SEBAGAI anak perempuan tertua, Merry kecil sudah bertugas untuk menjaga kelima adiknya di Selatpanjang. Apalagi, jarak usianya dengan adik-adiknya tidak terpaut jauh. Di mata Merry, Muljadi adalah ayah idola dan pahlawan keluarga. Pria itu digambarkannya sebagai seorang pemimpin yang adil, spontan dan memiliki intuisi yang kuat.
Saat Merry kecil juara di sekolah, ia sering berharap papinya datang mengambil rapor. Tapi, harapannya tidak pernah terkabul karena ayahnya sibuk bekerja di Pulau Cawan. ‘’Kalau Papi pulang, kami senang. Itu berarti pesta. Banyak makanan dan dapat uang jajan,’’ kata Merry Muljadi.
Sejak kecil, Merry juga sudah diajarkan arti kepercayaan dan tanggungjawab. Merry ingat, saat liburan sekolah, kenaikan ke kelas 5 Sekolah Dasar, mereka sekeluarga pergi liburan ke Singapura. Mendadak, ibunya sakit dan harus dioperasi. Saat bersamaan, Muljadi harus segera kembali ke Pulau Cawan untuk urusan pekerjaan.
‘’Saya masih ingat, papi bilang begini, hari ini papi harus pulang urusan kerja. Kamu harus di sini tunggu Mami. Kamu harus kuat. Nanti Papi balik lagi. Percayalah, Papi akan balik dalam waktu dekat,’’kata Merry, mengenang peristiwa itu.
Merry mengaku sempat takut. Maminya sedang sakit dan akan menjalani operasi. Papinya justeru malah pergi. ‘’Saya menangis-nangis. Papi jangan pergi. Ini Mami bagaimana? Siapa yang jaga Mami? Tapi, Papi terus meyakinkan saya,’’ cerita Merry.
Sejak itu, ia merasa menjadi orang kepercayaan sang ayah. Seminggu setelah istrinya dioperasi dan dirawat di rumah, barulah Muljadi datang menjemput keluarganya ke Singapura.
Sebagai anak perempuan pertama, Merry adalah tempat bercerita bagi Papi dan Maminya. Kisah pertemuan kedua orangtuanya di Tanjungpinang, hingga cerita saat Muljadi memboyong istrinya pindah ke Selatpanjang.
‘’Tinggal di Selatpanjang tak ada listrik, Papimu miskin, minum dan mandi pakai air sumur dan rumah berdinding papan. Kalau saya tidak sabar dan tidak cinta sama Papi kamu, saya sudah kabur pulang ke Pinang, ‘’ kata Merry menirukan cerita Maminya.
Kondisi ekonomi keluarganya kala itu memang sangat sulit. Sementara anak-anak masih kecil. Jarak kelahiran antara mereka juga berdekatan. Menurut Merry, Princip yang berbeda usia hanya setahun dengannya, sempat dititipkan ke mertua sang ibu di Tanjungpinang saat berusia enam bulan hingga lima tahun. Sementara saat adiknya yang lain, Mariana lahir, sang ibu sempat mengusulkan untuk diberikan kepada orang lain.
‘’Tapi ketika Papi pulang, mendengar hal itu membuat dia marah. Katanya, anak- anakku tidak boleh diberikan kepada orang lain,’’ cerita Merry.
Bagi Merry, ayahnya adalah sosok panutan. Pekerja keras dan begitu menyayangi keluarga. Sejak ayahnya sakit, pria itu menjadi tidak begitu sibuk lagi. Waktunya lebih banyak dihabiskan untuk menjalai pengobatan. Saat-saat senggang, sang ayah jadi banyak bercerita tentang perjuangannya dalam merintis usaha kepada Merry. Cerita saat berdagang bahan pokok dan kapalnya karam, misalnya.
‘’Papi yang memutuskan, membuang barang dagangan ke laut saat itu. Kalau tidak, semua awak kapal bisa mati tenggelam. Akibatnya, Papi harus membayar utang karena semua barang dagangan hilang,’’ ujar Merry.
Begitu juga kisah saat kapal Muljadi terbalik dan karam dihantam badai lagi. Ayahnya bercerita bahwa ia sempat terombang-ambing di lautan, tidak makan dan minum. Ia bertahan hidup dengan cara berpegangan di balok kayu selama dua hari dua malam.
Kenangan lain yang diingat oleh Merry adalah saat keluarganya pindah dari Selatpanjang ke Jakarta. Konsekuensinya, ia juga harus pindah sekolah. Merry mengaku sempat sulit beradaptasi di lingkungannya yang baru di kota besar Jakarta. Suasana maupun bobot pelajarannya sangat berbeda. Walaupun ia selalu menjadi juara kelas saat di Selatpanjang, Merry mengaku agak sulit mengikuti proses pembelajaran di sekolah barunya di Jakarta. Tapi sang ayah justeru menantangnya.
”Kalau kamu bisa juara, Papi belikan mobil,’’ kata Merry menirukan ucapan Muljadi.
‘’Hah? Mobil? Beneran? ‘’ Merry tak percaya.
