bebas sampah.
Masalah Tipping Fee
Untuk membangun dan menerapkan teknologi di TPA Punggur, tentu memerlukan penyediaan infrastruktur dan biaya untuk biaya persiapan, biaya pembangunan, pemeliharaan, dan mekanisme operasionalnya.
Nah, alternatif pengadaan proyek infrastruktur yaitu melalui mekanisme Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU)atau Public Private Partnership (PPP). KPBU adalah kerjasama antara Pemerintah dan Badan Usaha dalam penyediaan infrastruktur dan/atau layanannya untuk kepentingan umum yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya badan usaha dengan memperhatikan pembagian risiko di antara para pihak.
Di Batam, Peraturan Daerah tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (Perda KPBU) Pengelolaan Sampah sudah pernah dibahas, namun ditolak DPRD Batam. Masalahnya adalah, perusahaan yang berminat mengelola sampah, meminta tipping fee.
Tipping fee adalah bea gerbang yang dikeluarkan pemerintah ke pihak pengolah sampah. Nilainya dihitung berdasarkan tonase sampah yang diolah. KPBU ini dinilai memberatkan anggaran daerah karena ada tipping fee yang harus dikeluarkan pemerintah. Besaran tipping fee yang diusulkan dalam Perda yakni Rp 300.000 per ton sampah.
Misalnya, sehari Batam menghasilkan 900 ton sampah. Artinya sehari harus keluarkan Rp 270 juta. Satu bulan, dikali 30, berarti sekitar Rp 8,1 miliar. Per tahunnya bisa sampai Rp97 miliar. Ini tentu saja membebani anggaran.
Di sisi lain, Tipping Fee merupakan klausula terobosan yang menekankan pada kewajiban pemerintah untuk membayar biaya tetap kepada investor dalam melakukan pengolahan sampah dengan nilai yang sudah ditentukan. Hal ini merupakan salah satu cara untuk mendorong iklim investasi pada bidang bidang infrastruktur tertentu, khususnya persampahan. Soal tipping fee yang menjadi perdebatan sehingga pengolahan sampah menggunakan teknologi, tidak berjalan di TPA Telagapunggur.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, tipping fee merupakan suatu biaya yang memang perlu dibayarkan untuk pengembangan energi berbasiskan sampah. Untuk mengatasi permasalahan penumpukan sampah di tempat pembuangan akhir.
Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi menilai, tipping fee merugikan kas negara hingga Rp 3,6 miliar setiap tahunnya. Pengelolaan sampah menjadi listrik disebut memakan biaya produksi yang besar. Salah satunya biaya tipping fee ke Pembangkit Listrik Tenaga Sampah yang mencapai Rp 2 miliar.
Masalahnya, sampai saat ini Batam belum mendapat investor yang tertarik mengolah sampah. ‘’Sesuai Peraturan Presiden, ada 12 kabupaten dan kota yang diberikan kewenangan untuk memberi tipping fee. Tapi, Batam tidak termasuk,’’ kata Herman Rozie.
Pusat Daur Ulang Punggur
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Batam Heman Rozie, diam-diam menyiapkan pusat daur ulang di TPA Punggur. ‘’Sampah-sampah yang masuk ke TPA Punggur kita pilah-pilah dulu. Sampah plastik dan kita olah menjadi papan dan balok. Kita akan bangun musala dari papan plastik ini,’’ kata Herman Rozie.
Meski tidak dihitung secara rinci, dari 900 ton sampah yang dibuang di TPA Punggur, sekitar 30 persen merupakan sampah plastik. Bahkan, dari sampah plastik tersebut, bisa dibikin gitar plastik! Selain itu, uji coba pembuatan topeng plastik untuk souvenir, juga sudah dilakukan.
‘’Awal tahun 2022, kami dipinjamkan alat oleh rekan kami pengusaha plastik yang mempromosikan mesinnya. Saya minta buktinya. Kami lakukan uji coba dulu, mau bangun musala dari papan plastik hasil daur ulang. Kami menganut prinsip, banyak bekerja dari pada banyak bicara,’’ ujar Herman Rozie.
Satu balok plastik itu bisa menghabiskan 15 kilogram plastik bekas. Mesin pengolah papan dari bahan baku plastik tersebut, harganya cukup mahal. ‘’Mesin pengolah plastik ini harganya Rp450 juta, kami tak punya uang,’’ ujar Herman Rozie.
Pusat Daur Ulang Punggur di bawah Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sudah melakukan uji coba dan belum diresmikan. Sampah-sampah tersebut dimasukkan ke dalam kotak besi yang bergetar, lalu dipress dan dipadatkan. Sementara, sampah yang bisa diolah adalah sampah plastik dan kardus.
Walikota Batam Muhammad Rudi sejak tahun 2019 mengeluarkan surat eraran membatasi penggunaan plastik. Melarang dengan tegas penggunaan plastik seperti kantong, botol, sedotan/pipet, dan gelas plastik. Pegawai Pemko dianjurkan menggunakan botoI air minum isi ulang (tumbler) serta menyediakan gelas yang dapat dicuci.
Namun, surat edaran itu tidak terbukti ampuh membatasi penggunaan plastik. Sampai saat ini, penggunaan styrofoam dan pembungkus makanan dari plastik, tetap digunakan seperti biasa. Pedagang enggan menggunakan bungkus daun atau kertas. Selain dianggap tidak praktis, menambah biaya dan berpengaruh pada harga.
