PERIODE tahun 1960-an, adalah masa-masa kemunduran ekonomi Indonesia. Situasi politik orde lama yang tidak stabil, hiperinflasi dan defisit anggaran. Membuat situasi dan kondisi di kota kecil Selatpanjang, semakin sulit. Ditambah dengan dampak kebakaran hebat yang meluluhlantakkan Selatpanjang.
Sebagai daerah kepulauan, Selatpanjang memiliki dermaga dan pelabuhan yang dibangun sejak era kolonial dan dinamakan Boom Selatpanjang. Setelah Indonesia merdeka, diserahkan ke pemerintahan kecamatan Tebing Tinggi dan disebut warga dengan pelabuhan Camat. Ini merupakan pelabuhan bongkar muat barang.
Pelabuhan inilah yang menjadi pintu keluar masuk orang dan barang, mengangkut hasil bumi seperti kayu balak, karet serta transit para pedagang, sehingga pelabuhan Camat menjadi jantung dan urat nadi ekonomi Selatpanjang. Selatpanjang adalah penghasil sagu di kawasan rantau Melayu Riau hingga ke semenanjung tanah Melayu, Malaysia.
Akhir tahun 1960, Muljadi tumbuh menjadi seorang remaja. Usianya lima belas tahun. Ia bingung mau melakukan apa. Kapal dari Tiongkok yang diharap bisa menjemputnya dan keluarga belum kunjung datang. Kehidupan juga semakin sulit. Tidak ada jalan lain baginya selain berupaya mendapatkan pekerjaan untuk menghidupi dirinya yang masih belia dan juga keluarganya.
Dalam keadaan terdesak dan tidak ada lagi pilihan lain, Muljadi bekerja sebagai pesuruh di sebuah tempat perjudian. Tugasnya, disuruh-suruh membeli rokok, membeli makanan ringan dan sebagainya. Sebagai pesuruh, Muljadi mendapat sedikit uang tips untuk biaya hidupnya sehari-hari. Ia menjalani pekerjaan sebagai pesuruh sampai tahun 1961. Kapal daru Tiongkok yang dinantinya bersama keluarga juga belum kunjung datang.
Saking terbiasa dan cukup lama memperhatikan orang-orang bermain judi, Muljadi lama-lama bisa bermain mahjong. Mahjong adalah permainan untuk empat orang yang berasal dari Cina. Ini adalah permainan yang menuntut kecakapan, strategi, kecerdasan, kalkulasi, dan peruntungan. Mahjong dimainkan dengan 144 set ubin dengan berbagai karakter dan simbol khas Tiongkok.
Pada tahun 1962, Muljadi bekerja sebagai karyawan toko yang menjual berbagai barang kebutuhan harian. Toko itu adalah milik kakak iparnya, isteri Lim Qi Siong, anak ayahnya dari istri pertama. Barang-barang kebutuhan yang dijual toko yang terletak di jalan Merdeka kota Selatpanjang tersebut, dipasok dari luar negeri. Kakak ipar Muljadi, menjabat sebagai manajer di toko yang cukup besar saat itu.
Meski hanya sebagai staf biasa di toko itu, Muljadi belajar banyak soal perdagangan dan cara-cara berbisnis, di bawah bimbingan kakak iparnya. Di sinilah Muljadi ditempa dan dilatih menjadi pebisnis yang dipelajarinya dengan serius dan sungguh-sungguh. Inilah awal perkenalannya di dunia bisnis yang mempengaruhi sepak terjangnya di dunia usaha kelak.
“Ayah saya (Lim Qi Siong) dan paman (Muljadi/ Lim Qi Hui) sangat dekat sejak dulu walau mereka sebenarnya berbeda ibu”, kata Ridwan Hoodi alias Acai, Putera bungsu Lim Qi Siong. Saat ini, Acai dan keluarganya adalah satu-satunya generasi dari keturunan Lim She Thun, seorang saudagar kaya asal daratan Tiongkok yang masih bermukim di kota Selatpanjang. Selain Acai, seluruh keturunan pria yang meninggal pada tahun 1938 silam di Selatpanjang itu, sudah bermukim di kota lain seperti Pekanbaru, Jakarta, Batam bahkan hingga ke Singapura dan Australia.
Toko tempat Muljadi pernah bekerja dan membantu ibunya itu, sekarang dikelola oleh Acai dengan nama toko Sanwa. Tidak banyak bentuk bangunan yang berubah dari toko tersebut sejak puluhan tahun silam.
Bersambung
[…] Selanjutnya : Bekerja di Usia 15 Tahun | Masa Belia, Masa Merintis Usaha – MENEROBOS WAKTU’ Sebuah Memoir: My … […]