By Eri Syahrial – Upaya meminimalisir tiga dosa besar yang masih banyak ditemui di lembaga pendidikan yang sering digaungkan Mendikbudristek Nadiem Makarim yaitu kekerasan, diskriminasi dan intolerasi direspon SD Al Furqan Batam dengan menggelar sosialisasi pencegahan dan penangganan tindakan kekerasan kepada anak, Senin (4/9) di Aula SD Al Furgan.
Sebagai nara sumber sosialisasi ini adalah Kanit PPA Polres Barelang Iptu Marihot PakpahanSH MH, Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Batam Setyasih Priherlina SE dan Sekretaris LPA Batam yang juga Pemerhati Anak Provinsi Kepri Eri Syahrial, S.Pd, M.Pd.I. Dihadiri Camat Sekupang Kamarul Azmi, Kepsek SD Al Furqan Dewi Utama Sari, Ketua Panitia Pelaksana Sabrul Jamil, Lurah Seiharapan, Polsek Sekupang dan Babinkantibmas. Kegiatan ini diikuti seluruh guru SD Al Furqan, wali murid yang didominasi ibu-ibu dan perwakilan siswa-siswi SD Al Furgan.
Permasalahan kekerasan anak di lingkungan pendidikan semakin banyak disosialisasikan di lingkungan sekolah untuk semua warga sekolah. Hal tersebut seiring dengan kebijakan pemerintah yang mengingikan tidak adanya lagi kekerasan di sekolah dengan program Sekolah Ramah Anak (SRA) untuk semua satuan pendidikan.
Termasuk bagi SD Al Furqan yang berada di kawasan Kartini, Seiharapan Sekupang Batam yang sudah menerapkan sekolah ramah anak. SD yang sudah terakreditasi A ini bertekad untuk menjadi lingkungan sekolahnya tidak ada kekerasan dan berupaya menangani dengan baik sesuai aturan bila muncul kasus kekerasan yang tidak diinginkan. Bahkan SD Al Furqan sudah mulai membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK).
Dalam paparannya, Setyasih Priherlina menyampaikan bahwa kasus kekerasan yang sering terjadi di sekolah adalah bullying atau perundungan. Ada tiga bentuk perundungan yang sering terjadi yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis dan kekerasan seksual.
‘’Ke depan tidak boleh lagi kekerasan di lingkungan pendidikan. Sekolah harus menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi siswa untuk menuntut ilmu,’’ ujarnya.
Prilaku diskriminasi juga tidak boleh terjadi di sekolah baik antara sesama siswa dan guru kepada siswa. Selain pola pendidikan tanpa kekerasan, pendidikan Indonesia saat ini adalah pendidikan yang inklusif yaitu semua anak dengan latar belakang yang berbeda bisa belajar di sekolah yang sama, tidak ada diskriminasi.
‘’Bahkan anak yang berkebutuhan khusus atau mengalami hambatan karena keterbatasan fisinya juga bisa masuk ke sekolah umum sepanjang ada guru yang mampu mengajarnnya,’’ ujar Setyasih.
Pemerhati Anak Provinsi Kepulauan Riau Eri Syahrial dalam paparannya menekankan peran sekolah dan guru sangat pentingnya dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus anak. Upaya pencegahan mulai dari upaya bagaimana guru mendeteksi adanya siswa-siswi yang menjadi korban kekerasan dengan melakukan pemantauan, assesmen terhadap yang bermasalah, dan penanganan terhadap korban. Tidak saja terhadap pelajar yang jadi korban, namun juga tergadap pelajar yang nakal dan cinderung berpotensi melakukan tindak pidana.
Bahkan peran guru tidak saja menangani kekerasan anak di sekolah, tapi juga bagaimana membantu anak-anak yang menjadi korban kekerasan di rumah. Anak- anak yang jadi korban kekerasan di rumah juga harus dibantu guru sehingga siswa tersebut bisa belajar dengan baik.
