By Socrates-Air merupakan kebutuhan pokok manusia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan, kebutuhan air bersih setiap orang adalah 86 liter/hari. Batam kota pulau yang berkembang pesat. Kebutuhan air bersih, juga meningkat cepat. Akibatnya, krisis air bersih selalu mengancam warga kota pulau yang mengandalkan waduk tadah hujan ini.
Ancaman krisis air ini sangat terasa, ketika operator air bersih swasta, menggilir suplai air bersih alias rationing. Warga beramai-ramai memburu drum dan tong untuk menyimpan air. Jumlah penduduk Batam tahun 2020 adalah sebanyak 1.196.000 jiwa. Data terbaru pelanggan air bersih adalah 228.900 pelanggan, yakni 196.000 pelanggan domestik, 2.900 pelanggan industri dan 30.000 pelanggan komersil.
Kebutuhan air bersih warga Batam, tergantung persediaan air di beberapa waduk tadah hujan. Ketika curah hujan rendah, air waduk susut. Sudah dua kali pula, dampak badai El Nino menjadi terdakwa kondisi air baku yang parah, yakni tahun 1997 dan terulang tahun 2015 silam. Padahal, El Nino adalah fenomena alam yang lazim terjadi sejak berabad-abad silam.
Mari kita lihat kondisi dam atau waduk yang menjadi andalan sumber air baku bagi warga Batam. Dam pertama di Batam adalah Dam Baloi, yang dibangun Otorita Batam tahun 1977. Dam berkapasitas 30 liter/detik ini menjadi sumber air bersih bagi warga Pelita, Jodoh, Nagoya dan sekitarnya.
Tapi kini, Dam Baloi tinggal kenangan. Tahun 2012 dam ini stop beroperasi karena tercemar deterjen, kromium, kadmium, dan timbal alias logam berat yang sudah terlampau tinggi. Permukaan dam tertutup eceng gondok. Sekeliling dam dipenuhi rumah liar yang merusak daerah tangkapan air.
Tahun 1978, Otorita Batam membangun dua dam sekaligus. Dam Sei Harapan berkapasitas 60 liter per detik dan Dam Nongsa 210 liter per detik. Seperti halnya dam Baloi, kedua dam ini menyuplai air bersih untuk kawasan Sekupang dan Batubesar.
Tahun 1985, Otorita Batam membangun dam keempat, yakni Dam Sei Ladi berkapasitas 240 liter per detik. Empat tahun kemudian, dibangun lagi Dam Mukakuning dengan kapasitas 310 liter per detik dan mulai beroperasi tahun 1991.
Tahun 1992, perencanaan pembangunan waduk keenam, yakni Dam Duriangkang pun dimulai. Dam Duriangkang yang dibangun PT Bangun Cipta Kontraktor itu, direncanakan selesai tahun 1995. Tapi, prosesnya berjalan lamban, baru selesai tahun 1997 dan menenggelamkan sebuah kampung. Sebelum beroperasi, ratusan warga nekad bermukim di kawasan itu. Air waduk pelan-pelan naik, dikhawatirkan menjadi kasus Kedungombo kedua.
Dam Duriangkang dibangun dengan cara membendung sejumlah muara sungai. Antara lain, Sungai Pancur, Sungai Beduk, Sungai Tongkang dan Sungai Ngedan. Sungai-sungai tersebut termasuk daerah aliran sungai (DAS) Duriangkang seluas 79 km2 dan bermuara di Laut Cina Selatan.
Jadi, tidak heran kalau pengaruh air laut merembes sampai 12 kilometer ke hulu sungai Duriangkang dan masuk ke waduk. Air laut dibendung sehingga menggenang di waduk, lalu dilakukan proses pencucian (flushing) secara alamiah dengan air hujan untuk mengurangi kadar garam air laut
Dengan luas daerah genangan 23,4 km2, dam Duriangkang menjadi dam terbesar di Batam. Kapasitas tampungnya mencapai 107 juta meter kubik. Saat ini, Dam Duriangkang menyuplai 70 persen kebutuhan air bersih warga Batam.
