By Bintoro Suryo – Pertengahan 80-an, jalur darat yang menghubungkan wilayah Batam hingga ke pelabuhan rakyat di Sagulung terealisasi walau baru sebatas pembuatan jalur tanah.
Akhirnya, ada alternatif baru dari daratan Batam menuju pulau Buluh yang sempat menjadi ibukota Batam tempo dulu. Mulai saat berstatus keamiran di zaman kolonial hingga kecamatan di awal-awal pembentukan Republik Indonesia pada dekade 1950-an. Pulau utama, Batam yang sepi saat itu, sedang dibangun secara massif.
Saya pernah melintasi jalur dari tanah yang sudah terbentang, mulai dari persimpangan empat Kepri Mall saat ini hingga ke wilayah Batuaji yang masih sepi saat itu. Hanya ada beberapa warga keturunan Tionghoa dan bangunan serta kebun milik mereka di sekitar Batuaji, di ruas jalan yang baru dibuka itu. Selebihnya, menuju Sagulung dan Tanjung Uncang, masih berupa jalur tanah setapak.
Saat kemarau berdebu dan pada musim penghujan, berubah jadi seperti sawah. Butuh kendaraan gardan ganda seperti Land Rover atau Toyota HardTop untuk melintasinya.
“Tapi, ini kemajuan baru bagi Batam, pulau sepi dengan luas daratan 415 km2 yang tengah gencar dikembangkan “.
Sebelumnya, mobilitas warga di pulau itu menuju Batam yang mulai terdengar gemerlap, biasa dilakukan melalui jalur laut ke kampung-kampung nelayan di pesisirnya. Seperti ke pesisir Sagulung, Tanjung Riau, Sekupang atau bahkan Sungai Jodoh di bagian timurnya.
Keramaian wilayah Batam dan sekitarnya memang lebih terasa di pulau-pulau kecil penyangga. Termasuk di pulau Ngenang yang menjadi perlintasan orang di perairan timur Batam dan berbatasan dengan Bintan.
Data sensus tahun 1971 menyebut jumlah penduduk kecamatan Batam (saat itu Batam dan wilayah sekitarnya berstatus sebagai kecamatan, pen) sekitar 9446 jiwa. Sebanyak 3434 jiwa bermukim di pulau Buluh. Sebuah pulau kecil yang sudah menjadi pusat pemerintahan wilayah Batam dan sekitarnya sejak era kesultanan Riau Lingga dan kolonial Belanda.
Sementara di pulau utama, Ada 625 jiwa yang bermukim di pesisir Patam, 3019 jiwa di wilayah Nongsa, 1241 jiwa di Kabil dan 1126 jiwa di sekitaran Sungai Beduk. Sisanya tersebar beberapa kampung kecil nelayan lainnya seperti Batu Besar, Teluk Mata Ikan hingga pulau seperti Belakangpadang dan Sambu.
Sungai Jodoh di bagian timur Batam, saat itu sudah mulai tumbuh jadi sentra perekonomian warga Batam dan sekitarnya. Pembukaan Batu Ampar sebagai pelabuhan bongkar muat sejak era 70-an, menjadi katalisasi percepatan pertumbuhan orang dan barang di wilayah sekitarnya.
Akses pembukaan pulau Batam bagian barat yang sepi, sedianya sudah akan dilakukan pada dekade 70-an. Tahun 1974, pemerintah Indonesia berencana membangun sebuah bandara yang kelak digadang-gadang menyaingi Singapura di sekitar Tanjung Uncang. Sebuah Tanjung yang berdekatan dengan pulau Buluh.
Rencana itu urung dilakukan karena aturan internasional yang menyebut, pengoperasian bandara baru di sekitar Tanjung Uncang dapat mengganggu intensitas penerbangan di bandara Paya Lebar Singapura yang sudah lebih dulu beroperasi.
