HENDRY Chandra Muljadi, bungsu dari tujuh bersaudara. Ia sudah diboyong ayahnya pindah ke Jakarta pada usia tiga tahun. Pada tahun 1989, saat kelas 5 Sekolah Dasar, ia ikut pindah ke Singapura. Saat ayahnya memutuskan tiga anaknya ; Mariani, Cortina dan Hendry pindah sekolah ke Singapura, ia mengaku sempat kaget.
‘’Saya harus ikut les bahasa Inggris, matematika dan sains agar bisa sekolah di Singapura,’’ cerita Hendry.
Pada saat itu, Ayahnya diketahui juga sedang memulai bisnis barunya di bidang properti di pulau Batam. Sesekali, ia diajak jalan-jalan ke Batam. Dengan bangga sang ayah membawanya untuk melihat usaha hotel yag sedang dijalaninya saat itu.
“Kata papi, ini hotel papi yang bangun dan paling tinggi di Batam. Papi hebat, saat itu kepikiran suatu saat mau kontribusi untuk usaha hotel papi,” ujar Hendry mengenang momen saat bersama ayahnya di dalam mobil sambil melihat Nagoya Plaza Hotel dari kejauhan.
Walaupun tidak secara langsung terjun mengurus hotel tersebut, Hendry pernah membantu bisnis Muljadi di Central Group di Batam beberapa tahun sebelum sang ibu jatuh sakit.
Salah satu peristiwa lain yang dikenang Hendry adalah ketika mobil ayahnya yang dikemudikannya tabrakan. Saat itu, Hendry berumur 17 tahun.
‘’Saya stres dan takut. Tapi, saat saya laporkan tabrakan itu, Papi malah bilang, tabrakan tidak apa-apa, asal kamu baik-baik saja dan belajar dari kejadian ini,’’ cerita Hendry.
Pada tahun 2003, Hendry pindah ke Batam untuk membantu bisnis properti ayahnya. Saat sang ayah terkena stroke di kapal pesiar tahun 2005, perasaan pria ini berkecamuk.
‘’Saya kaget. Saya tahu Papi orangnya sangat aktif banyak kegiatan dan banyak teman. Saya sempat down,’’ kata Hendry.
Yang juga membekas dalam ingatan Hendry adalah ketika ibunya juga terkena stroke di Batam tahun 2013. ‘’Saya masih ingat. Malam itu saya di Batam dan di luar rumah bersama teman. Mami telepon saya mengabarkan terkena stroke. Saya pulang dan masuk kamar, pintunya terkunci. Saya lihat, Papi berdiri dan jalan sendiri mau membantu Mami. Padahal, beliau sudah lama kena stroke, papi pakai kursi roda,’’ kata Hendry mengenang peristiwa itu.
Cerita Hendry, ibunya terserang stroke sekitar pukul 03.00 dinihari di Batam. Pada pukul 08.00 pagi dilarikan dan dirujuk ke Singapura. Sejak itu, Hendry dan keluarganya pindah lagi ke Singapura untuk mengurus kedua orangtuanya yang sakit. Ia mengakui, sejak ibunya sakit, ayahnya, Muljadi, sangat terpukul.
‘’Papi benar-benar sayang sama Mami dan down saat Mami sakit. Selama Mami dirawat di rumah sakit, selama setahun, Papi tiap hari ke rumah sakit,’’ kata Hendry yang bertugas mengantar dan menjemput ayahnya dari rumah ke rumah sakit tiap hari.
‘’Saya sedih. Dia selalu bilang, kenapa Mami yang sakit, kenapa bukan saya saja yang sakit,’’ ujar Hendry.
Muljadi sangat senang saat berkumpul dengan anak-anak dan cucu-cucunya. Namun, saat wabah Covid-19 melanda dunia, Muljadi sangat terpukul karena pembatasan sosial dan harus jaga jarak.
‘’Saya serumah dengan Papi dan Mami. Tapi, sejak Covid, hanya bisa Face Time dan Zoom dengan kakak-kakak saya. Papi makin malas makan dan badannya makin kurus,’’ kata Hendry.
Menjelang kepergian Muljadi, ayahnya itu banyak bercerita tentang masa lalunya pada Hendry, putera bungsunya itu. Hendry bukan hanya menjadi pendengar setia yang menyimak, namun ikut terlibat agar sang ayah menuliskannya dalam lembar-lembar catatan. Hendry mengaku makin mengagumi sosok ayahnya itu.
‘’Saya menyediakan alat tulis dan kertas berbentuk segi empat dan ditulis dengan bahasa Mandarin. Tiap hari dia tulis. Hampir setahun Papi menulis. Tapi, saya tidak bisa membaca dan menulis Mandarin,’’ ujar Hendry tertawa.
Setiap pagi, kata Hendry, ayahnya juga selalu mengajak sang istri, Lusi untuk berbicara, meskipun ia tahu, isterinya tidak bisa berbicara dan tidak bereaksi. Hanya bola matanya yang bergerak.
‘’Tiap pagi, Papi mengucapkan selamat pagi kepada Mami, meski Mami tidak ada reaksi. Lalu Papi ke ruang tamu menulis bukunya,’’ kata Hendry.
Selain menulis, kegiatan rutin Muljadi setiap hari adalah menonton televisi, terutama berita-berita tentang Taiwan dan China.
‘’Ini kursi Papi kalau sedang menonton berita di televisi,’’ kata Hendry sambil menunjuk kursi sofa kulit berwarna hitam, yang biasa digunakan untuk berselonjor. Sebelum tidur, ayahnya selalu mampir ke sisi tempat tidurnya dan mengucapkan selamat malam.
Menurut Hendry, Papinya juga selalu berharap ada keajaiban yang terjadi agar sang istri bisa sembuh, meski dokter mengatakan sudah tidak ada harapan.
‘’Setiap saya dan keluarga bicara sama Mami, kami merasa Mami mengerti apa yang kami sampaikan meskipun tidak ada respon sama sekali. Matanya seperti mencari-cari sumber suara,’’ ujar Hendry sedih.
Pada momen liburan keluarga terakhir yang diikuti ayahnya ke Bali pada pertengahan September 2022 lalu, sang ayah menurut Hendry, memintanya sekeluarga untuk ikut. Namun, anak-anaknya sudah mulai masuk sekolah sehingga ia tidak bisa ikut.
‘’Selama di Singapura, saya selalu menemani kemana pun Papi pergi, tapi liburan terakhir itu saya tidak ikut’’ kata Hendry.
Bagi Hendry, pelajaran penting yang diterimanya dari sang ayah adalah setia kawan, jujur, dan keluarga nomor satu. ‘’Beliau khawatir, kami ketujuh anak-anaknya tidak kompak. Dari kecil kami diajari tentang kebersamaan,’’ kata Hendry.
Muljadi seorang pekerja keras untuk kepentingan keluarganya. Daya ingatnya luar biasa. Dedikasinya tinggi. Beberapa bulan sebelum meninggal dunia, kondisi Muljadi tidak stabil dan naik turun. ‘’Kami anak-anaknya tetap kompak dan menjaga Mami,’’ kata Hendry.
Selanjutnya : Asmayadinata Muljadi Putera : Bekerja Keras Selagi Muda I Muljadi di Mata Keluarga– MENEROBOS WAKTU’ Sebuah Memoir: My Life Journey – MULJADI, TOKOH PROPERTY BATAM (Bagian 55)