Ternyata, saat Merry menjadi juara umum di sekolah, ayahnya menepati janji. Merry dibelikan mobil Suzuki Jimny warna merah. Padahal saat itu, ia belum bisa menyetir mobil.
‘’Dari semua anaknya, saya yang pertama dibelikan mobil. Papi selalu komit dan menepati janji,’’ ujar Merry yang kemudian memilih diam-diam belajar mengemudi dan saat di SMA sudah berhasil membawa mobil sendiri ke sekolah.
Pada tahun 1987, setahun sebelum pindah ke Singapura, sang ayah sempat bercerita padanya. Biasanya, ia ke Jakarta melalui Pekanbaru.
‘’Saat itu papi bilang tidak lewat Pekanbaru lagi, tapi lewat kota baru. Tanahnya merah semua. Pasti itu tanah emas,’’ cerita Merry menirukan Muljadi. Yang dimaksud ayahnya adalah adalah pulau Batam.
‘’Tanah merah itu karena tanah bauksit,’’ kata Merry tertawa.
Sejak lulus dari kuliahnya, Merry langsung diajak ayahnya untuk bekerja di perusahaan developernya, PT Bangun Krida Cipta Utama. Saat itu sekitar tahun 1992 dan perusahaan ayahnya sedang membangun kawasan Nagoya Newton. Beberapa tahun kemudian, sang ayah juga merambah ke bisnis galangan kapal dengan mendirikan PT Nanindah Mutiara Shipyard. Perusahaan itu juga dikelola olehnya.
Sejak Ayah dan ibunya sakit dan menjalani kehidupan di negeri jiran, Singapura, Merry justeru mengaku jadi makin sering berinteraksi dengan sang ayah. Setiap minggu, ia bolak-balik Batam-Singapura. Merry mengurus perusahaan dan juga berusaha tetap memantau kondisi kesehatan kedua orang tuanya.
Namun, sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia pada awal tahun 2020 lalu, ia berdiskusi dengan sang adik, Princip Muljadi untuk berbagi tugas.
‘’Saya bilang sama Princip, kamu di Batam dan saya di Singapura. Karena harus ada yang menjaga orangtua kita di Singapura, dan harus ada yang mengurus bisnis di Batam,” kata Merry. Saat Singapura menerapkan kebijakan lock down, meski sama-sama di Singapura, ia mengaku tak bisa bertemu kedua orang tuanya.
‘’Namun begitu, tiap hari saya menelepon,’’ katanya.
Setelah pembatasan karena Covid-19 dilonggarkan, Merry melihat kondisi ayahnya semakin menurun. Tidak ada orang yang bisa diajaknya berbicara lagi. Ayahnya menjadi sangat sedih. Tahun 2021, kondisi sang ayah semakin drop, sering keluar masuk rumah sakit.
‘’kalau saya ada apa- apa, Mami bagaimana ya?” itu yang sering diucapkan Papi. Papi sudah tua. Sewaktu- waktu Papi bisa pergi. Tapi, Papi masih khawatir sama Mami,’’ kata Merry dengan mata berkaca-kaca, Merry mengaku terus berusaha menenangkan kerisauan hati ayahnya dan meyakinkan.
’’Papi, selama saya masih hidup, selama Mami masih ada, saya akan menjaga Mami. Papi tidak usah pikirkan. Yang penting, Papi bahagia dan damai,’’ kata Mery, lalu mengajak ayahnya berdoa. Selain mengkhawatirkan istrinya yang masih terbaring sakit dan tak berdaya, sang ayah juga khawatir dengan anak-anaknya, sepeninggalnya kelak.
Sang ayah khawatir jika ia sudah tidak ada, anak-anaknya berselisih satu sama lain, walau saat itu terlihat rukun dan baik-baik saja. Merry mengaku terus meyakinkan ayahnya bahwa hal itu tidak akan terjadi di keluarga mereka. Menurutnya, nilai-nilai dan pelajaran hidup yang diajarkan kedua orangtuanya membuat kekhawatiran sang ayah mustahil bisa terjadi. Ada juga pertanyaan sang ayah menjelang akhir hayat yang diingat oleh Merry.
’’Apa yang harus kamu lakukan seandainya Papi tidak ada?’’ kata Muljadi.
Merry menjawab,’’ Pertama, saya harus menjaga Mami, setelah itu saya menjaga keluarga dan perusahaan kita. Papi percaya tidak?” jawabnya sambal balik bertanya ke sang ayah.
Mendengar jawaban Merry, ayahnya tampak lega. Sampai tahun 2022, Muljadi tidak lagi memikirkan hal-hal yang merisaukan hatinya dan mulai tenang. Untuk makin menyenangkan hati ayahnya, Merry dan seluruh saudara-saudaranya, membiasakan untuk terus berkomunikasi walau secara virtual dengan aplikasi zoom meeting atau Face Time dengan ayah mereka.
Selanjutnya : Princip Muljadi : Visinya Hebat, Perhatikan Hal Kecil dan Detil I Muljadi di Mata Keluarga– MENEROBOS WAKTU’ Sebuah Memoir: My Life Journey – MULJADI, TOKOH PROPERTY BATAM (Bagian 50)