By Bintoro Suryo – Sudah beberapa tahun ini pulau itu ditinggal penduduknya. Kosong tanpa penghuni. Yang ada hanya rumah-rumah tinggal sederhana yang mulai lapuk. Beberapa masih berdiri dengan kondisi yang makin rapuh. Yang lain tinggal puing tanpa atap lagi.
Di beberapa rumah penduduk yang masih utuh, barang perabot rumah tangga masih ada. Meja, tempat tidur, lemari bahkan pakaian milik warga.
Saya juga menemukan buku tuntunan mengaji yang terbuka tanpa sampul depannya lagi pada sebuah meja di salah satu rumah yang sudah ditinggalkan. Tapi semuanya dalam kondisi berantakan.
Sebuah mushala kecil yang terletak di bagian tengah, di antara rumah-rumah warga yang kosong, kondisinya juga sama miris. Atapnya nyaris rubuh.
Ada sebuah jam dinding yang tergantung di salah satu bagian dalam mushala. Sudah tidak berdetak. Jarum pendek menunjukkan di hampir angka 5. Sementara jarum panjang di angka 10. Mungkin mati saat waktu menunjukkan pukul 16.50. Atau pada 04.50 dinihari.
Data geoview.org menyebut, pulau kecil bernama Traling itu berada pada koordinat Latitude: 1°1’1.67″ dan Longitude: 104°5’47.03″.
Di hadapannya, hanya dipisahkan sebuah selat kecil berjarak kurang dari 500 meter, ada pulau lain yang lebih besar ukurannya. Orang di sekitar menyebut dengan nama pulau Sekenah. Namun di banyak situs peta online, pulau Sekenah ditulis dengan nama Sekerah. Sedikit lebih beruntung dari Traling, pulau Sekenah masih dihuni oleh 3 Kepala Keluarga (KK) saat ini.
“Sudah banyak yang meninggalkan Sekenah. Termasuk saya,” kata pak Madi yang sekarang tinggal di Teluk Lengung. Sebuah teluk kecil yang tenang dekat Telaga Punggur, Batam.
Pak Madi menjadi pemandu kami untuk mendatangi pulau Traling.
Situs kkp.go.id mendata pulau kecil bernama Traling sebagai nama saja. Tidak ada informasi lanjutan seperti ekosistem SDA, kependudukan, sumberdaya non hayati, lingkungan serta sarana prasarananya. Secara tata pemerintahan, pulau Traling disebut masuk dalam wilayah kelurahan Tanjung Piayu, Batam.
Pak Madi, pemandu kami adalah warga pulau Sekenah, dahulunya. Jarak yang begitu dekat, hanya dipisahkan selat kecil, membuat pak Madi begitu familiar dengan pulau Traling yang berada di hadapan.
“Sebelumnya ada 30-an KK yang tinggal di Traling”, kata pak Madi.
Ia tinggal di pulau Sekenah yang berada persis di depan pulau Traling hingga awal tahun 2000-an silam. Kemudian memutuskan pindah ke Teluk Lengung yang berjarak 15 hingga 20 menit perjalanan menggunakan perahu atau boat bermesin tempel dari pulau Traling.
Dulunya, jumlah penduduk di pulau Traling lebih banyak dibanding penduduk di seberang selat kecil itu.
Tapi, mengapa mereka meninggalkan pulau Traling, kemudian?
Kondisi pulau Traling
SECARA wilayah, pulau Traling dan pulau Sekenah di hadapannya masuk dalam wilayah kelurahan kampung Bagan. Pulau itu berhadapan langsung dengan daratan Batam di Tanjung Piayu Laut dan Kampung tua Bagan.
Jika kita mengikuti alur di selat kecil yang memisahkan pulau Traling dan pulau Sekenah dari arah Telaga Punggur, arahnya akan menuju ke perairan di sekitar jembatan satu Barelang.
Tak jauh dari pulau itu, kita juga bisa melihat bendungan fenomenal yang membendung perairan Duriangkang yang dulunya laut, menjadi sebuah waduk air tawar. Itu adalah bendungan terbesar di kota Batam.
Dahulunya, perairan di sekitar pulau Traling adalah perlintasan orang dan perdagangan yang strategis, saat wilayah kampung Duriangkang lama tumbuh sebagai salah satu sentra ekonomi pulau Batam masa lalu.
Kawasan Duriangkang yang sekarang menjadi waduk, sempat tumbuh sebagai perkampungan massa. Kebanyakan dihuni warga etnis Tionghoa.
Aktifitas dan hubungan antar warga di wilayah lainnya, biasa ditempuh melalui jalur perairan laut yang kini menjadi danau yang dibendung. Jalur aktifitas warga tersebut juga melintas di antara perairan pulau Traling dan Sekenah.
