By Bintoro Suryo – Raja udang itu terus berputar di atas kami. Sesekali mengeluarkan suara seperti berteriak
“Kiakkk, kakkk”.
“Dia tak nyaman ada manusia masuk ke sini”, kata Adek Lanovian, Kepala UPT Kebun Raya Batam kepada saya.
Kami masuk ke kawasan di sekitar Nongsa yang sejak hampir satu dasawarsa terakhir dihijaukan lagi sebagai hutan mangrove. Sebelumnya, kawasan itu rusak karena aktifitas penambangan pasir.
Pohon-pohon bakau yang ditanam sudah mulai lebat. Tim konservasi dari Kebun Raya Batam (KRB) juga terus menambah area penghijauan hutan bakau dengan menanam bibit-bibit baru di kawasan ini.
“Hati-hati juga ya, di sini banyak ular gelang sekarang. Biasanya ada di atas pohon-pohon bakaunya”, kata bang Adek, begitu saya menyapa, untuk mengingatkan kami agar berhati-hati.
Saya, Domu dan teman muda kami yang baru, Shania, bersepakat untuk membuat dokumentasi tentang kawasan hutan mangrove yang ada di lokasi kebun raya Batam ini. Bukan mengada-ada. Hampir 30 persen dari total luas kebun raya yang mulai dibangun tahun 2008 lalu itu, diperuntukkan untuk konservasi tumbuhan Mangrove atau bakau.
“Lokasi KRB yang berada di pesisir, memungkinkan kita melakukan konservasi pelestarian tanaman mangrove,” lanjutnya.
Ada dua jenis tumbuhan mangrove yang dilestarikan di sini. Yang pertama, berdaun besar. Biasa dikenal sebagai Bakau Rhizopora.
Bakau jenis ini banyak berkembang di bagian luar hutan bakau yang menghadap langsung ke ombak laut. Mereka tumbuh di atas lumpur. Tidak hanya berfungsi untuk menghalau pasangnya ombak lautan, tapi juga menjadi tempat tinggal serta sumber makanan untuk banyak makhluk hidup. Seperti misalnya burung raja udang tadi dan juga ular gelang.
Ciri utama pohon bakau ini yaitu pada jenis akarnya yang berbentuk tunjang (still root). Pada tanaman bakau-bakauan, akar tunjang seperti itu berfungsi untuk mempertahankan posisi pohon bakau ketika ombak dan pasang-surut air laut menerjang mereka.
Pohon bakau adalah jenis tanaman unik. Mereka punya ketahanan tinggi di daerah bersalinitas garam. Seperti misalnya di bibir pantai dan pesisir kawasan kebun raya ini.
Beberapa jenis bakau lain bahkan mampu menyaring 90-97% kandungan garam melalui akarnya. Sisa garam yang sudah terserap ke dalam tubuh pohon bakau akan dialirkan menuju daun. Jumlah garam yang terakumulasi akan membuat daun menjadi tua dan akhirnya terbuang bersamaan dengan gugurnya daun-daun tersebut.
“Di sini, hampir sebagian besarnya yang berjenis daun besar (rizhopora, pen)”, sambung Fauzan, Kasubag Tata Usaha KRB yang juga ikut bersama kami.
Jenis bakau kedua yang ada di sini bernama latin Avicennia marina. Merupakan jenis mangrove lain yang dapat tumbuh di rawa-rawa air tawar, tepi pantai berlumpur hingga pada substrat yang berkadar garam sangat tinggi.
Pohon ini mempunyai manfaat yang sangat beragam, antara lain untuk bioformalin, kayu bakar, makanan ternak, bahan makanan, tanaman perintis, rusuk perahu, tanaman penyerap racun serta obat anti fertilitas tradisional.
Avicennia marina atau dalam penamaan lokal disebut sebagai pohon bakau api-api. Berbeda dengan jenis Rhizopora yang berdaun besar, daun pohon bakau api-api ini berbentuk lebih mungil .
“Bunganya cantik ini”, kata Sania saat melihat kelompok pohon Avicennia Marina di kawasan konservasi yang kamu datangi.
Pohon api-api yang disebut Sania, memiliki bunga berwarna merah jambu sehingga kontras dengan daun kecilnya yang rimbun.
“Kalau yang jenis Marina ini, tak terlalu banyak dan bukan tanaman in situ (sudah ada di sana sebelumnya, pen), tapi ditanam dari bibit”, jelas Fauzan.
Menurut Fauzan, jenis bakau Rhizopora adalah tanaman in situ yang sudah ada di sana sebelum pembangunan Kebun Raya Batam.
“Tapi kondisinya sudah rusak, dulu di lokasi ini dijadikan penambangan pasir. Alhamdulillah, hutan bakaunya sudah berkembang lagi,” katanya.
Di sepanjang perjalanan kami menyusuri rimbunan hutan bakau di kawasan ini, kami masih mendapati bekas-bekas perangkat penggalian pasir yang sudah ditinggal begitu saja. Di antaranya bahkan sudah separuh tertimbun Tanah.