Dam tersebut memiliki panjang 952 meter, tinggi 10 meter, dan lebar 11 meter dengan luas daerah tangkapan air mencapai 7.259,10 hektar, luas permukaan 1.284,20 hektar, luas genangan 874 hektar, dengan kemampuan abstraksi air baku mencapai 3.000 liter/detik. Untuk membendung muara sungai Duriangkang, digunakan tanggul pilot dyke sampai elevasi + 4 meter low spread water (LSW) sebagai bendungan utama
Satu waduk lagi, yakni dam Tembesi yang dibangun sejak tahun 2008, sampai saat ini masih belum bisa digunakan untuk menambah suplai air baku. Padahal, diperkirakan Dam Tembesi memiliki kapasitas air sebesar 600 liter per detik.
Batam memiliki tujuh waduk, satu sudah tutup. Namun, semua waduk itu bermasalah. Air waduk terus menyusut. Sebut saja Dam Sei Harapan dan Dam Nongsa. Kapasitas tampungnya turun 30 persen. Sejak dibangun, dam ini belum pernah dikeruk dan semakin dangkal.
Kerusakan lingkungan akibat pembabatan hutan, pembalakan liar, tambang pasir ilegal, pemberian alokasi lahan perumahan dekat waduk sehingga tercemar limbah rumah tangga, ketidakpedulian masyarakat terhadap lingkungan dan daerah tangkapan air (cachtment area) menjadi daftar panjang, menurunnya kuantitas dan kualitas air baku di Batam.
Sedimentasi juga berpengaruh terhadap operasional dan umur berfungsinya waduk. Kapasitas tampung waduk akan berkurang dengan adanya sedimentasi. Penyebabnya antara lain, erosi dan ekploitasi lahan di kawasan tangkapan air.
Laju erosi di sejumlah waduk disebabkan antara lain, alih fungsi lahan, hutan yang berubah menjadi kawasan pemukiman, atau areal pertanian tanaman semusim seperti sayuran di tepi waduk. Siapa yang harus menjaga waduk? Otorita Batam atau BP yang tercantum dalam perjanjian konsesi selama 25 tahun.
Siapapun yang mengelola air bersih di Batam nanti, apakah diserahkan ke swasta, atau dikelola BP Batam melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) Air seperti dulu, sumber air baku tetap harus jadi prioritas. Sebab, kalau air baku tidak ada, sama saja seperti rumah tangga yang tidak punya beras.
Swastanisasi Air
Batam sudah memulai privatisasi air sejak 15 November 1995 saat Otorita Batam memberikan kosesi kepada PT Adhya Tirta Batam (ATB) selama 25 tahun dan berhak mengolah dan menyalurkan air kepada pelanggan hingga tahun 2020. ATB adalah perusahaan air swasta pertama di Indonesia.
Ini bisa terjadi lantaran Habibie mengeluarkan surat persetujuan izin prinsip tanggal 3 Juni 1994 kerjasama dengan konsorsium tiga perusahaan yakni Biwater International Ltd, PT Bangun Cipta Kontraktor dan PT Syabata Cemerlang. Ketiga perusahaan inilah pemegang saham ATB.
Tahun 2001, PT Syabata Cemerlang menjual 10 persen sahamnya, masing-masing 5 persen kepada Biwater International Ltd dan PT Bangun Cipta Kontraktor.
Biwater kemudian diakuisisi oleh Cascal dari Inggris. Belakangan, saham PT ATB dikuasai masing-masing oleh PT Bangun Cipta Kontraktor dengan Cascal BV anak perusahaan Biwater Limited masing-masing 50 persen. Tahun 2010, Cascal pun diakuisisi Sembcorp, perusahaan asal Singapura.
Yang perlu dicatat, saat konsesi disetujui, ada beberapa syarat dari Habibie. Antara lain pengelolaan air bersih dengan sistim Built Over Transfer (BOT). Tarif bersaing dengan Singapura. Kualitas air dan pelayanan sama dengan Singapura. Harga air baku yang dibeli dari Otorita Batam, harganya sama dengan yang dibeli Singapura dari Johor dan Pulau Bintan. Dan Otorita Batam punya saham 20 persen.
Selama masa konsesi 25 tahun itu, beberapa kali muncul masalah. Antara lain, ketika ATB menaikkan tarif air bersih sampai 30 persen, tahun 2007 yang menimbulkan gejolak dan kontroversi di tengah masyarakat.
Masalah air mati, dari dulu sampai hari ini jadi masalah klasik. Keluhan tidak hanya datang dari konsumen rumah tangga, tetapi juga dari kalangan pengusaha, yang terpaksa membeli air yang diambil dari parit, lalu dijual pakai drum dan lori.
