By Bintoro Suryo – Rempang, sebuah pulau yang sekarang masuk dalam tata pemerintahan kota Batam. Sebelumnya, pulau ini berada dalam wilayah pemerintahan kabupaten Kepulauan Riau.
Lokasinya berada tepat berhadapan dengan Pulau Bintan. Dengan luas sekitar 375 km2, pulau Rempang terdiri atas 2 buah desa, yaitu Cate dan Sembulang. Penduduknya sekitar 3000 jiwa lebih. Sebagian besar hidup sebagai petani dan nelayan.
Berpuluh tahun sebelumnya
Pulau ini mulai dilirik ketika pulau tetangganya, Galang, dijadikan lokasi penampungan para pengungsi asal Vietnam di dekade 1970-an silam. Kala itu, belum ada jalur darat langsung yang menghubungkan Batam yang sedang dikembangkan oleh Badan Otorita Batam ke pulau ini. Aksesnya masih menggunakan jalur laut.
Ide Kepala Otorita Batam pada dekade 80-an, BJ Habibie untuk menggabungkannya dalam sebuah kesatuan Batam – Rempang – Galang (Barelang), membuat nama pulau ini makin dikenal orang.
Apalagi kemudian, saat jembatan penghubung dengan total 6 buah yang menghubungkan Batam hingga pulau Galang Baru rampung dibangun. Akses ke pulau Rempang menjadi lebih terbuka dan bisa dikunjungi melalui jalur darat.
Pulau Rempang juga pernah menarik perhatian ketika 2 orang sarjana bahasa dari LIPI, drs Harimurti Kridalaksana dan drs Zulkarnaen, mengungkap nasib suku terasing, yaitu suku Utan yang nyaris punah di sini. Banyak pejabat dan petugas sosial yang kemudian berbondong-bondong ke Rempang untuk menjenguk mereka, sembari menebarkan belas kasihan (TEMPO 28 Juni 75).
Laporan yang dinukil dari Tempo, saat itu, pulau Rempang meski sebagian besar masih hutan belantara, tapi sudah ada paket Inpres di kedua desanya. Sudah ada SD di sana. Di Cate, ada pula sebuah balai pengobatan, walaupun masih seadanya.
Aktifitas orang di pulau ini, lebih dikenal melalui sisi-sisi perairannya. Baik untuk perlintasan orang zaman dulu, atau pemukiman suku asli di pesisirnya.
Rempang dan Kisah orang-orang Jepang
Pulau Rempang juga dikenal hingga ke mancanegara, terutama Jepang, saat sejumlah orang di sana mengungkapkan kerinduannya tentang pulau sepi itu.
Ketika terjadi Perang Dunia Ke II dan di hari-hari kejatuhan Jepang dalam perang Asia Timur Raya di dekade 1940-an, pulau ini ternyata pernah menampung dan menjadi tumpuan hidup tak kurang dari 27.000 orang serdadu Jepang yang ditawan Sekutu. Mereka itu adalah yang berasal dari front di lndonesia, Singapura, Malaysia, Muangthai.
Sebuah laporan yang diterbitkan di laman GoWest Indonesia tahun 2019 menyebutkan, masih ada sisa serdadu Jepang yang akhirnya memutuskan bermukim di pulau sepi itu.
Orang setempat memanggilnya Atok Kang. Pria yang kala itu sudah berusia 108 tahun, dikenal warga setempat sebagai mantan tentara Jepang yang menetap di wilayah Rempang Cate, di kecamatan Galang kota Batam.
Usianya sudah sangat senja, 108 tahun. Namun, ia masih cukup fasih menjawab pertanyaan yang diajukan padanya. Atok Kang juga masih ingat kisah puluhan tahun saat masa penjajahan Belanda hingga Jepang di dekade 1940-an.
Saat ditemui, ia ternyata masih fasih berbahasa Jepang.
Untuk mengenang keberadaan para serdadu Jepang di pulau itu, pada tahun 1981 silam, sudah dibangun sebuah tugu.
Tugu Minamisebo atau dikenal sebagai Tugu Jepang, berada di Sembulang. Dibangun oleh Rempang Friendship Association (RFA), sebuah lembaga non profit yang dibentuk oleh warga Jepang untuk mengenang ratusan serdadu Jepang yang tewas tersebut. Saat monumen ini dibangun, Batam masih berada di bawah Provinsi Riau dengan ibukota di Tanjung Pinang.
“Dari 112.708 serdadu Jepang, ada 128 serdadu yang meninggal saat menunggu kepulangan ke negaranya tersebut,” terang Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Batam, Ardiwinata saat mengunjungi tugu itu, 1 September 2022 lalu.
Tugu ini menjadi penanda tewasnya ratusan serdadu Jepang saat menunggu kepulangan ke negaranya, paska kekalahan Jepang di tangan pasukan sekutu pada perang dunia kedua tahun 1945 dulu.
