By Bintoro Suryo – Perairan pulau ini masih jadi perlintasan orang. Dari dulu hingga sekarang. Namun, tak banyak yang tinggal di sini. Data kelurahan setempat menyebut hanya ada sekitar 300 Kepala Keluarga (KK) yang terbagi di 3 Rukun Warga (RW) dan 9 Rukun Tetangga (RT) yang mendiami wilayah kelurahan Pulau Ngenang.
“Kalau di pulau Ngenang sendiri, cuma ada 1 RW dan 4 RT, selebihnya ada di pulau lain di sekitar Ngenang yang tergabung dalam wilayah kelurahan pulau Ngenang,” ujar Roslan, seorang warga asli di sini.
Saya mengunjungi wilayah ini beberapa hari kemarin. Dari pelabuhan rakyat di Punggur lama, ada transportasi boat pancung yang bisa digunakan. Jaraknya juga tidak begitu jauh dari pinggir daratan utama pulau Batam itu.
Tapi, hujan deras dan badai menghantam kami, sesaat setelah tekong mulai mengarahkan pancungnya menjauh dari daratan Batam. Gelombang yang tiba-tiba besar dan hantaman air hujan, seperti menghempas-hempas perahu boat kami yang melaju dengan kecepatan lumayan tinggi.
Cuma 15 menit. Begitu boat pancung yang kami tumpangi mulai mendekat di pulau itu, hujan tiba-tiba mereda.
Walau terletak di jalur perlintasan orang di perairan Batam-Bintan, kehidupan orang-orang di sini ternyata tetap bersahaja.
Memang, ada jejak pembaharuan. Seperti misalnya pelabuhan ponton tempat kami berlabuh yang kini sudah dibeton. Juga jalur yang mengelilingi pulau ini yang sudah disemenisasi sejak beberapa tahun lalu. Selebihnya, mereka hidup dalam suasana tenang di pulau yang masih alami.
Warga pulau Ngenang mungkin beruntung. Sekarang, lurahnya adalah putera asli pulau itu yang tahu detil kebutuhan dan kesulitan warganya. Namanya Hendri La Abdul Pattah. Belakangan saya baru tahu, ternyata beliau kakak kelas saat saya bersekolah di SMANSA Batam puluhan tahun lalu.
Beruntung karena sebelumnya, warga di sini mendiami wilayah yang berstatus desa selama puluhan tahun. Mereka selalu dipimpin oleh orang yang mereka pilih sendiri dan dipercaya mengelola tata pemerintahan di pulau kecil itu dan sangat mengerti warganya.
UU Otonomi mengharuskan wilayah itu berubah status jadi sebuah kelurahan dengan pimpinan seorang lurah yang ditunjuk oleh pemerintah Daerah setempat sejak awal dekade 2000-an silam.
“Saya Lurah kesekian yang memimpin kelurahan ini sejak beberapa tahun lalu, kebetulan saya putra asli pulau ini, kelahiran di sini”, kata Hendri.
Filosofi Ngenang
Ini pulau yang punya jejak sejarah panjang sejak dulu. Pulau kecil yang terletak pada koordinat 1°0’41″N 104°10’5″E itu, jadi persinggahan orang sejak zaman kesultanan Melayu.
Terletak persis di antara pulau Batam dan Bintan, perairan di depan pulau ini cukup aman dilalui pada segala cuaca karena berada di antara gugus pulau-pulau kecil lain di sekitarnya.
Persis di depan pulau Ngenang, kita bisa melihat pulau kecil lain yang biasa disebut pulau Seberang. Dulu, pulau itu kosong. Sejak dekade 80-an, mulai dihuni oleh kelompok suku laut yang awalnya hidup secara nomaden, berpindah dari satu perairan ke perairan lain di wilayah Kepulauan Riau dengan perahu sebagai rumah tinggal mereka.
“Dulu ada program dari Bu Dar (Sri Soedarsono/ istri kepala Badan Pelaksana Daerah Industri pulau Batam, pen) yang coba membantu warga suku laut yang banyak di sekitar perairan ini,” kata Hendri menyebut upaya meningkatkan perikehidupan warga suku laut sekitar dekade 80-an silam.
Mereka diberi rumah di pulau-pulau sekitar Batam, diberi pelatihan tentang perikehidupan baru yang selama ini tidak mereka ketahui tentang kehidupan menetap di darat.
Banyak pulau di sekitar Batam yang kemudian dijadikan tempat baru bermukim orang-orang dari suku laut yang juga dikenal sebagai orang sampan atau orang Tambus dalam program itu.
Salah satunya di pulau Seberang yang berada di hadapan pulau Ngenang ini.
Persis di belakang pulau seberang, ada pulau Tanjung Sauh yang beberapa tahun ke depan, mungkin akan segera berubah wajah. Dari pulau alami menjadi lebih berdinamika karena menjadi salah satu tapak jembatan Batam-Bintan. Ngenang akan menjadi lebih terbuka secara publik.
“Sebutan Ngenang diambil kata kenangan, mengenang,” kata Taufik seorang tetua di sini yang juga menjabat sebagai ketua LPM Kelurahan pulau Ngenang.
Hendri mengenalkan Taufik kepada kami. Sama seperti Hendri, Taufik adalah warga asli pulau Ngenang.
Menurutnya, ada beberapa versi cerita tentang penamaan pulau kecil ini. Satu cerita menyebut tentang kedatangan serombongan bangsawan berjumlah 8 orang ke wilayah ini dalam perjalanan dari Tumasik (Singapura, pen) menuju Daik, Lingga.
