By Eri Syahrial – Wilayah Provinsi Kepulauan Riau yang terdiri dari 96-98 persen lautan rentan terjadi bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, gelombang yang tinggi, puting beliung dan lainnya. Longsor yang terjadi di Serasan Natuna beberapa bulan lalu menjadi menjadi pelajaran yang berharga pentingnya upaya pencegahan pada masyarakat, mitigasi bencana dan kalaborasi lintas lembaga agar bencana bisa diminimalisir.
Demikian benang merah pada acara pelatihan dan workshop Antar Lembaga dan Kemitraan dalam Penanggulangan Bencana di Provinsi Kepulauan Riau tahun 2023 yang dibuka Selasa (12/99/2023) di Planet Holiday, Batam.
Acara pelatihan ini diikuti BPBD kota/kabupaten se- Provinsi Kepulauan Riau, Basarnas Kepulauan Riau, Dinas Pendidikan, pimpinan organisasi kemasyarakatan dan keagamaan, perwakilan Polda, TNI, media dan unsur lainnya. Acara ini berlangsung hingga Kamis (14//9/2023) dengan tujuan terciptanya kerjasama dan kemitraan stakeholder terkait dalam penangganan bencana di Kepulauan Riau.
Muhammad Hasbi, Kalaksa Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kepulauan Riau saat pembukaan pelatihan ini mengungkapkan salah satu bencana alam yang besar terjadi di Kepulauan Riau terjadi di Serasan, Kabupatan Natuna dengan jumlah korban jiwa meninggal sekitar 56 orang.
‘’Bila masyarakat paham dengan tanda-tanda bencana akan terjadi maka sebenarnya jumlah korban bisa diminalisir atau tidak ada korban. Saat itu, hujan sudah berlangsung 7 hari berturut-turut dan sudah air merembes atau memancar keluar dari tanah. Oleh kepala desa, warga dikumpulkan untuk goro di suatu tempat yang rawan sehingga terjadi bencana tersebut,’’ papar Hasbi kepada peserta.
Untuk itu lanjut Hasbi, perlu pendidikan kebencanaan diberikan kepada masyarakat luas termasuk kepada pelajar di sekolah. Selain itu, diperlukan kalaborasi banyak lembaga dalam mencegah dan menanggani bila terjadi bencana.
‘’Penangganan bencana bukan tugas BPBD saja, tapi tugas semua pihak,’’ kata Hasbi sekaligus membuka kegiatan ini mewakili Gubernur Provinsi Kepulauan Riau .
Pada hari pertama pelatihan dan workshop antar lembaga penangganan bencana ini, ada tiga nara sumber memberikan materi. Yaitu Ario Akbar Lomban dari Widyaswara Pusdiklat BPBN, Eri Syahrial dari Lembaga Perlindungan Anak dan Adi Setiadi, Kepala BMKG Hang Nadim Batam.
Ario Akbar Lomban menyoroti masalah moral etik pihak yang harus dimiliki oleh siapapun yang menanggani bencana dan terjun ke lokasi bencana.
Menurutnya, masalah penanganan bencana termasuk di Batam dan Kepulauan Riau tidak lepas dari moral etik. Moral etik dalam penanganan kebencanaan harus dibangun atau ditumbuhkan lebih dahulu. Bahkan moral etik lebih dahulu dibanding hukum dan regulasi.
‘’Awardness (kepedulian) tidak terbangun karena lupa membangun moral etik kebencanaan. Semoga bencana Serasan Natuna bisa jadi pelajaran bagi kita semua,’’ ujar Ario yang pernahh bertugas di BP Batam ini.
Hal lain yang perlu dibangun dalam penanganan bencana di Kepri, lanjut Ario, ciptakan kualitas manusianya dalam penanganan bencana sehingga lebih terampil dan tangguh, termasuk tidak mau mengkorupsi dana bencana.
‘’Investasi prabencana seperti membangun SDM harus kuat sehingga bisa mengurangi jumlah kerugian jiwa dan materi saat bencana terjadi,’’ tambahnya.
Ario meminta anggaran bencana sesuai dengan kebutuhan lapangan dalam penanganan korban bencana. Jangan sampai, anggaran sedikit, sementara harapan banyak. Ini harus menjadi perhatian DPRD dan pemerintah daerah dalam penganggaran bencana di daerah.
Perlindungan Khusus untuk Anak Korban Bencana
Pemerhati Anak Provinsi Kepulauan Riau dalam paparannya meminta stakeholder dan relawan penanganan bencana di kepulauan Riau memperhatikan kelompok usia rentan yang menjadi korban bencana yaitu anak. Baik dalam hal upaya pencegahan bencana, maupun dalam penanganan bencana dan pasca bencana.
Jumlah anak yang besar yaitu sepertiga dari total penduduk dan anak merupakan generasi penerus bangsa sehingga anak harus mendapatkan perlindungan khusus dalam penanganan bencana sebagaimana yang sudah dijamin dalam UU Perlindungan Anak.
‘’Hak-hak dasar anak seperti hak idup dan tumbuh kembang, hak pendidikan, hak kesehatan, hak rekreasi, hak untuk mendapatkan pelayanan dan perlindungan selama bencana dan pasca bencana harus didapatkan anak,’’ tutur Eri.
Jangan sampai anak sudah jadi korban saat bencana, jadi korban lagi saat penanganan bencana seperti tidak belajar dalam waktu lama, penelantaran, mengalami diskriminasi, mendapatkan kekerasan dan lainnya. Anak korban bencana harus mendapatkan Dukungan Psikologis Awal (DPA), trauma healing, kegiatan rekreasi dan edukatif.
Bencana alam yang terjadi di Indonesia, jumlah korban anak dan pelajar termasuk tinggi. Untuk itu di sekolah perlu diterapkan Sekolah Aman Bencana dan Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB). Program ini sudah dilaksanakan di daerah lain di Indonesia yang rawan bencana.
‘’Sekolah atau satuan pendidikan di Provinsi Kepulauan Riau terutama yang agak rawan bencana harus menerapkan SPAB,’’ kata mantan Ketua Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak (KPPAD) Provinsi Kepri ini.
Rencananya, dalam waktu dekat, BPBD Kepulauan Riau bersama Dinas Pendidikan akan mensosialisasikan pencegahan bencana dan meminta diterapkannya SPAB.
Ditegaskan Eri, program mitigasi bencana harus masuk ke sekolah di Kepulauan Riau. Ada tiga pilar pencegahan bencana yang bisa dilakukan di sekolah lewat SPAB yaitu infrastruktur pendidikan yang aman bencana, manajemen penanganan bencana di sekolah dan pendidikan pengurangan resiko bencana yang diajarkan di sekolah dalam intrakurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler . ***
.