By Eri Syahrial- Tsunami informasi yang menerpa masyarakat akibat kemajuan teknologi informasi, internet dan munculnya berbagai media sosial dengan beragam platfom juga berdampak pada perfilman.
Banjir film dari luar negeri yang masuk ke Indonesia ditambah film yang diproduksi di dalam negeri menimbulkan permasalahan sosial masyarakat dan memunculkan kelompok rentan seperti anak dan remaja. Kondisi tersebut tambah parah bila tidak ada Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia.

Setiap hari, ada ratusan bahkan ribuan permohonan sensor film yang masuk ke Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia. LSF bekerja ekstra untuk melakukan sensor terhadap fillm tersebut. Komisioner LSF bekerja menonton dan menyimak film demi film untuk dilakukan penilaian, menentukan pengolongan usia penonton terhadap film, sinentron dan iklan film yang akan tayang di bioskop dan televisi.
Bahkan LSF sampai melakukan audiensi terhadap perusahaan, badan usaha pemilik film atau pihak yang paham agar tontonan tersebut tidak melanggar aturan.
‘’Saking banyaknya film yang harus disensor, kita bekerja setiap hari dari pukul 08.00 pagi hingga pukul 16.00 petang untuk melakukan sensor pada film,’’ ujar Dr Nasrullah, Ketua Komisi I LSF RI dalam kegiatan kegiatan sosialsiasi budaya sensor mandiri di Provinsi Kepulauan Riau yang digelar LSF RI di Swiss Belhotel, Habourbay, Kota Batam,Selasa (29/8).

Bayangkan kalau kita tidak memiliki LSF sehingga film dan tontonan yang masuk, tidak terkontrol sehingga merusak tatanan kehidupan masyarakat. Sudah ada LSF saja, masih ada celah dan dampak film terutama terhadap kelompok rentan seperti anak dan remaja. Apalagi kalau tidak ada LSF.
‘’Ini baru film yang diputar di bioskop dan televisi. Belum lagi banyak film yang beredar di berbagai platfom media sosial yang tidak melalui sensor. Itu sangat berbahaya,’’ katanya.
Dr Naswardi SE MM, Ketua Komisi III LSF sebagai pembicara ketiga dalam sosialisasi ini juga mengkhawatirkan film, tontotan live streaming dan conten creator yang belum bisa diawasinya apalagi disensor yang beredar di berbagai platfom media sosial. Juga belum ada lembaga yang berwenang untuk mengawasi hal tersebut.
‘’Hal ini karena belum diatur dalam UU Perfilman, UU Penyiaran, UU ITE daan UU lainnya. Ini ruang kosong yang harus menjadi perhatian bersama,’’ ujarnya.

Bahkan Sturman Panjaitan, anggota Komisi I DPR RI menyebut ada sekitar 1 juta film asing masuk ke dalam berbagai platfom media sosial dan internet di Indonesia yang sulit untuk disensor dan di take down.
Yang menarik perhatian adalah hasil penelitian LSF yang dilakukan di Jabodetabek terkait perfilman dan perilaku anak. Di antaranya adalah sekitar 70 persen anak menonton lewat smarphone atau media sosial. Anak atau remaja yang menonton TV hanya 22 persen. Sebagian besar anak menonton di kamarnya sehingga luput dari pendampingan dan pengawasan orangtua tentang apa yang ditonton.
Sebanyak 46 persen anak menonton sesuai dengan usianya. Yang lebih banyak adalah menonton film atau tontonan lain tidak sesuai dengan usianya. Sebanyak 54 persen tersebut terpapar tontonan berbau pornografi, kekerasan dan LGBT dan konten negatif lainnya.

