By Socrates – Revolusi industri dan teknologi tidak hanya memunculkan kecerdasan buatan, internet of things, big data analytic, robotic, cloud computing, tetapi juga menghadirkan peran turis milenial. Mereka adalah generasi yang lahir tahun 1980 dan 1990-an. Ciri-cirinya, gemar petualangan dan pengalaman baru, eksplorasi, spontan, percaya pada ulasan travel blogger. Turis milenial rata-rata berusia 15 – 29 tahun. Pelesiran bagi mereka adalah untuk mencari pengalaman wisata unik, baru, otentik, personal anti mainstream dan tampil beda.
Riset Singapore Tourist Board menyebutkan, 31 persen wisatawan milenial Indonesia liburan secara mendadak, mengandalkan informasi dari mulut ke mulut, berbagi pengala-man di media sosial, berduplikasi di media online, lalu menggelinding mempengaruhi yang lain. Turis milenial juga menyumbang 23 persen jumlah wisatawan global.
World Economic Forum memprediksi, teknologi 4.0 akan menimbulkan efek disrupsi yang mengubah wajah berbagai industry, termasuk industri pariwisata. Kehadiran berbagai aplikasi, mampu memperkaya traveller experience, terutama di kalangan turis milenial. Mulai dari booking tiket pesawat dan hotel, tidak perlku repot pegang tiket, cukup tunjukkan foto tiket di WhatApps, Di bandara dimungkinkan adanya robotic airport guide/ helper yang membantu para travelers melakukan proses check-in dan boarding. Juga layanan on-demand service untuk jasa transportasi yang sangat praktis dan efisien.
Di hotel bisa dikembangkan layanan e-concierge, m-payment, atau personal assis-tant dengan memanfaatkan teknologi augmented reality (AR). Sementara di destinasi wisata, seluruh informasi destinasi tidak lagi melalui brosur atau penjelasan para guide, tapi sudah memanfaatkan teknologi virtual reality via smartphone di tangan.
Industri dan teknologi 4.0 bakal mengubah dan dan mendisrupsi industri pariwisata secara mendasar karena terwujudnya cost value (“more for less”) , experience value (“personalized”), dan platform value (“resources sharing”) yang bakal dinikmati para travelers, terutama di kalangan milenial yang dikenal penggemar teknologi dan segmen tech savvy. Apalagi, turis milenial ini tumbuh sangat pesat dan nilai devisa yang sangat besar.
Pakar marketing Indonesia seperti Yuswohady, dalam marketing outlook 2020 menyebutkan, produk, bisnis dan industri pariwisata yang menyusut karena masuk dalam radar dan ancaman disrupsi seperti tour and travel agent tradisional, tiket, losmen, grup tur dan mengalami penyusutan dan kejatuhan.
Para pelaku bisnis industri pariwisata harus melakukan lompatan dan masuk ke bisnis baru yang terus tumbuh. Antara lain, Tematic Boutique Hotels, Budget Hotels Technology-Based Accomodation Management (Airy, OYO), Technology-Based Accomodation Marketplace (AirBnb), Selfie/Instagramable Destination. Nomadic Travellers (Glamping, Lifeaboat, Campervan) Bleisure (Business + Leisure), Digital Nomad, Cabin/Capsule Hotels yang kini makin bertumbuh.
Turis milenial adalah pasar wisata masa depan. Kementerian Pariwisata RI menye-butkan, turis milenial bakal terus tumbuh dan diproyeksikan pada 2030 mendatang, pasar pariwisata Asia didominasi wisatawan milenial berusia 15-34 tahun mencapai hingga 57 persen.Di Tiongkok wisatawan milenial akan mencapai 333 juta, Filipina 42 juta, Vietnam 26 juta, Thailand 19 juta, sedangkan Indonesia 82 juta.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip dalam laporan Indonesia Millennial Report 20191, generasi milenial diproyeksi akan menjadi generasi yang mendominasi struktur demografi Indonesia.Total populasi di Indonesia saat ini sekitar 179,1 juta orang (67,6%) merupakan kelompok usia produktif (14-64 tahun), dan 24% dari kelompok itu atau sekitar 63,4 juta orang merupakan generasi milenial yang berusia 20-35 tahun. Dari jumlah populasi tersebut, generasi milenial ternyata memberikan dampak signifikan bagi industri pariwisata.
Turis milenial identik dengan media sosial. Mencari referensi obyek wisata, booking hotel dan pesawat, selfi dan wefie serta menggunakan berbagai aplikasi wisata. Sebanyak 70 persen para milenial menghabiskan waktu berselancar di media sosial. Generasi milenial juga disebut ‘digitally native’ dan sangat familiar dengan gawai dan teknologi.
Mau tidak mau, suka tidak suka, pelaku bisnis pariwisata harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan generasi milenial. Misalnya, menyediakan fasilitas untuk menga-komodasi kebutuhan wisata yang cepat dan mudah diakses melalui wifi dan internet, membuat aplikasi tempat wisata lokal hingga kehadiran start up bidang market place pariwisata digital.
