By Sultan Yohana – Sudah lama saya curiga dengan mural nanggung yang banyak digambar di tembok-tembok apartemen warga Singapura ini.
Ini misalnya, beberapa mural yang saya jepret dalam sepekan ini di daerah Ang Mo Kio Avenue 3 dan 4; lukisan mangkok glutinous rice balls (maaf, kalau dibahasa Indonesiakan, jadi lucu), atau lukisan permen kelinci yang meleganda itu. Atau pedagang kopi dengan seorang penghobi manuk yang lagi nongkrong bersama dua anak-anak TK. Kesemuanya, tidak hanya terlihat sebagai karya seni yang nanggung, tapi juga jauh dari indah.
Ini jelas berbeda, misalnya dengan mural-mural yang banyak digambar di daerah-daerah wisata seperti Bugis, Little India, maupun Kampung Arab. Di sana, mural tak hanya indah dan full warna-warni – karena dikerjakan seniman profesional, namun juga dirancang untuk memberi atraksi bagi para turis.
Tapi, pikir saya lagi, kalau di pemukiman warga, kok jelek banget muralnya?
Ini jelas ndak sesuai dengan “semangat Singapura”, yang biasanya, terlebih dahulu memberi yang terbaik kepada warganya, setelah itu berikutnya kepada orang asing. Usut punya usut, mural-mural nanggung yang banyak dilukis di pemukiman warga itu, berfungsi untuk melawan pikun.
Warga-warga lansia yang biasanya nongkrong di sana, ingatan mereka coba dirangsang dengan lukisan-lukisan yang sebelumnya mereka akrabi. Itu kenapa tema-tema lukisan tak jauh dari benda atau aktivitas mereka saat muda.
Tema apa pun tentang lansia, memang kian mendapat perhatian besar pemerintah sini. Ini maklum, tahun lalu misalnya, data Statistik Singapura mencatat, lebih dari 678 ribu dari sekitar 3,5 juta warga Singapura, berusia di atas 65 tahun. Bersama Jepang, Singapura saat ini menjadi negara di Asia yang masyarakatnya paling cepat mengalami penuaan.
Melawan pikun dengan mural? Boleh juga.
(*)
Penulis/ Vlogger : Sultan Yohana, Citizen Indonesia berdomisili di Singapura. Menulis di berbagai platform, mengelola blog www.sultanyohana.id