Bagaimana peran orangtua? Naswardi mengungkapkan dari hasil penelitian LSF, sebanyak 63 persen orangtua tidak pernah melakukan pengawasan, tidak memberikan eduasi dan tidak melakukan pendampingan pada anak.
Maka tidak heran berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (LPA), bahwa sejak hadirnya smarphone kasus-kasus pada anak semakin meningkat dari tahun ke tahun, baik anak sebagai korban maupun anak sebagai pelaku. Setelah dilakukan penelitian, penyebab utama meningkatnya kasus adalah akses anak yang mudah pada internet tanpa dilakukan penyaringan dan pengawasan.
Dampak lain yang dialami kelompok rentan anak adalah terganggunya anak secara psikis akibat banyak menonton film dan tontonan yang tidak sehat ditambah durasi menonton yang lama. Sebanyak 55 persen anak menganggap apa yang ditonton di TV, sinetron dan film dianggap sebagai kenyataan. Sisanya 45 persen anak menganggap tontonan dan film masih sebagai fiksi atau tidak nyata.
‘’Kondisi ini diperparah lagi dengan anak yang bersifat imitasi atau gampang meniru. Segala sesuatu gampang ditiru anak sehingga tontonan yang negatif dan fiksi tersebut ditiru dalam bersikap sehari-hari,’’ papar Naswardi yang pernah menjadi staf ahli KPAI ini.
Guru dan Orangtua Khawatir
Pendidik dan masyarakat menyambut baik kegiatan LSF yang mensosialisasikan Budaya Sensor Mandiri di Kota Batam. Kegiatan ini diikuti guru, dosen, penyuluh agama Islam, pelajar, mahasiswa dan organisasi kemasyarakatan yang ada di Kota Batam.
Peserta nampak antusias bertanya dan sekaligus menyampai-kan kekhawatirannya kepada nara sumber terkait dengan tontotan dan konten yang beredar di media sosial hari ini yang banyak mengarah pada negatif.
Terkait kekhawatiran tersebut, Socrates, Ahli Pers dan wartawan senior di Provinsi Kepulauan Riau menyampaikan salah satu cara untuk menghilangkan kekhawatiran maraknya konten negatif adalah dengan membuat berbagai konten yang positif.
‘’Bila jumlah konten yang positif lebih banyak maka konten negatif dengan sendirinya akan ditekan tidak muncul dilayar berbagai platfom media sosial. Demikian cara algoritma media sosial bekerja,’’ kata mantan Ketua PWI kepri ini.
Untuk itu, Socrates mengajak semua pihak termasuk para pelajar, termasuk para content creator dan talent untuk membuat film dan konten media sosial sebanyak-banyaknya. ‘’Untuk membuat konten juga tidak mudah, untuk itu juga perlu belajar agar kontennya banyak yang mengklik,’’ kata pimpinan Yayasan Socrates Talk Indonesia ini.
Socrates dengan beberapa rekannya mendirikan Batam Creator Academy yang bertujuan mendidik pelajar, pekerja dan masyarat agar bisa membuat konten dengan smartphone, seperti menulis narasi, fotografi, videografi dan broadcasting serta desain grafis.
Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri
Penyensoran film merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang perfilman, dimana setiap film yang akan diedarkan dan pertunjukkan wajib mendapatkan Surat Tanda Lulus Sensor dari Lembaga Sensor Film. Lembaga Sensor Film (LSF) menyadari secara penuh, bahwa upaya untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif film tidak hanya cukup dengan kebijakan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS).

Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat, berpengaruh besar terhadap peredaran dan pertunjukan film, dimana film saat ini tidak hanya disaksikan melalui layar bioskop dan televisi, namun dapat diakses melalui internet, platform digital dan media sosial. Sehingga akses masyarakat terhadap film semakin mudah, tidak lagi dibatasi oleh tempat dan waktu.
Dengan demikian masyarakat memiliki potensi mengakses konten perfilman yang tidak sesuai dengan klasifikasi usianya. Untuk itu, masyarakat dan publik perlu mendapatkan pendidikan dan pengetahuan terhadap film, melalui penguatan fungsi literasi, sehingga masyarakat memiliki kepedulian dan kesadaran untuk menonton film sesuai dengan klasifikasi usia dan peruntukkannya.
Untuk menguatkan fungsi literasi masyarakat dalam aspek Perfilman, Lembaga Sensor Film pada tahun 2021 mencanangkan Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri yakni gerakan memilah dan memilih tontonan sesuai dengan klasifikasi usia.
Pada Kamis, 29 Agustus 2023 berlokasi di Hotel Swiss-Belhotel Harbour Bay Kota Batam, LSF mengadakan Sosialisasi Budaya Sensor Mandiri. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan penguatan literasi kepada masyarakat agar lebih bijak dalam memilah dan memilih tontonan, sehingga masyarakat memiliki kepedulian dan kesadaran untuk menonton film sesuai dengan klasifikasi usia.
Acara ini melibatkan beberapa elemen masyarakat dan pejabat daerah di Kepulauan Riau pada umumnya dan Kota Batam khususnya. Turut hadir pejabat dinas terkait di Provinsi Kepulauan Riau, perwakilan Penyuluh Agama Kantor Kementerian Agama Kota Batam, perwakilan LPAI Kota Batam, perwakilan KPID Provinsi Kepri, perwakilan Perguruan Tinggi di Kota Batam, perwakilan guru dan siswa di Kota Batam, dan sejumlah perwakilan media setempat.
Mengawali sambutan, Wakil Ketua LSF RI, Dr. Ervan Ismail, M.Si menyebutkan bahwa film adalah produk budaya yang sangat efektif dalam penyampaian pesan. Amanat dari UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman Pasal 61 ayat (1) dimana salah satu tugas LSF adalah memasyarakatkan penggolongan usia penonton film dan kriteria penyensoran film dan iklan film, serta membantu masyarakat agar dapat memilih dan menikmati pertunjukan film yang bermutu serta memahami pengaruh film dan iklan film.
Dengan mengangkat tema kegiatan “Cerdas Memilah dan Memilih Tontonan,” masyarakat diharapkan mampu memproteksi diri dan sekitar, serta memperkaya kearifan setempat sebagai upaya mempertahankan ciri kepribadian bangsa.
“Tanpa adanya penyaringan mandiri oleh masyarakat, sebuah film hanya akan menjadi komoditas yang bukan saja tidak bermanfaat tetapi juga berbahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu LSF dengan gencar dan semangat memberikan literasi tentang pentingnya melakukan sensor mandiri dalam menonton film di media apapun,” ujar Ervan Ismail.
Pada kesempatan yang sama, Walikota Batam Muhammad Rudi dalam sambutannya menyampaikan beberapa hal terkait semakin beragamnya tontonan melalui media sosial. “Untuk itu dengan membangun kota maju yang di dalamnya berpenduduk pintar dan bijak, maka masyarakat tentu akan lebih akan cerdas memilah dan memilih tontonan,’’ ujar Muhammad Rudi yang juga Ketua BP Batam ini.
Dukungan penuh datang pula dari dewan terkait. Hadir sebagai keynote speaker Mayjen TNI. Mar. (Purn) Sturman Panjaitan SH Anggota Komisi I DPR RI. Dalam paparannya ia menegaskan bahwa Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri ini bukanlah sekadar slogan belaka, tetapi merupakan panggilan kepada kita semua untuk bertindak secara bijak.
Melalui peningkatan pendidikan, pemahaman, dan kepedulian terhadap klasifikasi usia film, kita dapat melindungi diri kita sendiri, keluarga, dan generasi penerus dari dampak negatif yang mungkin ditimbulkan oleh konten yang tidak pantas. Ia juga mengimbau dengan semangat kebersamaan dan kesadaran kolektif, agar masyarakat mampu membentuk budaya yang lebih baik dalam memilih dan menilai tontonan.
Rangkaian kegiatan ini juga turut menghadirkan narasumber yang memberikan informasi dan literasi secara langsung mengenai pentingnya Budaya Sensor Mandiri yaitu: Dr. Nasrullah, MA Ketua Komisi I LSF RI; Ketua Komisi III LSF Dr. Naswardi, M.M, M.E, Socrates Anggota Dewan Kehormatan PWI Kepulauan Riau; dan dipandu oleh moderator Sri Azizah dari iNews Biro Batam. ***
[…] Tulisan ini terbit pertama kali di : socratestalk.com […]