Pelaku bisnis wisata dan sejumlah daerah, memiliki aplikasi untuk mencari tempat wisata yang bisa digunakan menunjukkan jalan dan merekomendasikan destinasi wisata cantik, wisata kuliner, hingga wisata sejarah. Sebut saja misalnya aplikasi Wisata Alam Indonesia sebagai media informasi dan edukasi wisata alam di Taman Nasional dan Taman Wisata Alam.
Atau aplikasi TripAdvisor untuk melakukan pencarian tempat wisata, hotel, restoran, hingga transportasi untuk menuju ke destinasi tersebut. Ada lagi aplikasi wisata lokal travel Indonesia, aplikasi yang sangat terkenal di kalangan traveler, Google Trip Travel Planner, Yogya Istimewa, Bandung Smart City, Waze Navigasi GPS, Peta & Lalu Lintas yang menjadi pilihan lain selain Google Maps, Gojek, Wonderful Bali, Wonderful Kepri dan sebagainya.
Pigijo bisnis rintisan yang bergerak di bidang marketplace pariwisata digital, membidik pangsa pasar wisatawan asing dan turis milenial. Platform Pigijo. mencakup 34 provinsi. Meliputi 66 asisten pariwisata, 1.276 rental mobil, 407 guest house, 3.123 kegiatan lokal, dan 4.820 destinasi. Pigijo resmi melantai di bursa saham sejak 8 Januari 2020.
Pelaku bisnis pariwisata juga berinovasi membuat aplikasi wisata pertama berlabel OnTA atau Online Travel Assistant. Kehadiran OnTA ini fokus kepada pusat informasi berkaitan traveling, aktivitas wisatawan, kuliner, dan dunia pariwisata. Aplikasi OnTA tersedia di GooglePlay melalui smartphone android. Pengguna juga dapat mengunggah foto maupun video ke dalam aplikasi ini.
Destinasi Digital
Sejumlah negara, kini menerapkan konsep tourism 4.0 seperti Spanyol dan Malaysia. Caranya, dengan menerapkan Smart Destination yang memanfaatkan teknologi 4.0: big data, open data, mobile apps, free WiFi, geolocation systems, QR code, dan video map-ping/ holography techniques di seluruh destinasi wisata. Tujuannya, untuk memper-mudah, mempernyaman, dan memperdalam experience wisatawan.
Istilah destinasi digital dipopulerkan mantan Menteri Pariwisata Arief Yahya. Ia sering mempresentasikan Destinasi Digital! Sebuah destinasi yang heboh di dunia maya, viral di media sosial, dan nge-hits di Instagram. Kids Zaman Now sering menyebut diferensiasi produk destinasi baru ini dengan istilah: “Instagramable.”
Maka, syarat utama membangun destinasi baru ini: harus layak foto atau fotogenik. Yang dibayangkan oleh desainer destinasi digital adalah gambar di screen handphone, ketika hendak di-capture! Diawali sukses Pasar Karetan Kendal Jawa Tengah. Lalu dikem-bangkan di tempat lain, Pasar Pancingan Lombok, Pasar Siti Nurbaya Padang, Pasar Baba Boen Tjit Palembang, Pasar Tahura Lampung, Pasar Kaki Langit Jogja dan Pasar Mangrove Batam. Destinasi digital di Batam misalnya seperti di Pantai Terih Nongsa dan wisata jambu di kawasan Marina Teluk Senimba.
Pasar-pasar yang merupakan Destinasi Digital itu bakal menjadi kekuatan baru yang ngetop karena selalu menggerakkan 3F (Friends, Followers, dan Fans). Ada tiga kategori destinasi digital. Yakni, destinasi digital nature berbasis pada alam sebagai objek selfie, seperti pedesaan, sawah, gunung, hutan, pantai. Destinasi Digital Culture, berupa karya budaya, heritage, kota lama, kota tua, taman budaya, kuliner, busana nusantara, dan lainnya. Destinasi Digital Man-made atau Urban Market, di dalam kota. Objek selfie-nya, gambar-gambar kreatif, tiga dimensi, dengan food truck dan aneka kuliner modern.
Sebanyak 70 persen anak muda dan travellers sudah menggunakan digital untuk look, book, pay. Sehingga, yang tak boleh dilupakan destinasi digital adalah spot selfie yang fotogenic, wifi dan internet agar saat kopi darat bisa live report, live Facebook, live Insta Story, video call, upload foto dan video. Dan, jangan lupa, colokan listrik untuk mengisi power bank saat habis baterai.
Kaum milenial haus akan pengalaman baru, pengakuan, dan selalu mencari cara untuk mendapatkan pengakuan berupa share, like dan jempol. Ini bisa menjadi gagasan bagi pelaku bisnis wisata, agar destinasi wisata menjadi trending topic dan viral di media sosial. Pasar turis milenial terus membesar dan tumbuh dan influencing power-nya juga luar biasa.***