Sebuah bandara di Batam, akhirnya dibangun di sekitar wilayah Batu Besar. Kontraktor pengerjaan diserahkan ke sebuah perusahaan bernama Robin Ednasa. Tahap awal dibangun, landasan pacunya cuma sepanjang 850 meter dan hanya bisa didarati pesawat jenis Twin Otter, Sky Van serta Helikopter. Tapi, ini jadi babak baru lagi bagi pulau utama itu ; akses dari dan menuju pulau Batam juga bisa ditempuh melalui udara.
Sejarahwan Anhar Gonggong menyebut, Batam yang kini menjelma menjadi metropolis dengan puluhan kawasan industri, berawal dari rawa belukar yang sepi.
“Ketika warga masyarakat Indonesia dan warga asing itu melihat Batam dengan posisi kekotaannya sekarang, mungkin, bahkan pasti tidak terbayangkan oleh mereka bahwa kota di mana berada sekarang, dahulunya adalah rerawa gugusan belukar, bahkan daerah hitam dengan penduduk yang berjumlah lebih sedikit, tidak sampai puluhan ribu orang”, katanya di buku “Mengungkap Fakta Pembangunan Batam era Ibnu Sutowo – JB Sumarlin.
Pulau Buluh Sebagai Sentra Masa Lalu
PADA masa lampau, orang di sekitar Batam lebih memilih tinggal di pulau-pulau kecil di sekitarnya. Kebiasaan hidup dan bergantung dari lautan, kemudahan membangun di pulau-pulau kecil dan akses yang langsung berhadapan di jalur perdagangan yang melintas hingga Singapura, memudahkan orang untuk bertahan hidup.
Pulau Buluh masa lalu adalah sentra penting aktifitas orang dan pengaturan tata pemerintahan di wilayah Batam dan sekitarnya. Sejak zaman kesultanan Riau Lingga di bawah kolonial Belanda hingga menjelang akhir dekade 1950-an di masa pemerintahan Republik Indonesia. Banyak jejak dan tapak sejarah yang masih bisa dilihat. Seruas kota tua yang serupa tatanannya seperti di Malaka atau Penang, masih bisa dikunjungi sampai sekarang. Tapak bangunan pemerintahan di zaman Kesultanan Riau Lingga pada era kolonial hingga orde lama pemerintahan Indonesia, juga masih ada.
Berbeda dengan Nongsa di bagian timur pulau utama Batam yang lebih mencirikan sebagai kampung nelayan kecil. Seperti kebanyakan kampung serupa di pesisir Batam lainnya.
Sejak Traktat London atau perjanjian London, seperti dikutip dari buku E. Netscher (1870, de Nederlanders in Djohor en Siak 1602 tot 1865), yakni perjanjian antara kerajaan Inggris Raya dan Belanda pada 17 Maret 1824, peran pulau Buluh di bagian barat pulau Batam yang sepi menjadi lebih terlihat.
Ini adalah pembagian wilayah pendudukan antara Inggris dan Belanda di bumi Nusantara hingga semenanjung Malaya.
Beberapa kutipan pasal isinya seperti berikut :
Pasal 10 ; Kota dan benteng Malaka beserta rantau jajahan takluknya dengan ini diserahkan kepada kemaharajaan Britania Raya, dan Raja kerajaan Belanda berjanji untuk dirinya dan untuk rakyatnya, tidak akan pernah mendirikan kantor dalam bahagian Semenanjung Melaka atau memperbuat perjanjian dengan raja-raja Melayu, kepala – kepala negara yang berkedudukan di Semenanjung itu.
Pasal 12 ; Z.M. Raja Belanda tidak akan mencampuri mengenai pendudukan pulau Singapura oleh kemaharajaan Britania Raya. Imbangan dari itu, Kemaharajaan Britania Raya tidak akan mendirikan kantor di kepulauan Karimun atau di pulau Batam, Bintan, Lingga atau pulau yang lain yang terletak di sebelah selatan selat Singapura dan tidak akan membuat perjanjian dengan kepala-kepala yang ada di sana.