Selain itu, juga terungkap kebocoran komersial yang dialami ATB. Modusnya beragam. Mulai dari per-mainan pem-bacaan angka di meteran –air mengalir tapi uangnya tidak masuk– kongkalikong billing atau tagihan pelanggan hingga dibawa kaburnya uang setoran kios air.
Meteran dimainkan dengan cara pengukuran air yang terpakai tidak te-pat, segelnya dibuka atau dicolok jarum dan dipasangi magnit. Meteran yang menunjukkan angka lima digit, bisa dijadikan empat digit dan ini berpengaruh be-sar pada jumlah tagihan. ang di-mainkan untuk pelanggan de-ngan tarif kelas 3A dan 4B ke atas, yakni ruko, pabrik dan hotel.
Tanggal 15 November 2020 pengoperasian dan penyelenggaran Sistem Pengelolaan Air Minum, diserahkan kepada PT Moya Indonesia, yang dipilih BP Batam sebagai mitra. PT Moya Indonesia memenangkan tender terbuka yang diikuti , PT ATB, PT Moya Indonesia, PT Pembangunan Perumahan Infrastruktur (PP Infrastruktur) dan PT Suez Water Treatment Indonesia. Namun, ATB mengundurkan diri. Suez yang tak melengkapi dokumen.
Siapa dan bagaimana PT Moya Indonesia yang menggantikan PT Adhya Tirta Batam? PT Moya Indonesia adalah bagian dari Moya Holding Asia Ltd yang terdaftar di bursa saham Singapura, milik konglomerat Anthoni Salim. Mayoroitas sahamnya, 73 persen dikuasai Tamaris Infrastructure.
Moya Indonesia Holding (Moya) melalui anak usahanya PT Moya Indonesia, Acuatico Pte Ltd dan OBOR Pte Ltd memiliki dan mengopersikan delapan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di PT Moya Bekasi Jaya, PT Moya Tangerang, PT Aetra Air Jakarta, PT Aetra Air Tangerang, PT Acuatico Air Indonesia, PT Air Semarang Barat, PT Traya Tirta Cisadane, dan PT Tirta Kencana Cahaya Mandiri.
Operator air bersih di Batam sudah berganti. Namun, ada 2.700 pelanggan berada di titik kritis, tidak mendapat suplai air bersih 24 jam. Ini karena lokasi pelanggan di ujung pipa dan elevasi tinggi. Air mati satu jam, perlu waktu dua hari baru mengalir lagi.
Jauh sebelum konsesi berakhir, bisnis air bersih di Batam sudah jadi incaran perusahaan lokal dan multi nasional. Tidak kurang 24 perusahaan mendaftar ikut tender.
Apakah hanya air yang diincar dan meraup keuntungan dari kenaikan tarif pada pelanggan? Ternyata tidak. Menurut makelar yang mati-matian memperjuangkan perusahaannya lolos dalam lelang SPAM Batam ini, rencana menjadikan waduk-waduk di Batam sebagai pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) sehingga tender air ini jadi makin seksi.
Batam punya delapan dam atau waduk. Dam Duriangkang, Mukakuning, Sei Harapan, Sei Ladi, Nongsa dan Tembesi. Sedangkan waduk Baloi rusak an waduk Sei Gong belum beroperasi. Nah, di waduk Duriangkang, bakal dibangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berkapasitas 2,2 GWp terbesar di dunia, kerjasama BP Batam dan SunSeap Grup, Singapura.
PLTS terapung lain juga akan dibangun di Waduk Tembesi, dengan daya 333 megawatt. Di waduk Tembesi, BP Batam bekerjasama dengan PT TBS Energi Utama (Toba), anak perusahaan group PT Toba Sejahtera.
Pemenang tender air bersih di Batam berharap dapat bagian kerjasama dalam proyek PLTS itu dengan sistem fotovoltaik terapung floating photovoltaic system (FPV) dan sistem penyimpanan energy storage system (ESS) di atas Waduk Duriangkang dengan nilai proyek Rp29 triliun.
Belum ada hasil kajian dampak PLTS terapung ini terhadap ekosistem waduk, limbah silikon dan dampak lingkungan lainnya. Yang harus jadi catatan, pengakhiran konsesi dengan ATB selama seperempat abad itu juga tidak berjalan mulus, terutama soal asset dan pajak air permukaan.