Mereka sempat singgah di pulau ini dan kemudian diserang oleh sekawanan bajak laut. Sempat terjadi pertempuran.
Setelahnya, kelompok bangsawan itu menceritakan pengalaman mereka di pulau kecil itu ke rekan dan kerabat mereka. Karena terkenang dengan peristiwa itu, mereka pun menyebut pulau kecil di perlintasan Batam-Bintan itu sebagai pulau Ngenang, diambil dari kata ‘Mengenang’.
“Filosofinya terkenang dengan pulau ini,” kata Taufik.
Tak salah dengan filosofi itu. Pun sampai masa kini Rasanya, orang luar yang singgah atau berkunjung ke Ngenang, akan selalu terkenang dengan kondisi alami, keindahan dan keramahan warganya.
Ya, warga di sini ramah-ramah. Sepanjang perjalanan menyusuri pulau Ngenang dengan diantar sepeda motor oleh warga bernama Roslan, saya kerap disapa hangat. Paling tidak, mendapat senyum ramah dari mereka.
Tenun, Batik dan Industri Rumahan
Di bagian lain dari pulau ini, saya dibawa Roslan ke sebuah rumah tenun. Ada Suhana yang ternyata istrinya dan menjadi penggerak kegiatan menenun kain di sini.
“Kami cuma punya satu alat tenun saat memulainya tahun 2018 lalu, tidak ada satu pun dari kami, ibu-ibu di sini yang tahu bagaimana cara menenun” kata Suhana mengenang cerita 4 tahun lalu.
Suhana berkisah, awalnya ada 5 ibu rumah tangga di sini yang mengikuti program pelatihan menenun yang diinisiasi oleh pihak kelurahan pulau Ngenang dan Dekranasda kita Batam.
“Saya orangnya selalu ingin tahu, ingin mencuba. Tak ada cerita tak bisa jika belum mencuba”, kata Suhana dengan dialek Melayu-nya yang kental.
Sama halnya dengan ibu rumah tangga lain di pulau ini, sebelum mengenal kegiatan menenun, mereka hanya IRT biasa yang berkegiatan sehari-hari di dapur. Sesekali ikut ke laut membantu Pendapatan suami mereka.
Dari satu alat tenun, kini kelompok ibu rumah tangga (IRT) di sini sudah memiliki beberapa alat tenun. Jumlah Anggota penenun yang terlibat juga sudah mencapai 15 orang. Tidak hanya IRT saja, beberapa remaja wanita juga mulai terlibat di kegiatan yang mulai menjelma jadi industri rumahan masyarakat di Ngenang.
“Sekarang, lumayan banyak pesanan yang datang ke kami. Rata-rata bentuk kain songket dengan motif yang berasal dari pulau ini sendiri. Ide-nya suka datang dari suami saya (Roslan, pen) atau dari pak Lurahnya yang sekarang (Hendri, pen). Kadang dari ibu-ibu penenun juga”, kata Suhana.
Walau diproduksi di pulau kecil yang sering kali terhambat infrastruktur dan informasi, nyatanya produk mereka sudah berhasil menembus Australia hingga ke wilayah Timur Tengah.
“Alhamdulillah, ada perubahan dari sisi pendapatan keluarga untuk kami”, lanjutnya.
Kelompok IRT di pulau Ngenang, ternyata tidak hanya memproduksi kain tenun saja. Beberapa kelompok juga memproduksi sirup tanpa pengawet, minyak telon, minyak gamat (minyak yang berasal dari teripang untuk urut, pen) hingga kuliner khas pulau Ngenang yang sudah dikemas. Namanya ‘Tai Minyak’.
Walau namanya agak nyeleneh, tapi rasanya enak. Itu merupakan jenis kuliner yang dihasilkan dari intip hasil produksi minyak kelapa yang diolah dengan bumbu-bumbu dari resep tradisional masyarakat di pulau ini.
Tak jauh dari lokasi tenun, ada lagi kelompok ibu-ibu yang aktif menggeluti pembuatan batik. Sehari-hari mereka menggunakan gedung serbaguna yang bersebelahan dengan rumah lurah pulau Ngenang untuk memproduksi aneka kain batik. Ada yang bermotif umum. Tapi banyak juga yang bermotif asli, hasil kreasi warga di sini.
Industri rumah batik di Ngenang yang bernama ‘Batik Ngenang Mandiri’ ini juga sudah menerima pesanan untuk seragam sekolah.
“Kami membuat dua jenis batik di sini, ada yang jenis batik tulis dan juga batik motif cetakan”, kata Norlis, wanita yang didaulat oleh ibu-ibu di sini sebagai ketua usaha batik di Ngenang.
Tiap hari selama beberapa jam, ibu rumah tangga yang tergabung dalam ‘Batik Ngenang Mandiri’ menyempatkan waktu untuk terlibat dalam pembuatan batik khas Ngenang.
“Setiap motif yang dibuat mempunyai arti muatan lokal, seperti bunga pucuk rebung, burung layang-layang, bunga manggis dan lain-lain. Sementara untuk industri tenun, salah satu motif yang menjadi unggulan dan khas dari Ngenang adalah motif tulisan dalam huruf Arab Melayu,” kata Hendri, sang lurah yang sudah ikut menginisiasi kegiatan industri kreatif di pulau Ngenang sejak sebelum menjabat sebagai lurah.
(*)
Penulis : Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Sumber : bintorosuryo.com