Bijak Kelola Sampah
TPA Punggur merupakan satu-satunya tempat pembuangan sampah di Batam. Jika memakai asumsi usia TPA adalah 30 tahun, maka usia TPA Punggur tersisa 4 tahun lagi. Namun, Herman Rozie memperkirakan, usia TPA Punggur masih bisa dipertahankan 8 sampai 10 tahun lagi.
Sampah yang dibuang di TPA Punggur memiiki nilai ekonomis. Mulai dari kompos, pupuk cair, briket, methanol, dan pembangkit listrik tenaga sampah. Ada 700 pemulung yang menggantungkan hidup dari timbunan sampah yang dibuang ke Telagapunggur.
‘’Sebagian tinggal di kawasan ini dan sebagian lagi berasal dari pulau-pulau atau pemulung pendatang dan musiman. Ketika laut sedang tak bersahabat, mereka beralih profesi dari nelayan menjadi pemulung sampah,’’ papar Herman Rozie.
Para pemulung yang memilah sampah dan dijual ke perusahaan yang mendaur ulang sampah. Rata-rata, 7 ton sampah dibawa keluar dari TPA Punggur, setiap hari. Apa yang ingin dikatakan Herman Rozie kepada warga Batam?
’’Tidak ada manusia hidup tanpa sampah. Pilah sampah dari rumah. Jangan dicampur sampah organik dengan sampah plastik. Seyogyanya, setiap perumahan memiliki bank sampah.Manfaatkan sampah. Bisa bikin kompos, sampah enzim, kurangi pemakaian plastik. Yang terjadi, jelas ada tulisan Dilarang Buang Sampah, malah disitu dia sengaja membuang sampah,’’ katanya, tertawa.
Kota tetangga Batam Singapura, selain sistem dan manajemen pengelolaan sampah yang baik, juga didukung dengan sikap mental dan budaya hidup bersih warganya. Singapura yang begitu bersih diawali oleh penegakan hukum yang tegas dan konsisten. Istilah kerennya: law enforcement. Penegakan hukum ini yang memaksa warganya dan siapa saja, tidak boleh membuang sampah sembarangan.
Bandingkan dengan Batam. Lihatlah perilaku warga yang masih suka membuang sampah sembarangan. Alangkah capainya melihat seorang petugas kebersihan, berseragam hijau kuning dengan kantong plastik besar di tangannya memungut sampah dari pinggir jalan. Sementara, orang seenaknya membuang sampah dari kendaraan. Mulai dari puntung rokok, plastik, tisu, kertas koran dan botol minuman.
Tugas Pemko Batam, selain menyiapkan sarana dan dan prasarana pengelolaan sampah, tak kalah pentingnya adalah mendorong bahkan memaksa warga Batam untuk hidup bersih dan mengelola sampah sejak dari rumah.
Jika sulit meniru Singapura, belajarlah ke Surabaya. Terobosan yang patut diacungi jempol adalah program Surabaya Green & Clean sejak 2005. Program ini berhasil mengubah wajah Surabaya yang panas dan gersang serta kotor, menjadi kota yang hijau dan nyaman. Surabaya menyabet berbagai penghargaan nasional dan interbasional. Antara lain, Asean Environt Sustainable City atau penataan lingkungan terbaik, Smart City Award dan Penghargaan Langit Biru.
Surabaya berhasil mendorong semua lapisan masyarakat untuk terlibat langsung menata lingkungannya sampai ke tingkat RT dan RW. Ini lantaran masyarakat masih memiliki ikatan emosional sebagai komunitas di komplek perumahan dan budaya bergotong royong yang masih terpelihara. Hanya saja, perlu stimulan dan pendorong secara terus menerus yang dilakukan Pemerintah Kota Batam.
Malah, wali kota Surabaya Tri Risma Harini, sebelum terpilih menjadi wali kota, pernah menjabat Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) dan Kepala Badan Perencanaan Kota Surabaya hingga tahun 2010. Di masa kepemimpinannya di DKP, ibukota Jawa Timur itu menjadi lebih asri dibandingkan sebelumnya. Lebih hijau dan lebih segar.
Sudah saatnya pula, Pemko Batam memberdayakan petugas kebersihan kota dan para pemulung, yang mau berkotor-kotor mengais sampah, baik di jalanan maupun di perumahan, mengumpulkan sampah dan barang bekas.
Sebab, jika diatur dengan sungguh-sungguh, mereka akan menjadi pasukan yang andal membebaskan Batam dari sampah. Tidak seperti selama ini, dicurigai memulung sebagai kedok untuk mencuri. Di beberapa komplek perumahan, sering ditemui tulisan: pemulung dan maling dilarang masuk.
Singapura selangkah lebih maju. Sebuah pulau di bagian selatan Singapura, Pulau Semakau, dipilih sebagai tempat pembuangan akhir sampah-sampah masyarakat Singapura. Lahan seluas 350 hektare di pulau itu, diklaim mampu menampung 63 juta meter kubik sampah. Uniknya, sejak 2005 TPA di Pulau Semakau dibuka untuk umum, sebagai salah satu daya tarik wisata, terutama wisatawan yang ingin belajar soal ekologi.
Barangkali, dengan membuka pintu kunjungan para pelajar Batam, dari taman kanak-kanak hingga SMA ke TPA Punggur, bisa menjadi edukasi pendidikan lingkungan hidup, belajar bebas dari sampah dan menjadi generasi baru yang peduli pada kebersihan. Tinggal Dinas Lingkungan Hidup berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan. ***