By Sulton Yohana – Papan kayu berukir huruf China dan alfabet berwarna emas itu tampak begitu tua, lusuh, dan kumuh. Penuh debu dan jelaga. Tampaknya sudah teramat sangat lama tidak dibersihkan. Bertengger begitu saja di atas pintu masuk kedai tua yang Sabtu (15/10/2022) pagi itu, kehabisan tempat duduknya.
Full pengunjung. Seorang lelaki sepuh, duduk di kursi plastik merah tepat di depan kedai, terlihat asyik merokok. Sesekali, meludah ke selokan di belakangnya. Seputung rokok yang telah habis dia isap, enak saja dibuang di selokan yang sama.
Pagi itu, sarapan di kedai tua itu, di kampung lama 10 North Bridge Road itu, serasa tidak berada di Singapura.
Atau mungkin, begini Singapura tahun 70an?
Nama kedainya, Heap Seng Leong. Saya dan istri Sabtu tadi, menyempatkan “ngandok” di sana, seusai memberesi urusan paspor di Kantor Imigrasi Singapura. Kedai itu, jaraknya memang sepelemparan batu dari kantor Imigrasi di daerah Lavender.
Urusan paspor saya, sebentar saja beres, tak sampai 10 menit. Juga gratis. Mengingat jauh sebelumnya kami sudah membuat janji on-line. Begitu datang, nomor antrian kami sudah terpampang di layar tivi. Wat-wet-wat-wet, lewat komputer, petugas Iskak segera menemukan masalah di paspor saya, dan segera memberesinya.
“Sekarang, paspor anda sudah terigestrasi (dengan sistem Singapura),” katanya.
Lega dengan urusan paspor, berikutnya mengurus perut yang belum terisi sarapan. Istri pun mengajak saya ke kedai legendaris di daerah tersebut.
Heap Seng Leong memang legenda yang masih bertahan. Kedai ini didirikan pada tahun 1974, dan kini diurus oleh generasi kedua. Bertahan di antara gempuran food-court dan cafe-cafe modern yang menjamur hingga ke nadi hidup terdalam warga Singapura.
North Bridge Road sendiri letaknya tak jauh dari Kampung Glam, daerah Kampung Arab yang beken dengan Masjid Sultan itu. Jika Anda punya kaki-kaki yang cukup kuat, Anda akan dengan mudah jalan kaki dari Stasiun MRT Bugis ke kedai itu.
Tak hanya tampilan luar kedai Heap Seng Leong yang kumuh. Di dalam malah terasa “tidak Singapura” sekali. Meja-kursi tak ada rapih-rapihnya. Tembok-temboknya kotor berjelaga, dengan hiasan beberapa foto berbingkai ala kadarnya serta tempelan tanda larangan ini-itu yang semuanya penuh lapisan jelaga.
Tembok-tembok itu, seperti puluhan tahun tidak dicat ulang. Meja kasir yang ala kadarnya, penuh dengan toples-toples dan botol tua. Sebuah telepon tua oranye yang ada di antaranya, kulkas, tangga, lemari, yang semuanya diletakkan begitu saja, kian membuat semak pemandangan di sana.
Tiga kipas angin gantung yang selalu berderit-derit, gagal mengusir asap dari tungku arang yang dengan sadisnya mengurapi seluruh ruangan kedai. Menciptakan udara sumuk nan menyesakkan dada. Bahkan hingga empat jam setelah “ngandok” di warung tua itu, tenggorokan ini masih gatal terganjal aroma asap dari arang.
Marung di sana, seperti marung bukan di kedai Singapura yang biasanya selalu nyaman, ber-AC, higienis, dan tertata rapih.
Pembakaran arang memang menjadi ciri khas kedai yang khusus menyediakan roti panggang serta aneka minuman itu. Roti-rotinya, dipanggang di atas tungku arang. Yang kemudian, dengan cekatan dan tanpa apa pun segala macam aturan tentang higienis standar Singapura, si pemilik bersama istri secara terbuka meracik pesanan pengunjung dengan tangan telanjang.
Meracik kopi O, milo panas, roti panggang kaya-butter, telur setengah matang, dls. Yang khas dan paling beken dari kedai itu adalah kopi mentega-nya. Gu you namanya. Racikan antara kopi dan condensed milk, yang kemudian dijatuhi sepotong mentega. Mentega itu akan meleleh, menciptakan rasa sedikit pahit yang buttery, dan berhasil menelan rasa eneg yang biasa dihasilkan condensed milk. Tidak ada gula untuk racikan ini.
Kami memesan masing-masing segelas kopi mentega dan sepiring roti kaya-butter. Harganya 5 dolar 40 sen. Setelah menikmati semuanya, saya merasa tidak ada yang istimewa dari menu yang kami nikmati.
Banyak kedai-kedai serupa yang menjual menu lebih enak. Namun, yang saya heran, pengunjungnya begitu bejibun, antrian mengular. Necis-necis pula pengunjungnya. Saya butuh antri hingga 30 menit, untuk sekedar bisa dilayani. Itupun saya beruntung karena datang lumayan pagi. Setelah saya, antrian kian mengular.
Yang datang tak hanya orang lokal. Tepat di belakang saya, dua pemuda dari Jakarta, yang tampaknya tahu kedai itu dari internet. Begitu keduanya berhasil mendapat pesanan, salah satunya kemudian mengeluarkan kamera mirrolessnya. Memotret plus merekam. Selain dua traveler asal Jakarta itu, dua meja lainnya juga diisi oleh sekeluarga Indonesia.
Kian lama duduk, dada kian sesak oleh asap pembakaran arang. Juga bersumber dari kompor penggorengan epok-epok yang menyewa tempat di sana. Saya meminta istri bersegera menghabiskan makannya agar tenggorokan saya tidak kian sakit oleh sumuk dan asap di dalam kedai. Tak sampai sepuluh menit kami menyikat habis pesanan kami.
Untuk segera pergi sambil menyimpan keheranan dalam hati: ini kedai meski tidak ada istimewanya, TAPI ya begitulah Gusti Allah! Bekerja semau-mau-Nya. Memilih siapa pun untuk dibanjiri rejekinya.
Eh…, ada tapi juga! Jika Anda ingin banjir rejeki, tentu saja butuh usaha yang tak kalah “banjirnya”. Pemilik kedai Heap Seng Leong, saya yakin, telah berjuang sedemikian keras untuk bisa berada pada status LEGENDA mereka. Status yang tidak begitu saja jatuh dari langit.
(*)
Penulis : Sulton Yohana, Citizen Indonesia berdomisili di Singapura. Menulis di berbagai platform, mengelola blog – ‘Rasa Singapura’