By Sultan Yohana –Saya ketinggalan informasi, tentang bonus melahirkan di Singapura yang naiknya, dibanding saat kami dapat dulu, naudzubillah. Mungkin karena, tidak ada urusannya lagi dengan kami sekeluarga, hingga saya ndak lagi tertarik info-info begini. Kami, pula, sudah terlalu enggan punya anak lagi. Sudah tua.
Anak terakhir kami Zak, lahir delapan tahun lalu. Itu pun, bonus dari Pemerintah ketika itu, sebesar $6.000, belum juga habis. Susah mau menghabiskan duit yang memang hanya bisa digunakan untuk kebutuhan “tertentu” si bocah. Seperti biaya bersalin, biaya sekolah, atau biaya kesehatan. Apalagi Zak, alhamdulillah, sejauh ini tidak pernah punya masalah yang membuat bonusnya tandas.
Sampai kemudian, suatu siang (23//8/2021), saat hendak naik ke apartemen tempat tinggal kami, perhatian saya tertuju pada woro-woro di layar digital yang dipasang di samping lift. Woro-woro tentang pemberian Baby Support Grant (BBG) sebesar $3.000. Untuk anak yang lahir per Oktober 2020 hingga 30 September 2022. Bonus apa lagi ini, pikir saya.
Sebelum ngomongin BBG, yang jika dirupiahkan mencapai Rp33 juta itu, saya jelaskan dulu bonus utama yang didapat setiap bayi Singapura yang lahir. Sejak tahun 2015, pemerintah membonusi anak pertama dan kedua yang lahir, sebesar $8.000. Untuk Anak ketiga dan selanjutnya, masing-masing dapat 10 ribu dolar. Angka itu jelas jauh berbeda dengan yang didapat Ken dan Zak. Ken (13 tahun) saat lahir, cuma dapat $3.000, sementara adiknya dua kali lipat lebih besar.
Ditambah aneka macam subsidi lain, plus BBG tadi, orang Singapura yang punya anak pertama, kini, bisa membawa pulang duit sebesar 17 ribu dolar. Nyaris Rp190 juta. Asyiknya lagi, tidak lagi seperti bonus anak-anak kami, bonus sekarang sebagian besar berupa duit tunai yang bisa dicairkan kapan saja. Penggunaannya pun tak lagi kudu untuk kebutuhan si bayi doang.
Jadi pingin punya anak lagi nih…, hihihi.
Tapi jangan ngiri dulu! Meskipun begitu besar pemerintah Singapura membonusi penduduknya agar mau punya anak, saya pesimis orang-orang Singapura mau punya anak. Badan statistik sini mencatat, dari tahun ke tahun angka rata-rata kelahiran bayi kian mengkhawatirkan. Jika tahun 2015 saat skema baru pemberian bonus diberikan, rata-rata angka pertumbuhan penduduk sebesar 1,640 persen. Kini tahun 2021, menukik hingga 0,960 persen. Tahun lalu, Singapura bahkan mencatat angka pertumbuhan terendah, juga 0,960 persen, plus angka kematian tertinggi. Kian habis.
Masalah rendahnya pertumbuhan ini, akan menjadi masalah yang sangat besar dalam 10 tahun ke depan. Jika angka pertumbuhan rendahnya masih seperti sekarang, diperkirkan pada tahun 2030, setiap dua orang Singapura usia aktif, akan menanggung delapan orang lanjut usia. Ini bom waktu! Bisa dibayangkan seperti apa Singapura saat itu. Ketika lebih banyak orangtua ketimbang anak muda.
Kenapa warga Singapura enggan punya anak?
Ini pertanyaan utamanya! Kenapa orang Singapura enggan punya anak? Tentu saja banyak faktor yang melatarbelakanginya. Tapi, saya ingin menjawab satu hal paling mendasar, yang saya rasakan, saya alami, saya perhatikan, saya renungi; setelah nyaris satu dekade tinggal di Singapura. Menurut saya, faktor terbesar pasangan muda Singapura enggan punya anak adalah hilangnya kebahagiaan dalam berkeluarga.
Mereka, pasangan muda Singapura, tak lagi bisa menikmati hubungan antar-keluarga. Antar-sepupu sudah tidak saling kenal. Antar adik-kakak hanya muncul relasi kewajiban tersebab karena ditakdirkan bersaudara. Saling minta bantuan seperti sebuah aib. Pendek kata, di sebuah keluarga, hubungan darah telah merenggang begitu rupa. Tidak hangat, apalagi menghangatkan.
Itu karena “kebahagiaan” terlalu distandarkan. Di luar sana. Kebahagiaan-kebahagiaan cuma dicitrakan jika Anda sekolah di sekolah favorit! Jika Anda punya mobil mewah! Jika Anda kerja di kantor mentereng! Jika Anda tinggal di kondominium swasta! Kebahagiaan jika di tubuh Anda, dari ujung kaki hingga ujung kepala; menempel barang branded semua.
Kebahagiaan jika Anda punya tubuh selangsing model! Kebahagiaan menang debat nasional! Kebahagiaan bisa finis maraton 42 kilometer! Kebahagiaan awet muda! Kebahagiaan disebut cantik/ganteng oleh rekan kerja! Kebahagiaan dari Tik-tok.
Kebahagiaan bisa komentar nyolot di media sosial, dan dilike banyak orang. Kebahagiaan terlihat religius! Kebahagiaan pamer sumbangan sekian juta! Kebahagiaan… pendek kata, semua kebahagiaan itu, telah distandarisasi sedemikian rupa.
Hingga kemudian, mereka lupa, bagiamana menemukan kebahagiaan sederhana di keluarga. Lupa yang kemudian menjadi enggan. Enggan yang kemudian berubah menjadi alergi. Jika sudah alergi, ngapain pula repot-repot harus punya anak? Punya keluarga?
Banyak orang mengkambinghitamkan biaya hidup mahal sebagai biang keladi orang Singapura enggan punya anak. Tapi bagi saya, tidak! Karena rata-rata yang memutuskan tidak mau punya anak justru pasangan-pasangan yang secara ekonomi sangat layak. Pasangan kaya-kaya. Mereka, misalnya, lebih suka memilih memelihara anjing, sekalian menyewa pembantu rumahtangga untuk mengurusi itu anjing, alih-alih punya anak.
Ternyata, tak perlu menjadi miskin untuk menunggu “bangkrutnya” sebuah negara! Maka Anda orang Indonesia, yang bahkan belum kerja pun sudah berani beranak tiga; bersyukurlah Anda-anda semua! Karena kebahagiaan terbaik, adalah bersama keluarga. Alhamdulillah! ***
Penulis : Citizen Indonesia berdomisili di Singapura. Menulis di berbagai platform, mengelola blog – ‘Rasa Singapura’
Sumber:
– https://www.madeforfamilies.gov.sg/raising-families/baby-support-grant
– https://www.income.com.sg/blog/guide-to-baby-bonus-and-cda
-http://www.singstat.gov.sg/find-data/search-by-theme/populatio/births-and-fertility/lates