Pasal 13 ; Semua koloni, hak milik dan establishment sebagai akibat pasal-pasal di atas ikut disertakan, kepada perwira-perwira yang berkedaulatan pada tanggal 1 Maret 1825 dan sebagainya (E. Netscher, 2002, 465-466/Jejak sejarah pembangunan Batam era Ibnu Sutowo-JB Sumarlin 10-11).
Ada sekitar 3.414 pulau kecil di sekitar Kepulauan Riau. Usai Traktat London, Pemerintah kolonial Belanda memilih pulau Buluh sebagai salah satu pusat pemerintahannya di sekitar perairan Batam. Pulau Buluh sudah menjadi pusat pemerintahan district Van Batam sejak abad 18 usai Traktat London.
Nama Batam yang awalnya hanyalah kampung nelayan pesisir di beberapa titik, dibawa-bawa karena merupakan pulau terbesar di kawasan Bintan bagian utara. Namun, pusat keramaian dan pekan-pekan lebih banyak terlihat di pulau-pulau penyangga dengan sentranya di pulau Buluh.
Ke Kota Tua, Bersama Anak-anak Muda
SAYA kembali lagi ke pulau ini beberapa waktu kemarin. Bersama dua anak muda, Domu dan Rizka. Kami menjajaki produksi video dokumenter di pulau sarat sejarah itu.
Tekong yang membawa kami juga berusia muda, Arif. Pemuda asli dari pulau Buluh. Ia bersemangat saat diberitahu bahwa kami berniat menjajaki kemungkinan membuat produksi dokumenter tentang pulau kampung halamannya itu.
Sedari di pelabuhan rakyat Sagulung, saat kami masih mengeksplorasi cerita dari seorang tua bernama Rahimin, Arif sudah bersiap di perahu fiber bermesinnya.
“Masih lama, bang?” Katanya
“Entar lagi, masih ngobrol ini”
Arif yang sudah bersiap di perahunya tampak tidak sabar. Ia kembali naik ke pelantar dan menghampiri kami.
“Pulau Buluh ni lah yang ramai, dulunya. Mata uang yang kami pakai juga berbeda dengan daerah lain di Indonesia”, kata Rahimin yang bercerita dengan semangat sambil menyebut mata uang Rupiah Kepulauan Riau (KKRp) yang sempat digunakan di awal dekade 60-an.
Walau ramai menurutnya, ibukota kecamatan Batam saat itu sudah berpindah ke pulau Belakangpadang sejak tahun 1957.
“Waktu itu, saya masih kelas dua SR (Sekolah Rakyat, setara Sekolah Dasar zaman sekarang, pen)”, ujarnya.
Daerah Kepulauan Riau secara umum saat itu menurutnya, terletak berdekatan dengan negara tetangga Malaysia dan Singapura. Hubungan ekonomi juga lebih bersentuhan dengan keduanya. Sulit menghindari dampak berupa tingginya penggunaan uang dollar Malaya yang digunakan di Singapura dan Malaysia untuk memenuhi kebutuhan alat pembayaran. Termasuk di pulau-pulau kecil di sekitar Batam yang memang sudah ramai ditinggali orang sejak zaman dahulu.
Untuk mengatasi hal itu, pemerintah Republik Indonesia menetapkan satuan uang rupiah khusus untuk Daerah Tingkat II (Dati II) Kepulauan Riau. Pemberlakuannya sejak keluar Perpres nomor 9 tahun 1963 tanggal 15 Oktober 1963. Pemberlakuannya berlangsung selama 8,5 bulan sejak ditetapkan.
“Sebelum uang KR diberlakukan, perdagangan dan transaksi di sini pakai mata uang Dollar Inggris. Dari Terempak (Tarempa, Anambas pen.) sampai Dabo, semuanya pakai uang Dollar (Inggris, pen)”, terangnya.
KRRp sendiri terdiri dari uang kertas keluaran Bank Indonesia, uang kertas pemerintah dan yang logam pemerintah khusus untuk wilayah Kepulauan Riau. Berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di daerah Kepri di samping mata uang Dollar Malaya yang juga beredar di wilayah ini.
