Tanjungpinang kota bersejarah. Kota ini pernah menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Riau-Lingga, Pernah menjadi ibukota Provinsi Riau sebelum dipindahkan ke Pekanbaru dan setelah itu menjadi ibukota Kabupaten Riau Kepulauan dan kini menjadi ibukota Provinsi Kepulauan Riau. Tanjungpinang juga merupakan tempat asalnya Bahasa Indonesia yang cikal bakalnya berasal dari bahasa Melayu di pulau Penyengat.
Tanjungpinang memang layak dijadikan kota tujuan wisata sejarah, religi dan budaya. Jejak-jejak sejarah dan kebudayaan Melayu, tersebar di beberapa tempat di kota ini. Antara lain, Monumen Raja Haji Fisabilillah, Mesjid Raya Sultan Riau, Komplek Makam Engku Putri Hamidah, Komplek Makam Raja Haji Fisabilillah, Komplek Makam Raja Ja’afar, Istana Raja Ali, Makam Raja Abdulrahman, Benteng Pertahanan Bukit Kursi, Makam Daeng Marewah, Makam Daeng Celak, Komplek makam Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah dan Situs istana kota Raja atau Kota Lama.
Hari jadi Tanjungpinang diperingati tanggal setiap tanggal 6 Januari dari peristiwa bersejarah dan heroik, saat pasukan Raja Haji Fisabillillah, melawan Belanda. Dengan catatan sejarah yang kaya dan panjang, Tanjungpinang layak menjadi kota tujuan wisata sejarah. Sebab, di ulu Riau atau Sungai Carang inilah nama Riau bermula. Jejak Sejarah Sungai Carang mulai ditoreh tiga abad silam antara tahun 1672 hingga 1784. Sungai Carang dan Hulu Riau, Tanjungpinang, adalah ‘jantung’ sejarah dan menjadi pusat emporium dagang dan kejayaan Melayu.
Dalam hikayat negeri Johor, Laksamana Johor Tun Abdul Jamil membangun sebuah negeri setelah ditititahkan oleh Sultan Abdul Jalil Syah, Sultan Johor (1623-1677) yang bersemayam di Pahang, untuk membuat sebuah negeri di Pulau Bintan.Negeri baru yang terletak di Sungai Carang Pulau Bintan itulah yang disebut Riau. Laksamana Tun Abdul Jamil tidak hanya berhasil membangun kelengkapan untuk menjadikannya benteng pertahanan dengan kelengkapan kapal perang, tapi juga bandar dagang dan ibukota baru Kerajaan Johor pewaris kebesaran Melaka.
Jejak-jejak sejarah itu tersebar sejak dari Sungai Baharu, Kota Lama, Kota Piring, Sungai Timun, Batangan, Kampung Melayu, Sungai Payung, Bukit Galang, Sungai Galang, Pulau Biram Dewa atau Kota Piring, Sungai Pulai, Tanjung Unggat, Anak Kuda Pasir, Sungai Terusan atau Terusan Riau, Pulau Bayan, Kampung Bugis, hingga ke Tanjungpinang, Tanjung Buntung, Teluk Keriting Senggrang, dan Pulau Penyengat yang terletak di muaranya. Selain itu, aliran sejarah yang menghilir dari Sungai Carang itu sesungguhnya juga telah menciptakan Tanjungpinang.
Sejak tiga abad silam, Sungai Carang di Hulu Riau serta Tanjungpinang, tidak hanya berperan sebagai pusat emporium dagang, tapi juga menjadi tempat istana-istana megah berdiri pada zaman.Yang Dipertuan Muda Daeng Kemboja membangun istana megah dari batu karang yang ditumbuk bernama Pangkalanrama di sebelah kiri mudik ke hulu Sungai Riau. Sebuah peta lama milik Belanda di Tanjungpinang Pulau Bintan tahun 1880, Figuratieve kaart van de Nederlandsche Bezitting op het Eiland Bintang yang kini disimpan perpustakaan KITLV di Leiden, Pangkalanrama disebut juga Oud Riouw of Pangkalangrama, Riau Lama atau Pangkalanrama.
Setelah Yang Dipertuan Muda Riau II, Daeng Kemboja, mangkat dalam usia 80 tahun pada 1777, maka pangkat itu kemudian diamanahkan kepada keponakannya, Raja Haji Ibni Daeng Celak Yang Dipertuan Muda Riau III yang ketika itu berada di Pahang. Dari Pahang, Raja Haji Yang Dipertuan Muda Riau IV kembali ke Riau di Sungai Carang. Kembalinya Raja Haji menandai babak baru dalam jejak-jejak sejarah di Sungai Carang. Sejak saat itu, Negeri Riau sekali lagi mencapai puncak kemakmurannya sebagai bandar dagang di Selat Melaka. Raja Haji juga membangun istana dengan sebuah balairung berdidinding cermin di Pulau Biram Dewa. Istana itu dikelilingi dengan pagar tembok atau kota dari batu karang ditumbuk yang kemudian ditatah dengan pinggan dan piring serta berhiaskan bocong pada bagian atasnya. Itulah pangkal mula Pulau Biram Dewa masyhur dengan sebutan Kota Piring.
