By Sultan Yohana – Saridewi binti Djamani jadi buah bibir di Singapura. Di akhir pekan Juli 2023 ini. Perempuan yang meregang nyawa di tiang gantungan, tempat ketika usianya 45 tahun. Ia diputus hukuman mati oleh pengadilan Singapura, karena punya 30,72 gram heroin murni yang akan diperjual-belikan.
Meskipun ia mengaku itu narkoba, dipakainya sendiri. Dua puluh tahun silam, tepatnya, 19 Maret 2004, seorang perempuan pekerja salon, Yen May Woen, juga tewas di tiang gantungan, setelah pengadilan menyatakan bersalah atas kepemilikan 30.16 gram heroin murni.
Cuma tigapuluh gram, dan dihukum mati?
Ya, begitulah kerasnya undang-undang di Singapura menyangkut narkoba. Khusus untuk heroin, setiap orang yang memiliki atau menjual heroin lebih dari 15 gram, sudah bisa dihukum mati. Untuk ganja, batas minimal hukuman mati, jika seseorang memiliki setengah kilo atau lebih.
Kerasnya hukuman ini, saya yakin menjadi penyebab sangat minimnya kasus narkoba di Singapura. Dua hari sebelum Saridewi digantung, terpidana narkoba lainnya, Mohd Aziz Bin Hussain, juga tewas di tiang gantungan.
Seluruh dunia protes, seluruh dunia mengutuk Singapura; tapi hukuman mati tetap jalan terus.
Narkoba? Saya tidak pernah bisa mempercayai orang yang memakai narkoba, pecandu narkoba. Saya punya banyak kawan karib, yang terjerat narkoba. Terutama ketika saya masih tinggal di Malang.
Dulu, bahkan, kerap saya diajak kawan-kawan itu, menghadiri “pesta” narkoba yang mereka lakukan. Menyuntik, menghisap; dengan apa pun jenis narkoba. Saya tak pernah sedikitpun tertarik mencoba-coba narkotika itu. Saya memilih minum saja. Saya tahu, benda-benda itu bukan “kelas” saya untuk memainkannya. Terlalu mahal bagi saya. Terlalu beresiko.
Di Indonesia, terutama di lingkungan yang saya akrabi, nyaris semua pecandu narkoba datang dari kalangan menengah ke atas. Juga berpendidikan cukup. Hampir tidak ada pecandu berlatarbelakang melarat seperti saya. Saya ingat, karib saya yang menggadaikan motor Suzuki Satria barunya cuma seharga Rp350 ribu, hanya karena kepepet duit untuk membeli sebungkus putau. Padahal harga itu motor, ketika itu sekitar Rp20 juta. Sebuah angka yang ketika itu bisa dipakai naik haji. Ia memang anak seorang petinggi perusahaan negara.
Kawan saya yang lain yang anak seorang mantan jaksa, kerap datang ke saya dan terus menerus berjanji untuk menghentikan kebiasaan buruknya memakai narkoba. Itu terjadi setiap kali ia punya masalah, entah masalah dengan keluarga, atau masalah keuangan.
Tapi hingga kami tak lagi pernah bertemu, dari kawan-kawan yang lain, saya mendengar ia masih memakai narkoba. Lebih tragis bahkan, ada karib saya yang “menjual” istrinya sendiri, hanya karena barang lakhnat itu.
Lihat lah Slank, yang pernah menjadi “ikon” narkoba itu! Semua anggotanya anak-anak orang kaya, dan sialnya, di antara mereka ndak pernah ada yang tertangkap (kenapa???) Penggerebekan pun kerap dilakukan di diskotik, di rumah-rumah mewah.
Pecandu narkoba Singapura berbeda. Sebuah lokasi rawan penyalahgunaan narkoba kerap ada di “lingkungan miskin”. Pemakainya juga kebanyakan orang-orang miskin yang saya yakin, memakai narkoba karena ingin “terbebas” dari derita kemiskinan.
Orang-orang ini, yang terjerat oleh lingkungan buruk antara pergaulan salah dan kemiskinan; menjadi ladang subur penyalahgunaan narkoba. Nyaris semua kasus narkoba di Singapura, diawali dari kondisi keluarga yang berantakan. Perceraian, ndak mau sekolah, malas bekerja; ini adalah bibit-bibit yang kerap menjadi penyebab orang Singapura memakai narkoba.
Sekitar lima blok dari apartemen tempat tinggal saya, ada sebuah “lingungan miskin”. Apartemen yang kebanyakan disewakan pemerintah (dengan harga murah). Kebetulan sekolah TK bungsu saya di sana. Beberapa kawan bungsu saya, berlatarbelakang demikian. Saya bisa membedakan anak-anak yang tumbuh dengan banyak masalah di rumah mereka.
Dari aura pemukimannya saja, kita bisa langsung merasakan itu lingkungan “berbeda” dengan lainnya. CCTV begitu banyak dipasang, melebihi apartemen umumnya. Sampah berserakan, putung rokok dan botol-botol minuman keras ada di mana-mana sudut pemukiman. Polisi banyak patroli di sana, dan beberapa kali saya melihat insiden penangkapan, yang entah karena apa kasusnya.
Kerapkali ketika menjemput sekolah si bungsu pada siang hari, sekalangan warga tengah asyik berpesta minuman keras. Di ruang terbuka. Dari tempat-tempat seperti inilah, polisi Singapura kerap menangkap para pecandu narkoba.
Terlepas dari pro kontra hukuman mati di Singapura, saya menganggap hukuman mati lebih pantas diberikan kepada penyalahguna (terutama pengedar) narkoba di Indonesia. Orang-orang miskin di Singapura yang terjerat narkoba, lebih memerlukan uluran tangan dan bimbingan, ketimbang ancaman-ancaman hukuman mati.
Berita protes tentang eksekusi mati di Singapura, bisa dibaca di sini:
(*)
Penulis/ Vlogger : Sultan Yohana, Citizen Indonesia berdomisili di Singapura. Menulis di berbagai platform, mengelola blog www.sultanyohana.id