MINGGU pagi, 14 januari 1960. Aktifitas warga Selatpanjang masa itu banyak terpusat di pinggir-pinggir pelantar.Ada yang bertransaksi dagang, ada yang membongkar atau memuat barang. Denyut ekonomi bandar tua itu bertumpu dari pinggiran pelantar. Sebagai kota perdagangan yang berhadapan dengan Selat Malaka. Aktifitas perekonomian warga di sini agak menurun beberapa tahun terakhir..
Terutama paska dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 1959 yang melarang warga negara asing dan warga Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibu kota provinsi dan kabupaten. Selatpanjang yang pada masa itu berstatus sebagai kota kecamatan ikut terimbas. Banyak warga Tionghoa yang sudah lama mendiami wilayah ini resah. Jikapun tetap berdagang, mereka terpaksa melakukannya sembunyi-sembunyi. Jika ketahuan, aset dagang mereka bisa disita dan itu akan semakin menyulitkan kehidupan mereka yang sudah sulit.
Penerbitan Undang-undang kewarganegaraan oleh pemerintah Indonesia tahun 1958, membuat warga Tionghoa yang sudah lama mendiami wilayah Selatpanjang dan sekitarnya jadi simalakama. Kewarganegaraan ganda yang selama ini mereka sandang, segera harus diakhiri. Pemerintah Indonesia menetapkan bulan Januari tahun 1962 sebagai masa akhir bagi warga Tionghoa di Indonesia untuk memilih salah satunya. Berkewarganegaraan Indonesia atau memilih tetap berkewarganegaraan Republik rakyat Tiongkok (RRT) dengan resiko harus meninggalkan bumi nusantara.
Suasana agak lengang pada minggu pagi itu. Sebuah kapal pengangkut bahan bakar minyak (BBM) kelihatan merapat menuju sisi Pelabuhan. Tapi ada yang aneh, kobaran api kelihatan dari lambung kapal. ABK yang berada di kapal panik dan berusaha memadamkannya. Sementara kapal terus bergerak menuju bibir Pelabuhan. Nyala api semakin besar dan dengan segera terdengar ledakan di lambung kapal. Kapal pembawa muatan minyak itu meledak dan kemudian menabrak bangunan-bangunan yang ada di sisi-sisi Pelabuhan, termasuk rumah-rumah warga.
“Ada ledakan saat itu (dari kapal pembawa BBM, pen). Api dari kapal yang meledak kemudian terbang dan membakar rumah-rumah warga yang ada di sekitar pelabuhan”, ujar Tukimin, seorang tokoh Tionghoa di Selatpanjang yang juga menjadi pengurus PSMTI di kota ini.
Dengan cepat api merembet dan menjalar ke bangunan-bangunan milik warga di sisi pelantar tersebut. Kebakaran hebat segera terjadi di kota kecil Selatpanjang. Ledakan sempat terdengar bersahut-sahutan dari beberapa bangunan milik warga. Api meluluhlantakkan hampir seluruh bangunan milik warga di sini. Belakangan baru diketahui, kebakaran menjadi begitu dahsyat karena beberapa bangunan milik warga Tionghoa yang menyimpan bahan bakar minyak, memicu beberapa kali ledakan dan membuat nyala api semakin berkobar.
“Pada waktu itu warga Selatpanjang berusaha memadamkan nyala api yang berkobar begitu dahsyat. Tiak ada yang bisa diselamatkan. Warga terpaksa mengevakuasi keluarga dan mengungsi ke pinggiran kota yang lebih aman”, tulis Muljadi dalam catatannya.
“Orangtua kami membawa kami enam bersaudara melarikan diri bersama para korban kebakaran lainnya. Semua merasa takut, panik”, lanjutnya.
Dari catatan sejarah, hanya beberapa bangunan milik warga yang selamat dari kebakaran besar yang terjadi di Selatpanjang saat itu serta dua bangunan rumah ibadah : masjid Al Falah dan Kelenteng Hoo Ann Kiong yang sudah dibangun sejak abad 18 di sana.
Tidak ada yang bisa diselamatkan oleh keluarga Muljadi. Mereka hanya membawa pakaian yang melekat di badan. Selama berhari-hari kemudian, keluarga Muljadi terpaksa menumpang hidup di rumah seorang warga yang berada di pinggiran kota.
“Kita bertemu seorang warga yang baik hati. Memberi kami tumpangan tempat tinggal dan makan tiga kali sehari, walau itu bukan makanan yang lezat. Tapi, kami sangat bersyukur”, katanya.
Bersambung