Masa konfrontasi Indonesia dan Malaysia tahun 1963, adalah masa-masa yang sulit bagi warga di Kepulauan Riau, termasuk di pulau Buluh yang menjadi sentral ekonomi warga Batam dan sekitarnya kala itu. Pemutusan hubungan diplomatik dengan Malaya (Malaysia, pen) oleh pemerintah Indonesia, menimbulkan konsekuensi ekonomi bagi warga kepulauan di sini yang sudah sangat lazim dan biasa berorientasi pasar ke Singapura dan Malaysia sejak berabad silam.
Menurut Rahimin, warga jadi agak kesulitan mendapatkan bahan pokok karena takut berlayar ke Singapura.
Namun, warga di pulau Buluh beruntung. Ada beberapa pedagang keturunan Tionghoa yang tetap bisa menyuplai bahan pokok kebutuhan warga dan menjadikan pulau itu sebagai pekan (kota) yang ramai.
“Apa-apa barang yang ada di Singapura, ada di pulau Buluh. Kalau misalnya barang tak ada, nanti tokenya langsung pesan. Jadi perdagangan antara Kepulauan Riau sama Singapura rapat (erat, pen)”, ujarnya.
Sampai dekade 60-an, orang pulau Buluh menurut Rahimin melihat Batam sebagai pulau sepi dan kebun saja untuk beberapa jenis tanaman.
Toko Bahagia yang dirintis oleh seorang Tionghoa bernama Tan Yu Tse adalah salah satu yang menyuplai bahan kebutuhan pokok. Toko itu menyuplai hampir semua kebutuhan pokok bagi warga Pulau Buluh dan pulau-pulau di sekitarnya pada masa itu dan tetap menjadikan pulau kecil tersebut sebagai pekan yang ramai bagi warga di sekitar perairan Batam.
Pada tahun 1965, ada pasar terapung yang muncul di Singapura sebagai cara warga mensiasati hubungan politis pemerintahan Indonesia dengan Singapura – Malaysia yang belum reda. Pasar terapung itu merupakan tujuan penjualan hasil bumi dari wilayah pulau-pulau di sekitar Batam dan Kepulauan Riau secara umum dan pusat pembelian bahan-bahan kebutuhan pokok bagi warga pulau di wilayah Indonesia yang berdekatan dengan Singapura.
Bentuknya seperti susunan kapal-kapal yang mengadakan transaksi jual beli barang dan sangat membantu warga di perairan sekitar Batam untuk memenuhi kebutuhan bahan pokok mereka.
Pada tahun itu juga, pulau Batam yang sepi mulai dibentuk tata pemerintahan sendiri dengan status sebagai sebuah desa. Ibukota kecamatannya di Pulau Belakangpadang setelah mengalami perpindahan dari pulau Buluh tahun 1957.
Era kesulitan pasokan barang secara ekonomi menurut Kamarudin berangsur membaik setelah pergantian rezim. Hubungan diplomatis Indonesia – Malaysia dan Singapura yang belakangan memisahkan diri dipulihkan.
Aktifitas Ekonomi Warga Pulau Buluh
DALAM catatan seorang pengusaha etnis Tionghoa bernama Tong Djoe, ia memperoleh mandat dari pemerintah Indonesia untuk menyalurkan bahan-bahan kebutuhan pokok di wilayah perairan Kepulauan Riau pada masa pemerintah orde baru berkuasa, sekitar akhir dekade 1970-an. Caranya dengan membuat toko terapung bergerak untuk penyaluran bahan kebutuhan pokok masyarakat di pulau-pulau sekitar perairan Kepulauan Riau, khususnya di sekitar perairan Batam dengan sentra di pulau Buluh.
Ia mengunakan kapal motor ukuran 200 dwt bantuan pemerintah dengan suplai barang dari negeri tetangga, Singapura.
