By Irwan E Siregar – Sebuah teluk kini sedang diubah menjadi waduk. Proyek raksasa ini bisa disaksikan di Pulau Batam. Teluk Duriangkang seluas 79 kilometer persegi, disumbat mulutnya dengan urukan tanah, dipisahkan secara paksa dari bibir laut, lantas disulap menjadi waduk.
Air asin laut di dalam waduk buatan itu dibuang secara bertahap ke laut, digantikan dengan air hujan untuk mendapatkan air tawar. Panjang bendungan yang berfungsi sebagai penyumbat mencapai 23 kilometer. Menancap di dasar laut dangkal yang cuma tiga meter. Di seluruh sisi teluk akan dibangun tanggul beton.
Dinding-dinding waduk ini landai seperti biasanya struktur waduk. Bagian atas tebalnya 12 meter, dan bagian bawahnya 60 meter. Sudah hampir 900 ribu meter kubik tanah dikeduk dari bukit-bukit di sekitarnya dan dibenamkan ke laut demi tembok raksasa itu. Perbukitan ini masih terus dibongkar dan truktruk tanah masih terus saja menguruk.
Waduk Duariangkang itu dibangun untuk menjawab persoalan air bersih yang menghantui pulau Batam seluas 415 km2 itu 64% luas DKI. Kini kemampuan Otorita Batam menyediakan air bersih terbatas, 850 liter per detik. Jumlah ini tidak mencukupi kebutuhan ratusan industri, hotelhotel, dan 107 ribu penduduk Batam. Belum lagi turis asing yang belakangan membanjir ke sana.
“Pertumbuhan industri di sini ternyata lebih cepat dari yang kami perkirakan,” ujar Slamet, Pejabat Sarana Air di Otorita Batam. Pertumbuhan pesat itu tampaknya akan terus berlangsung. Pada tahun 2000 nanti Batam diperkirakan akan dihuni 700 ribu penduduk. Jumlah industri, hotel, dan sarana umum pun akan berlipat. “Kebutuhan air bersihnya mencapai empat ribu liter per detik,” Slamet menambahkan.
Waduk Duriangkang adalah jalan keluar dari masalah kesulitan air. Luas genangan Waduk Duriangkang tak sampai mencaplok tanah daratan. Namun, untuk pengoperasianya, daerah berbukit di sekitarnya seluas 56 kilometer persegi akan dibebaskan. Daerah ini nantinya tertutup bagi kegiatan pertanian, pemukiman, apalagi industri dan hotel-hotel. Curah hujan yang jatuh ke daerah penyangga ini dijamin masuk waduk.
Duriangkang merupakan waduk penampung air hujan ke 6 di Batam. Lima waduk lainnya, Waduk Baloi, Sei Ladi, Sei Harapan, Muka Kuning, dan Nongsa, ukurannya kecil-kecil. Produksi airnya cuma antara 30.310 liter per detik. Selain bakal menjadi waduk terbesar di Batam memiliki daya tampung air 62 juta meter kubik dan kapasitas 3.000 liter per detik Duriangkang adalah satu-satunya waduk yang dibuat dengan membendung laut.
Lima waduk lainnya cuma memanfaatkan cerukan-cerukan tanah. Dinding waduk itu nantinya akan menjulang delapan meter dari permukaan air laut. Semakin tinggi dinding waduk semakin banyak air hujan dapat tertampung. Air hujan yang jatuh tidak akan berbaur dengan air asin yang berat jenisnya lebih tinggi. “Air tawar akan ada di atas dan air asin di bawah,” ujar Pimpinan Proyek Duriangkang, Agus Hertanto.
Yang jadi soal adalah bagaimana membuang air asin dari waduk itu. Ini tentu saja bukan perkara mudah. Di Muangthai dan Malaysia pengeringan ini dilakukan dengan pompa. Namun, ahli-ahli Indonesia menemukan cara lain. Mereka merancang pipa-pipa yang dilengkapi dengan katup khusus.
Klep-klep ini bekerja secara otomatis dengan memanfaatkan perbedaan tinggi permukaan air waduk dan air laut. Pipa-pipa yang berjumlah 14 buah itu bergaris tengah satu meter dan dipasang menembus dinding waduk. Setengah meter masuk ke areal teluk. Katup dipasang dekat mulut pipa yang menghadap ke laut.
Pada saat permukaan air waduk lebih tinggi, katup akan membuka secara otomatis. Air asin di waduk akan mengalir keluar. Sebaliknya, jika air laut lebih tinggi, katup itu menutup. Derasnya aliran air asin melalui pipa itu berbanding lurus dengan beda tinggi permukaan air waduk dan air laut. Semakin besar selisih tinggi itu semakin besar tekanan yang terjadi, dan air asin pun bakal mengalir deras.
Menurut perhitungan para perancang, selisih tinggi 25 sentimeter saja sudah cukup untuk membuka klep dan mendorong air asin keluar waduk. Dengan curah hujan 2.000 milimeter per tahun, permukaan air waduk bakal naik dengan cepat dan air asin pun akan menyusut dengan cepat pula.
“Dalam 23 tahun air asin itu bakal terkuras habis,” kata Agus Hertanto yakin. Namun, tidak berarti persoalannya selesai. Lantai waduk itu tetap saja mengandung garam tinggi, di samping bahan-bahan organik hasil pembusukan akar dan batang pohon bakau yang terendam. Karena itu kadar garam air waduk itu nantinya diperkirakan sekitar 400 mg per liter (ppm). Angka itu jauh lebih rendah daripada kadar garam air pantai yang 2.400 ppm.
Pihak Otorita Batam punya niat menjadikan air waduk ini bisa diminum tanpa harus dimasak. Maka di sekitar waduk akan dibangun instalasi pengolahan air alias WTP (Water Treatment Plant), seperti yang dimiliki perusahaan air minum (PAM) di pelbagai daerah. Dalam WTP itu macam kotoran, bau, dan warna, dinetralisir.
Segala jenis jasad renik pencemar dilemahkan. Waduk Duriangkang ini direncanakan sejak 1985. Tapi pelaksanaanya tertunda sehingga baru mulai setahun lalu. Dibangun dengan konsultan dari Prancis. Rancangannya konon mengacu pada waduk-waduk di Jepang. Biaya keseluruhannya sekitar Rp 60 milyar.
Dalam waktu dekat katup-katup pembuangan akan difungsikan. Sementara itu, dinding-dinding waduk akan mulai dikonstruksikan. Secara keseluruhan proyek ini dijadwalkan selesai 1996. Dengan produk akhir berupa air siap minum, waduk Duriangkang itu kabarnya tidak dibuat untuk memanjakan sektor industri. Porsi yang disediakan untuk pabrik-pabrik cuma 15%. Selebihnya didistribusikan ke rumah-rumah penduduk, dan sebagian lainnya ke sektor pariwisata. Putut Trihusodo dan Irwan E. Siregar.
(Tulisan ini pernah dimuat di majalah Tempo edisi 27 Juni 1992 dengan judul : Memburu Air Tawar Menyumbat Teluk)