SETAHUN setelah kemerdekaan Republik Indonesia, pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1946 tentang Kewarganegaraan, lalu diubah menjadi UU Nomor 11 tahun 1948.Orang Tionghoa yang sebelumnya berkewarganegaraan Belanda dan berusia di atas 21 tahun serta telah tinggal lebih dari lima tahun di bekas wilayah jajahan Hindia Belanda, ditetapkan sebagai warga negara Indonesia.
Namun, peraturan ini menimbulkan kondisi kewarganegaraan ganda bagi banyak orang Tionghoa di Indonesia. Banyak yang juga masih berstatus warga negara Republik Rakyat Tiongkok pada masa itu.
Tahun 1955, pemerintah Indonesia dan RRT menandatangani Perjanjian Mengenai Kewarganegaraan Ganda (Agreement on the Issue of Dual Nationality between the Republic of Indonesia and the People’s Republic of China) yang mengakui situasi kewarganegaraan ganda antara Indonesia dan Tiongkok. Namun, saat itu pemerintah Indonesia yang tidak menganut konsep kewarganegaraan ganda berpendapat, orang-orang Tionghoa perlu menentukan sendiri kewarganegaraannya, memilih jadi warga negara Tiongkok atau warga negara Indonesia.
Pemerintah Indonesia kemudian mengesahkan undang-undang kewarganegaraan yang baru pada tahun 1958. Pada Pasal 4, ketentuan harus memilih satu kewarganegaraan diperkuat, sehingga orang-orang Tionghoa yang otomatis memiliki kewarganegaraan ganda Indonesia dan RRT harus memilih salah satu sebelum bulan Januari tahun 1962.
Imbasnya, termasuk ke sekolah Muljadi di Selatpanjang. Tahun 1959, sekolah mengumumkan, siswa yang tidak memiliki kewarganegaraan Cina, tidak diperbolehkan untuk belajar di sekolah Cina yang ada di kota Selatpanjang. Warga Tionghoa yang memiliki kewarganegaraan ganda atau kewarganegaraan Indonesia, kemudian dialihkan ke sekolah Indonesia yang diselenggarakan masyarakat Tionghoa saat itu. Muljadi termasuk dalam anak-anak etnis Tionghoa yang ikut dipindahkan ke sekolah Indonesia yang dikelola oleh warga Tionghoa. Sekolahnya ada, namun karena minimnya SDM dan fasilitas penunjang, sekolah itu tidak beroperasi. Akibatnya, Muljadi tidak bisa bersekolah.
Beberapa tahun kemudian, pemerintah Indonesia mengeluarkan instruksi untuk mempertegas posisi warga etnis Tionghoa di negeri ini sebagai upaya mempercepat proses asimilasi. Warga Indonesia yang masih mengunakan nama Tionghoa, diminta mengganti namanya menjadi nama berbau Indonesia. Untuk mereka yang masih berstatus anak-anak di bawah umur 18 tahun, pergantian nama dilakukan orang tuanya. Di saat inilah Lim Qi Hui resmi menyandang nama Indonesia, Muljadi.
Masih di tahun yang sama, tahun 1959, pasca kemerdekaan dan orde lama, ada kebijakan politik yang diskriminatif dan kontraversial. Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 1959 yang melarang warga negara asing dan warga Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibu kota provinsi dan kabupaten. Kebijakan yang awalnya bertujuan untuk memperkuat ekonomi nasional, menasionalisasi perusahaan asing peninggalan Belanda dan Jepang serta meniadakan monopoli, berimbas dan berdampak kepada pedagang warga Tionghoa. Pada saat yang sama, kondisi ekonomi di Selatpanjang, semakin sulit.
Bersambung
[…] Selanjutnya : Pendidikan Terhenti karena Kewarganegaraan | ‘Masa Kecil & Kisah Keluarga‘ – MENEROBOS WAK… […]