TAHUN 1963, terjadi peristiwa konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia. Konflik antar negara ini, diawali oleh keinginan Inggris mendukung pembentukan Federasi Malaysia yang ingin menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak. Hal ini ditentang oleh Presiden Soekarno dan menganggap keinginan Malaysia ini sebagai “boneka Inggris” yang merupakan kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk baru.
Akibatnya, demonstrasi anti-Indonesia muncul di Kuala Lumpur pada tanggal 17 September 1963. Para demonstran yang marah terhadap Presiden Sukarno karena melancarkan konfrontasi terhadap Malaysia dan juga karena serangan militer tidak resmi Indonesia terhadap Malaysia. Sukarno murka dan mengutuk tindakan demonstrasi anti-Indonesia, di mana para demonstran menginjak-injak lambang negara Indonesia.
Pemerintah Indonesia di bawah Soekarno ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang sampai saat ini dikenal dengan nama Ganyang Malaysia. Ratusan demonstran juga merebut kedutaan dan rumah diplomat Singapura di Jakarta.
Ketegangan hubungan Indonesia, Malaysia dan Singapura ini, juga sangat terasa di Selatpanjang. Apalagi pasukan militer dan tentara Indonesia ditempatkan di Selatpanjang untuk bersiaga. Kondisi sulit yang sudah terjadi si Selatpanjang di awal decade 1960-an, jadi semakin sulit. Aktifitas perdagangan antar negara yang biasa melalui Selatpanjang menjadi lebih sulit. Namun, para pedagang di Selatpanjang tidak kehabisan akal. Mereka memanfaatkan situasi agar tetap bisa berdagang dan menjalankan bisnis.
Para pedagang Tionghoa di Selatpanjang, tetap bisa bolak-balik ke Singapura dan Malaysia. Alasan mereka, mengumpulkan data intelijen dari Singapura dan Malaysia yang pada saat itu sedang berkonfrontasi. Meskipun saat itu hubungan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia (termasuk Singapura yang saat itu masih menjadi bagian Malaysia, pen) sudah putus, para pedagang Selatpanjang tetap bisa masuk ke negara itu.
Dengan berpura-pura mengumpulkan data intelijen di Malaysia dan Singapura, arus barang keluar masuk dari Selatpanjang jadi lancer dibawa oleh para pedagang Tionghoa ke kota itu. Para pedagang membawa barang-barang seperti hasil bumi ke Singapura dan Malaysia, dan membawa barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari ke Selatpanjang.
Barang kebutuhan sehari-hari yang dibawa ke Selatpanjang biasanya dalam jumlah besar. Tidak hanya dipasarkan di Selatpanjang. Bahkan dikirim dan dijual sampai ke Medan dan Jakarta. Pasar dan pelabuhan Selatpanjang ramai dan sibuk. Perdagangan meningkat pesat. Muljadi yang bekerja sebagai karyawan toko kebutuhan sehari-hari, juga kecipratan rezeki tambahan.
Ia ikut membantu pekerjaan bongkar muat barang di pelabuhan dan mendapat uang tambahan. Bongkar muat barang dilakukan dari siang sampai malam hari. Setelah itu, dimuat ke kapal yang mengangkut barang-barang kebutuhan sehari-hari ke Jakarta dan Medan pada keesokan harinya. Karena perdagangan dan bisnis di Selatpanjang meningkat pesat, mereka yang terlibat, termasuk Muljadi, mendapat keuntungan yang lumayan bagus. Pesatnya perdagangan di Selatpanjang bertahan sampai akhir tahun 1963.
Masa-masa suram pada tahun 1964 hingga 1965 dirasakan Muljadi. Ini menjadi periode paling kacau di Selatpanjang. Ekonomi terpuruk. Politik bergejolak. Polarisasi yang tajam antar masyarakat, baik karena faktor identitas, politik maupun ideologi. Kebijakan politik diskriminatif yang melarang warga negara asing Tionghoa berdagang eceran di daerah di luar ibu kota provinsi dan kabupaten, ternyata menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang. Akhirnya, ini menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965. Puncaknya adalah meletusnya peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Situasi keamanan kota Selatpanjang saat itu juga tidak terkendali. Tidak ada jaminan keamanan untuk warga, apalagi dari etnis Tionghhoa. Banyak orang-orang pribumi yang menyamar sebagai tentara dan menyebut diri mereka sukarelawan perang pada konfrontasi dengan Malaysia. Saat membeli sesuatu, mereka tapi tidak mau membayar. Malah, tidak segan-segan berbuat kasar dan memukuli warga. Warga Tionghoa Selatpanjang merasa menderita.
“Situasinya sangat tidak nyaman dan tidak terjamin bagi warga etnis Tionghoa seperti kami”, tulis Muljadi dalam catatannya.
Bersambung
[…] Selanjutnya : Konfrontasi Indonesia – Malaysia, Mendulang Peluang | Masa Belia, Masa Merintis Usaha – MENE… […]