Lebih sepuluh tahun, kawasan ini akhirnya menghijau lagi dengan rimbunan tanaman bakau. Alam kembali bersahabat bersama habitat makhluk hidup yang semestinya berada di lokasi ini. Termasuk burung raja udang yang masih terus mengitari kami sembari berteriak itu.
“UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan perlunya pemenuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di kawasan perkotaan, 30 persen dari luas kawasan perkotaan. Pengembangan kebun raya di bawah koordinasi LIPI, sementara Kementerian PUPR memberikan dukungan infrastruktur,” kata Menteri Basuki beberapa waktu lalu.
Penataan Kebun Raya Batam telah mulai dikerjakan Kementerian PUPR melalui Ditjen Cipta Karya pada April 2018 mulai dari tahap persiapan, penataan jalan, saluran drainase hingga pekerjaan akhir.
Kebun Raya Batam ini memiliki luas sekitar 86 hektar dengan koleksi habitat tumbuhan yang terus bertambah. Pada akhir 2018, tercatat 2.472 tanaman dan pohon yang terdiri atas 28 famili, 149 genus, 193 jenis, dan 824 spesies.
Selain sebagai destinasi wisata, penataan kebun raya salah satunya bertujuan untuk membentuk suatu kawasan konservasi tumbuhan, sebagai tempat penelitian dan pendidikan botani. Tumbuhan yang menjadi ikon Kebun Raya Batam ialah nibung (Oncosperma tigillarium) yang merupakan tumbuhan palem-paleman liar. Nibung tumbuh berumpun sebagai simbol persaudaraan.
“Mulai dibangun 2008 dan diresmikan 10 tahun kemudian”, kata Adek Lanovian.
Adek mengenang saat awal-awal merintis pengembangan kawasan ruang terbuka hijau ini bertahun-tahun lalu.
“Kawasan hutannya sudah rusak. Selain penambangan pasir, di area lainnya dalam kawasan ini juga sudah banyak terhampar pertanian warga”, kenangnya.
Batam secara umum memiliki jenis tanah berwarna merah yang miskin kandungan humus. Keberadaan lahan pertanian warga yang sempat ada di sana, sebenarnya ikut menyuburkan lokasi.
“Tapi, saat mereka (para petani, pen) diberitahu bahwa lahan garapan akan segera dijadikan kawasan kebun raya, mereka pindah dengan sekaligus membawa tanah-tanah humusnya”, kata Adek.
“Untuk apa,” tanya saya.
“Ya untuk dijual lagi, tanah hitam kan lumayan mahal di sini”, kata Adek tersenyum kecut.
“Ini tanaman apa, cantik ya?” tanya Sania ke Adek.
“Ini Sakura Batam namanya, hehe. Tabebuya”, kata Adek tersenyum.
Pohon tabebuya atau nama latinnya Handroanthus chrysotrichus, biasa disebut juga sebagai pohon terompet. Sepintas, bentuk pohon dan bunganya mirip seperti sakura yang ada di Jepang. Tapi sebenarnya, tanaman ini berasal dari Brasil. Negara yang secara iklim, punya kemiripan dengan Indonesia.
Walau mirip, pohon sakura dan tabebuya sebenarnya tidak berkerabat. Salah satu perbedaannya, daun dari pohon tabebuya tidak mudah rontok seperti sakura.
Tanaman tabebuya memiliki bunga yang berbeda-beda warna. Ada warna kuning dan berbentuk terompet, ada juga yang berwarna pink, ungu, bahkan merah tua. Varian yang sering dijumpai di Indonesia adalah yang bunganya berwarna kuning dengan panjang 3–11 cm, berbentuk terompet dan bergerombol.
“Pohon-pohon tabebuya yang ada di Batam, bibit awalnya itu dari kami. Seperti yang ada di kawasan Batamindo itu”, kata Adek.
Setiap spesies pohon tabebuya memiliki warna yang berbeda-beda. Menurut Adek, terdapat motif garis warna ungu di dalam bunganya. Pada musim berbunganya, tanaman ini mampu menghasilkan jumlah bunga yang sangat banyak dan tidak putus, sejak awal musim kemarau hingga menjelang musim hujan.
“Bahkan sekarang ini musim pembungaan tanaman ini dapat diatur melalui manipulasi pola pemupukan”, katanya.
Habitat asli tabebuya di Brasil berada di daerah dengan iklim kering, sehingga tanaman ini memiliki ketahanan hidup yang tinggi dalam cuaca kering.
“Berbeda dengan sakura di Jepang. Makanya tanaman ini cocok tapi tumbuh di Indonesia”, jelas Adek lagi.
Tabebuya adalah pohon dengan pemeliharaan rendah, di mana pemangkasan dibutuhkan hanya untuk menghilangkan tangkai yang mati atau rusak. Jarang ada hama atau penyakit yang mengganggu tanaman ini.
Ada dua jenis pohon tabebuya yang populer sebagai tanaman hias pekarangan: tabebuya kuning (Handroanthus chrysotrichus) yang pohonnya besar mencapai tinggi 8 meter, dan tabebuya merah muda (Handroanthus impetiginosus atau Handroanthus heptaphyllus).
(*)
Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Sumber : bintorosuryo.com