Penyengat Indra Sakti
Pulau Penyengat tercatat dalam sejarah kerajaan Riau Lingga dan budaya Melayu. Selain menjadi kedudukan Yang Dipertuan Muda Kerajaan Melayu Riau-Lingga, juga tempat kedudukan Sultan sejak abad ke 19. Alkisah, nama pulau Penyengat diambil dari nama binatang yakni penyengat, sebangsa lebah, yang menyerang saudagar yang mengambil air di pulau itu. Belanda sendiri menjuluki pulau itu dengan dua nama yakni Pulau Indera dan Pulau Mars. Kini pulau itu lebih dikenal dengan nama Penyengat Inderasakti.
Pada tahun 1805, Sultan Mahmud menghadiahkan pulau itu kepada istrinya Engku Putri Raja Hamidah, Kemudian, Yang Dipertuan Muda Jaafar memindahkan kedudukannya di Ulu Riau ke Penyengat, sedangkan Sultan Mahmud pindah ke Daik-Lingga. Pulau Penyengat ditata dengan apik. Lalu, Sultan Abdurrahman Muazamsyah, memindahkan tempat kedudukannya dari Daik ke Penyengat. Karena tekanan Belanda, warga Penyengat pindah ke Johor dan Singapura.
Dalam buku sejarah Melayu Tuhfat al-Nafis karya Raja Ali Haji, Mesjid Sultan di Pulau Penyengat dibangun seiringan dengan dihadiahkannya pulau tersebut kepada Engku Putri Raja Hamidah oleh Sultan Mahmud. Mesjid Sultan di Penyengat ini sangat unik. Arsitektur mesjid merupakan gaya campuran dari berbagai wilayah budaya seperti Arab, India, dan Nusantara. Dalam dua kali pameran mesjid pada Festival Istiqlal di Jakarta disebutkan bahwa Mesjid Sultan ini merupakan mesjid pertama di Indonesia yang memakai kubah.
Masih banyak keunikan Masjid Sultan ini. Misalnya, ada mushaf Alquran tulis tangan ditulis oleh Abdurrahman Stambul tahun 1867. Alquran tulis tangan lain yang ada di mesjid itu dan tidak diperlihatkan kepada umum, ternyata lebih tua yakni dibuat tahun 1752. Uniknya, di bingkai mushaf yang tidak diketahui penulisnya ini terdapat tafsiran-tafsiran dari ayat-ayat Alquran, bahkan terdapat berbagai terjemahan dalam bahasa Melayu terhadap kata per kata di atas tulisan ayat-ayat tersebut.
Mushaf ini tersimpan bersama 300-an kitab dalam dua lemari sisa-sisa kitab yang dapat diselamatkan dari perpustakaan Kerajaan Riau-Lingga, Kutub Khanah Marhum Ahmadi, yang tidak terbawa bersama eksodusnya masyarakat Riau awal abad ke-20 ke Singapura dan Johor. Buya Hamka saat berkunjung tahun 1970 menilai, bahwa buku-buku tersebut merupakan buku-buku penting yang tinggi nilainya dalam Islam. Menurut Hasan Junus, di dekat mimbar disimpan sepiring pasir yang dikatakan berasal dari Makkah al-Mukarramah, melengkapi benda-benda lain semacam permadani Turki dan lampu kristal. Pasir ini dibawa oleh Raja Ahmad Engku Haji Tua yang dikenal sebagai bangsawan Riau pertama mengerjakan haji tahun 1820-an. Pasir tersebut senantiasa digunakan masyarakat dalam upacara jejak tanah, suatu tradisi menginjak tanah untuk pertama kali bagi anak-anak.
Sampai saat ini, Masjid Sultan di Penyengat ramai dikunjungi wisatawan. Infak dan sedekah yang terkumpul, mencapai ratusan juta. Uang inilah yang dikelola untuk berbagai kegiatan seperti pendidikan keagamaan bagi kanak-kanak. Setiap bulan Ramadhan, pengurus menyediakan makanan berbuka puasa bagi 40 orang. Dana tersebut digunakan untuk sepenuhnya memakmurkan mesjid. Termasuk memasang lampu mewah di dua menara masjid yang terlihat bagai mercusuar di malam hari. Menaranya yang terang benderang terlihat seperti dua belah tangan yang mengaminkan doa ke langit, sekaligus mengingatkan orang akan wujud Allah.
Fasilitas mesjid dapat digunakan untuk berbagai kegiatan sosial keagamaan. Dua balai yang berada di halaman mesjid, dapat dijadikan tempat diskusi keagamaan dan kebudayaan. Tahun lalu misalnya, pengurus membenarkan pengisi kegiatan Hari Raja Ali Haji mengadakan kegiatan di dalam kompleks mesjid seperti bimbingan penulisan kreatif dan latihan membacakan syair dan Gurindam Duabelas.
Budayawan Riau Rida K Liamsi mengatakan, Pulau Penyengat selain menjadi salah satu tujuan wisata andalan Provinsi Kepulauan Riau, juga merupakan jejak perjalanan sejarah kebesaran emporium Melayu yang jatuh bangun selama lebih 500 tahun di kawasan Selat Malaka.
Dengan potensi warisan sejarah dan budaya serta letak geografisnya sangat tepat Penyengat diposisikan menjadi destinasi wisata budaya, sejarah, agama dan ilmu pengetahuan yang berbasis religi. Perjuangan terbesar yang harus direbut, adalah menjadikan Penyengat sebagai warisan dunia atau world haritage, Menjadikan Penyengat sebagai Warisan Kebudayaan Dunia. Milik semua bangsa, milik semua komunitas dan tradisi. Milik masa depan kebudayaan, karena dari sinilah sumber dan roh kebudayaan Melayu bermula, hidup dan berkembang. ***