Sementara mulai era 1970-an, akses ke perkampungan Duriangkang lama bagi warga yang mulai mendiami wilayah Batam lainnya, juga bisa dilakukan melalui jalur darat berupa jalur setapak tanah dari seberang komplek Olahraga Temenggung Abdul Jamal masa kini.
Hingga awal tahun 90-an, perkampungan Duriangkang lama masih ada. Sejumlah fasilitas publik seperti sekolah negeri juga sempat berdiri selama puluhan tahun di sana. Warga di perkampungan Duriangkang lama pindah setelah kawasan tempat tinggal mereka dijadikan waduk oleh Otorita Batam dengan cara membendung perairan laut mulai dari kampung Bagan hingga ke wilayah Teluk Lengung.
Seiring waktu, aktifitas ekonomi warga di jalur perairan laut sekitarnya pun menyusut.
Ketinggian pulau Traling hanya 1-8 meter dpl. Secara umum, kondisi alamnya serupa dengan kebanyakan pulau-pulau kecil yang banyak terdapat di sekitar wilayah Batam, Rempang Galang hingga ke perairan pulau Bintan. Ketinggian dari muka laut yang relatif rendah menyebabkan minimnya sumber air tawar bersih di sini.
“Ada satu sumur yang biasa dimanfaatkan warga, dulu. Tapi airnya payau. Kalau hujan tak turun lebih dari seminggu, sumurnya kering,” kata pak Madi.
Tidak ada fasilitas umum apapun di pulau Traling maupun di pulau seberangnya, Sekenah, yang kini tinggal bersisa 3 Kepala Keluarga (KK) saja.
“Tidak ada puskesmas, tidak ada sekolah. Hanya itu saja, mushola itu”, kata pak Madi saat menjelaskan fasilitas umum yang ada di pulau Traling yang kini sepi.
Berbagai keterbatasan dan kondisi yang timpang dengan penduduk di pulau utama, Batam, membuat warga di pulau Traling akhirnya hijrah meninggalkan pulau kecil itu. Sebagian pindah ke kampung Bagan. Yang lain ada yang berhijrah ke Piayu Laut hingga wilayah Teluk Lengung di Telaga Punggur, Batam.
Asal Nama Traling
PENAMAAN pulau Traling disebut berasal dari nama sejenis pohon khas wilayah Kepulauan Riau yang dulu banyak terdapat di pulau itu.
Pohon Teralin. Lidah dan logat warga di sekitar perairan Batam menyebutnya sebagai Traling.
“Itu dari nama pohon, pohon Traling. Sejenis Meranti. Dulu banyak tumbuh di pulau itu,” kata pak Madi.
Ikhwal nama ‘Traling’ dalam penyebutan masyarakat di pesisir Batam yang sinonim dengan kayu ‘Teralin’, seorang penulis Belanda, Elisa Netscher dalam tulisannya Beschrijving van een Gedeelte der Residentie Riouw terbitan tahun 1853, menyebutkan persamaan ciri-cirinya.
Buku yang ditulis Netscher adalah tentang kekayaan alam Kepulauan Riau. Terutama kayu-kayunya.
Seperti dinukil dari laman Kemdikbud RI, kayu yang dihasilkan dari hutan yang ada di Kepulauan Riau, menurut Elisa, tidak kurang ada 46 jenis kayu berkualitas.
Netscher menyebutkan, laporan dari Mr. GF de Bruijn Kops, banyak lagi kayu yang bermanfaat yang ada di Pulau Lingga dan pulau lainnya di Kepulauan Riau saat itu.
“Kayu yang berkualitas tidak akan rusak diganggu semut putih dan cacing laut. Kapal-kapal yang dibuat maupun rumah penduduk utuh meskipun sudah berusia 50 tahun.”
Kata Netscher lagi, dengan banyaknya kayu yang berkualitas di Kepulauan Riau, berdampak pada kualitas rumah penduduk yang juga bagus.
“Rumah penduduk asli Melayu nampak rapi dan bagus. Kapal-kapal yang dibuat di Lingga dan Bintan berkualitas bagus.”
46 kayu berkualitas asal Kepulauan Riau, ditulis dengan deskripsi ciri-ciri. Salah satunya adalah jenis kayu ‘Teralin’.
Warnanya disebutkan kemerahan dengan serat yang agak kasar. Biasa digunakan sebagai alas dek kapal dan bahan membuat rumah bagi warga di Kepulauan Riau pada masa itu.
“Biasa untuk bahan membuat perahu, sama seperti Meranti. Tapi sudah sulit menemukan jenis kayu itu lagi di sekitar sini sekarang,” ungkap pak Madi.
Penjelasannya soal kayu Traling hampir sama dengan penjelasan soal kayu Teralin yang disampaikan Elisa Netscher dalam tulisannya yang terbit tahun 1853 silam.
(*)
Penulis : Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Artikel dan konten lain dari penulis, bisa disimak juga di blog : bintorosuryo.com