Dalam sebuah catatannya ia menyebut penduduk di sekitar perairan Batam pada akhir dekade 70-an telah mencapai 22.263 jiwa. Ia menyalurkan beras sebesar 222.640 kg., garam 6.679 kg., gula sebanyak 26.718 kg., minyak goreng sebanyak 4.452 kg., ikan asin sebanyak 11.132 kg., sabun cuci batang sebanyak 66.722 batang, minyak tanah sebanyak 133.584 liter, bahan tekstil kasar sepanjang 267.268 meter dan batik kasar sepanjang 44.526 meter.
————
Seruas jalan yang tidak terlalu lebar di pulau Buluh ini jadi saksi tentang peran tata pemerintahan dan sentra ekonomi di pulau kecil ini pada masa lalu. Kota tua dengan deretan bangunan – bangunan tua. Kebanyakan dimiliki oleh warga etnis Tionghoa.
Sebuah bangunan yang diperkirakan sudah ada sejak tahun 1920-an, masih berdiri kokoh di salah satu ruasnya.
“Itu bangunan sejak zaman Belanda. Untuk administrasi pemerintahan. Setelah Indonesia merdeka, bangunan ini dimiliki warga pulau Buluh dari etnis kita Tionghoa. Masih dirawat”, kata Ambar, seorang warga asli pulau Buluh.
Rizka tertarik menghampirinya. Ia bertanya beberapa hal yang mengganjal di kepala saat melihat kota tua ini.
“Dulu di sini ada bioskop juga, seperti twenty one, gitu. Namanya Capitol. Jadi, selain sebagai sentra ekonomi, pulau Buluh juga jadi pusat keramaian dan hiburan bagi warga pulau di perairan sekitar Batam”, lanjutnya.
Kedua tungkai kaki pria itu tidak sempurna. Mengecil, seperti bekas terkena polio. Walau begitu, ia tetap bersemangat mendorong gerobak berisi bungkusan sate-sate ayam dan beberapa makanan lainnya.
Ambar ternyata seorang pedagang makanan keliling di kota tua pada pulau kecil ini. Menurutnya, saat ini pulau Buluh sudah jauh tertinggal dibanding Batam yang mulai dibangun sejak awal dekade 70-an. Listrik misalnya. Di pulau Buluh sampai saat ini, warganya masih lebih banyak mengandalkan aliran listrik yang dikelola secara mandiri oleh masyarakat. Aliran listrik PLN sudah masuk ke pulau ini. Namun hanya mengaliri kebutuhan listrik warga mulai malam hingga pagi hari.
“Itu juga bukan dari PLN Batam. Tapi dari PLN Tanjungpinang (PT. PLN Persero, pen)”, terangnya.
Aliran listrik dari PT. PLN Persero Tanjungpinang juga menyuplai beberapa pulau kecil lain di sekitar Batam. Seperti di Bulang Lintang, Sambu dan Belakangpadang.
Kondisi seperti itu cukup menyulitkan aktifitas warga di sini. Terutama untuk pelayanan fasilitas umum seperti Puskesmas. Untuk pelayanan kesehatan termasuk di unit Gawat Darurat, pengelola Puskesmas terpaksa menggunakan mesin genset sendiri.
Di sini pelayanan listrik bukan dari PLN di Batam, tapi dari PLN Tanjungpinang. Pakai mesin diesel. Tapi kekuatannya tidak besar, jadi hanya hidup pada malam hari dan hari Minggu. Justeru saat Puskesmas tidak beroperasi “, kata kepala Puskesmas di pulau Buluh, drg Nicko Pramudya sambil tersenyum kecut.
Untuk operasional harian Puskesmas di sini, pihaknya terpaksa mengoperasikan mesin diesel sendiri secara 24 jam.
Pulau Sarat Sejarah
DARI dokumentasi foto dan video dari udara yang direkam rekan saya, Domu, terlihat pulau ini sebenarnya kecil sekali jika dibandingkan Batam. Dari ujung ke ujung, kerapatan rumah warga dan bangunan-bangunan lainnya juga sudah lumayan padat. Hampir tidak ada hutan yang tersisa.