Eri mencontohkan diantara ribuan kasus anak ditangani dulunya saat menjadi Komisioner Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Provinsi Kepulauan Riau adalah mengungkap kasus siswi SD di Batuaji Batam yang jadi korban trafiking yang berhasil diungkap saat siswi tersebut berada di sekolah. Awalnya diketahui siswi tersebut hanya korban kekerasan biasa sehari-hari dari orangtuanya. Setelah dilakukan asesmen mendalam di sekolah, ternyata siswi tersebut adalah korban perdagangan anak yang dijual ibu kandungnya. Semua data anak dipalsukan. Akhirnya pelaku bisa dihukum dan korban dikembalikan ke keluarga kandungnya.
‘’Bila pelaku kekerasan tersebut adalah orangtua maka guru bisa mengedukasi orangtuanya agar tidak lagi melakukan kekerasan berbentuk fisik, psikis, penelantaran, perlakuan salah dan lainnya. Kalau terus berlanjut atau kekerasannya dalam bentuk pencabulan maka hal tersebut harus dikoordinasikan dengan pihak terkait atau melaporkan kepada kepolisian,’’ papar Eri Syahrial yang juga mediator di Pengadilan Agama Batam ini.
Dalam menjalankan tugasnya memberikan perlindungan pada siswanya yang mengalami kekerasan, Eri meminta para pendidik jangan takut. Sistem perlindungan anak sudah terbentuk. Justru bila ada anak yang alami kekerasan namun tidak ada upaya menolong maka orang yang bersangkutan sebenarnya bisa dipidana.
Dalam rangka mencegah dan menangani kasus kekerasan pada anak, di sekolah harus dibentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di sekolah sesuai dengan Permendikbud Nomor 46 Tahun 2023 yang baru dikeluarkan pada 4 Agustus 2023 lalu.
Terkait dengan Permendikbud tersebut, Eri menyarankan Tim TPPK diisi dengan guru yang sangat peduli dan paham dengan dunia anak seperti Wakasek Kesiswaan, guru BP atau BK dan guru lain. Tim ini yang berkoordinasi pihak lain di luar seperti dengan lembaga perlindungan anak, kepolisian, dinas pendidikan dan Kemendikbudristek dan lainnya.
Lebih jauah Eri memaparkan, ada lima poin yang harus dilakukan sekolah dalam rangka mencegah dan menangani kekerasan di sekolah yaitu, pertama, menjadikan peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan fokus pencegahan dan penanganan kekerasan. Kedua, adanya defenisi kekerasan yang jelas dan bentuk-bentuk rinci kekerasan yang mungkin terjadi. Ketiga, pembentukan tim TPPK. Keempat, mekanisme pencegahan yang terstruktur dan peran masing-masing pihak. Dan kelima, pembagian alur koordinasi dan penanganan lebih rinci antara sekolah dengan pemeritah daerah dan Kemendikbudristek.
Tahun 2023, Terjadi 72 Kasus Pencabulan
Kanit PPA Polres Barelang Marihot Pakpahan dalam sosialisasi ini menyampaikan kasus-kasus anak yang banyak ditangani Polres Barelang sepanjang tahu 2022 dan tahun 2023. Termasuk kasus kekerasan yang terjadi di sekolah, kasus kekerasan atau tindak pidana dengan korban anak atau pelajar seperti pencabulan dan tindak pidana dengan pelaku anak yang masuk kategori anak berhadapan hukum.
Data yang disampaikan Marihot cukup mencegangkan peserta sosialisasi yang hadir. Kasus tindak pidana pada anak yang paling banyak justru adalah pencabulan. Umumnya korban adalah pelajar atau siswi. Selama tahun 2003 dari Januari hingga saat ini sudah ada sebanyak 72 kasus pencabulan.
Marihot kepada peserta juga menjelaskan bagaimana Unit PPA Polres Barelang melakukan upaya penyelidikan, penyidikan dan proses penanganan kasus anak secara umum atas kasus yang dilaporkan masyarakat.
***