Kini, jejak-jejak bekas peninggalan Jepang itu diwujudkan dalam bentuk monumen berdiameter 3×3 meter. Di Sana terpampang nama-nama bekas tentara Jepang lengkap dengan foto-fotonya masing-masing.
Suku Utan di pulau Rempang
Suku Hutan, ada juga yang menyebut mereka sebagai orang darat, ditemukan di pulau Rempang, di sekitar sungai Sadap. Pada tahun 2008 silam, populasinya diketahui tinggal 30 jiwa yang terdiri dari 7 keluarga.
Padahal sekitar 30 tahun mundur ke belakang lagi dibanding saat itu, dilaporkan masih ada sekitar 70 keluarga suku Hutan di sana. Mereka hidup terpisah dari masyarakat secara umum, di dalam hutan-hutan pulau Rempang yang memang dikenal masih begitu perawan.
Suku hutan yang terdapat di pulau Rempang ini, dilaporkan berasal dari dataran Yunan di Tiongkok pada 2000 – 3000 tahun sebelum Masehi. Mereka berbicara dengan dialog Melayu Galang yang agak berbeda dengan dialek-dialek turunan Melayu pada umumnya. Ada yang menyebut, mereka bagian dari Proto Melayu yang merupakan generasi Melayu awal. Jauh sebelum adanya suku Melayu yang terdeteksi mulai 200 – 300 sesudah Masehi.
Menurut Muslim Bidin, mantan pejabat di pemerintah kota Batam yang juga salah satu keturunan Melayu di wilayah Sembulang kepada media pada tahun 2008 lalu, suku hutan di pulau Rempang, terbiasa hidup berpindah-pindah.
Pada awal dekade 80-an, mereka terdeteksi mendiami kawasan perbukitan di sekitar sungai Sadap, pulau Rempang. Rumah biasanya akan ditinggalkan penghuninya ketika ada anggota keluarga yang meninggal. Mereka mendirikan rumah lain sekaligus tempat ladang baru bagi suku tersebut.
Keberadaan Orang Darat di Pulau Rempang juga disebutkan dalam sejumlah arsip kolonial Belanda. Pada tanggal 4 Februari 1930, Controleur Onderafdeeling Tanjungpinang, P. Wink mengunjungi Orang Darat di Pulau Rempang.
Catatannya tentang kunjungan dimuat dalam artikel berjudul Verslag van een bezoek aan de Orang Darat van Rempang, 4 Februari 1930 (Laporan Sebuah Kunjungan ke Orang Darat di Pulau Rempang pada 4 Febaruari 1930). Laporan ini ditulis di Tanjungpinang, 12 Februari 1930 dan dimuat dalam Tijdschrift voor Indische Taal, Land en Volkunde, Deel LXX Aflevering I,1930. (Data Kemendikbud RI).
Namun, belum ada kontak langsung dengan mereka. Barulah P Wink, pejabat Belanda pertama yang turun langsung menemui Orang Darat kala itu.
Menurut P Wink, orang Belanda bernama JG Schot dalam tulisannya Indische Gids tahun 1882, di Pulau Rempang ada suku asli yang bernama Orang Darat atau Orang Utan. Menurut legenda, mereka berasal dari Lingga. Namun, tidak ada informasi yang jelas tentang asal usul ini. Orang Darat ini mirip suku asli Johor dan Melaka, yakni Orang Jakun (Sumber : Kemendikbud RI).
Orang Darat di Pulau Rempang hidup di pondok-pondok tanpa dinding dan hanya beratap. Selain tinggal di Pulau Rempang, Orang Darat ada juga yang tinggal di Pulau Batam tapi kemudian seakan hilang karena membaur dengan Orang Melayu. Dalam kunjungannya ke Pulau Rempang saat itu, P Wink mendata jumlah Orang Darat yang ada di sana.
Jumlahnya 8 delapan laki-laki, 12 orang wanita dan 16 orang anak-anak.
Tampilan Orang Darat, kulitnya lebih gelap dari orang Melayu. Mereka tidak terbiasa hidup di laut. Mereka tidak memiliki sampan dan hidup dari bercocok tanam. Mereka hidup dari bercocok tanam, mencari hasil hutan. Jika kondisi air pasang, mereka baru mencari kepiting dan lokan. Nantinya dibarter dengan orang Tionghoa yang memiliki kebun gambir yang ada di Pulau Rempang.
Tahun 1930, jumlah Orang Darat hanya sekitar 36 jiwa. Sebelumnya informasi dari Tetua Orang Darat di Rempang, Sarip, dulunya Orang Darat jumlahnya 300 jiwa (Sumber : Kemendikbud RI).
Di kala Rempang makin terbuka kini, keberadaan mereka justeru makin menyusut. Walau masih seperti dahulu, tinggal di bawah pohon-pohon besar dengan bangunan seadanya yang terbuat dari triplek dan kayu, jumlah mereka makin sedikit.