Secara tata pemerintahan saat ini, pulau Buluh berstatus sebagai ibukota kelurahan dari beberapa pulau yang ada di sekitarnya. Seperti pulau Boyan, pulau Teluk Sepaku, pulau Tengah dan pulau Bulat. Luas wilayah daratannya sebagai kelurahan sekitar 2,187 km2 dengan luas lautan sekitar 3, 335 km2. Ada 11 RT DAN 3 RW yang ada di sini.
Dinamikanya sebagai sentra ekonomi, sosial dan pemerintahan di wilayah perairan Batam tempo dulu juga bisa disimak dari keberadaan masjid Jami’ Nurul Iman yang sudah dibangun sejak abad 18 silam. Rumah ibadah umat Islam ini diperkirakan berdiri pada tahun 1872. Konstruksi aslinya sudah tidak kelihatan.
Walau begitu, ada dua buah tiang utama di sisi belakang masjid yang dianggap sebagai bagian yang masih tersisa. Sementara bentuk kubahnya, walau mirip dengan Masjid Sultan Riau di Pulau Penyengat yang dibangun tahun 1832,, namun bukan merupakan konstruksi asli. Masjid Jami’ Nurul Iman ini telah mengalami berbagai perombakan dan penambahan luas hingga saat ini.
Kami juga melihat peninggalan lain berupa sumur tua di pulau ini. Dari dindingnya, tertulis bahwa sumur itu dibangun pada tahun 1911 dan sempat menjadi sumber air utama warga di sini. Namun sayang, walau masih ada airnya, sumur itu sudah tidak digunakan lagi oleh warga. Sampah-sampah terlihat di bagian dalamnya.
Sumur tua ini terletak di dalam halaman SMAN 11 pulau Buluh yang dulunya merupakan sebuah sekolah Tionghoa. Sekolah khusus bagi warga Tionghoa di pulau Buluh itu, kabarnya dibangun pada tahun 1937.
Rizka dan Domu sempat berkeliling di lokasi yang kini berubah jadi gedung SMAN 11 tersebut. Sementara saya yang kelelahan, memilih beristirahat sambil minum kopi di sebuah kedai tua milik warga Tionghoa, tak jauh dari lokasi.
Yang tertinggal dari bangunan sekolah Tionghoa tersebut menurut mereka hanyalah tangga utama sepanjang enam tingkat dengan lebar lebih kurang 30 meter di dekat bangunan baru yang dioperasikan sebagai SMAN 11 tersebut.
Oh ya, kami juga mengunjungi lokasi klenteng tua yang katanya dibangun sejak abad ke-18, sama dengan masjid Jami’ Nurul Iman di pulau ini.
Bangunannya sudah megah sekarang karena mengalami beberapa kali pemugaran.
“Umur klenteng ni sama dengan pohon Ketapang tu”, kata Ayong, orang yang dipercaya menjaga bangunan peribadatan warga Tionghoa tersebut.
Ada sebuah batu besar di bagian dalam bangunan yang disebut merupakan batu yang sama saat awal klenteng itu dibangun ratusan tahun lalu.
Rumah ibadah yang sekarang bernama vihara Samudera Bhakti itu, terletak di pinggir laut. Dari halamannya, kami bisa melihat gunung Bulan yang terletak di pulau hadapannnya. Itu adalah daratan tertinggi yang ada di wilayah perairan Batam dan sekitarnya. Gunung kecil itu berada di pulau Bulan yang kini dikelola secara khusus untuk penangkaran Buaya dan Babi oleh perusahaan grup Salim.
“Itu pulau apa yang kecil dan kelihatan sepi?” Tanya saya ke Arif, pemandu boat pancung yang kami tumpangi.
“Itu pulau Boyan, keramat di sana. Cuma ada beberapa penduduk saja”, katanya.
“Kita ke sana ya”, kata saya sambil mengajak Domu dan Rizka.
Hari belum begitu sore dan perjalanan menuju pulau sepi itu saya perkirakan hanya 10 menit saja.
(*)
Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Sumber : bintorosuryo.com