Laporan terakhir pada awal tahun 2023 ini, jumlah mereka tinggal 8 orang saja.
Pengembangan Rempang; “Zona Hijau dan Sejarah”
Pada tahun 2022, pemerintah merilis pertumbuhan ekonomi di Batam mencapai 6,84%, lebih tinggi dari pertumbuhan nasional yang sebesar 5,31%.
Pertumbuhan ekonomi Batam diprediksi akan terus meningkat, sejalan dengan upaya optimalisasi pengembangan di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batam dan Kepulauan Riau. Baik dengan pemberian tambahan insentif melalui KEK, kepastian dan kemudahan berusaha, penyediaan tenaga kerja yang terampil (skilled labour), serta pengembangan beberapa kawasan yang belum berjalan, seperti Kawasan Rempang dan Kawasan Galang dan Galang Baru.
Pulau Rempang segera digarap lebih serius untuk pengembangan investasi oleh pemerintah.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian bahkan sudah meluncurkan Program Pengembangan Kawasan Rempang menjadi bagian KPBPB Batam di Jakarta, Rabu (12/04/2023) kemarin.
Program tersebut diharapkan menjadi awal pengembangan Kawasan Rempang sebagai kawasan yang berdaya saing tinggi dalam pengembangan industri, pariwisata, dan jasa. Beberapa langkahnya, seperti memberikan berbagai fasilitas dan insentif, baik fiskal maupun non fiskal. Kawasan Rempang diharapkan pemerintah dapat menjadi tujuan investasi, terutama investor asing, sehingga dapat menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat, serta mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah dan regional.
Pengembangan Kawasan Rempang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari arah kebijakan dan langkah-langkah strategis pengembangan Kawasan Batam, Bintan, dan Karimun (BBK) yang telah disusun dalam Rencana Induk Pengembangan KPBPB BBK. Pemerintah sendiri berharap Perpres-nya dapat segera ditetapkan.
“Nah tentu dengan rencana induk ini diharapkan Kawasan Rempang bisa dikembangkan untuk industri, jasa, dan pariwisata, dan diharapkan efeknya bisa berkembang. Tentu Batam Bintan Karimun, termasuk Rempang ini, dekat dengan Singapura dan Malaysia, (sehingga) diharapkan kita bisa memberikan daya saing yang tinggi di Kawasan tersebut,” kata Menko Airlangga dalam kesempatan itu.
Airlangga berharap pengembangan Kawasan Rempang akan dapat memberikan spillover effect kepada kawasan-kawasan lain di sekitarnya. Letak Pulau Rempang yang tidak jauh dari Singapura dan Malaysia, digarapnya akan dapat meningkatkan daya saing Indonesia di kawasan Asia Tenggara.
Hal ini ditambah dengan peran Indonesia dalam ASEAN Chairmanship pada Tahun 2023 yang akan menunjukkan daya saing Indonesia dan mendukung produktivitas ekonomi di negara ASEAN lainnya.
Siapa yang digandeng pemerintah untuk mengembangkan pulau Rempang yang memang sudah tidak begitu perawan lagi hampir dua dasawarsa ini?
Rencana investasi dilakukan oleh PT Makmur Elok Graha (PT. MEG). Secara keseluruhan sampai dengan Tahun 2080 disebutkan akan mengucurkan investasi sebesar kurang lebih Rp381 triliun. Investasi oleh PT. MEG ini diprediksi pemerintah akan mampu menyerap tenaga kerja langsung sejumlah 306.000 orang.
Rempang akan segera berubah jadi gemerlap, dipadati ratusan ribu orang.
Investasi yang akan dilakukan antara lain industri menengah, industri manufaktur dan logistik, kawasan pariwisata terintegrasi, serta kawasan perumahan dan perdagangan jasa terintegrasi. Untuk Tahap I sampai dengan Tahun 2040, akan direalisasikan investasi sekitar Rp29 triliun dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak kurang lebih 186.000 orang melalui pengembangan industri manufaktur dan logistik, pariwisata MICE, dan kegiatan perumahan yang didukung oleh perdagangan dan jasa.
Untuk pengembangan pulau Rempang ini, Kepala BP Batam, Muhammad Rudi menyebut bahwa Rempang bakal menjadi kawasan industri sekaligus pariwisata yang memiliki “Green Zone”.
Nantinya, kawasan itu juga memberikan kemudahan koneksi antar pulau sekitar serta menyajikan zona pariwisata yang mengedepankan konservasi alam.
Ada pula taman burung serta zona sejarah dan kawasan agrowisata terpadu yang memanfaatkan keunggulan alam di pulau tersebut.
Zona sejarah dan Green Zone? Semoga kawasan ini di kemudian hari tetap berpihak pada keasliannya dan menjadi habitat hidup yang aman dan nyaman untuk para suku Utan sebagai ‘Pemilik Asli’ pulau ini sejak dahulu.
(*)
Penulis : Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Sumber : bintorosuryo.com