By- Sultan Yohana & Socrates – Tidak mudah mengurus sampah. Apalagi, di kota metropolis seperti Batam yang menghasilkan 850 ton sampah setiap hari. Meski sudah melakukan swastanisasi sampah sejak 2009 dan gagal, soal sampah belum tuntas teratasi. Singapura, –tetangga Batam—cerdas mengelola sampah dan budaya hidup bersih warganya.
Tiap siang, Ismaeel dan rekannya petugas dinas kebersihannya Singapura, mengendarai gerobak mesin datang ke void deck atau lantai dasar flat atau apartemen. Dengan cekatan, ia menurunkan satu dari enam tong sampah raksasa berukuran 2 meter dan setinggi 1 meter dari gerobak.
Lubang sampah yang menyatu dengan apartemen itu dibuka, lalu tong sampah yang sudah penuh dikeluarkan dan diganti dengan yang kosong. Rekannya, langsung mengepel air atau kotoran yang tercecer di lantai, saat Ismaeel mengangkat tong penuh sampah itu ke gerobak.
Tak lebih dari tiga menit satu tong sampah selesai diganti. Lalu, gerobak motor itu kembali bergerak, mencari lubang sampah lainnya di deretan apartemen yang menjadi tanggungjawab mereka berdua. “Tiap hari kami harus mengambil sampah di 13 blok di Ang Mo Kio, ” kata Ismaeel.
Ang Mo Kio adalah salah satu distrik bagian utara Singapura. “Tiap tempat lubang sampah kami ganti sekali dalam sehari,” tambah pria yang mengaku berasal dari Bangladesh, dan sudah 10 tahun bekerja sebagai petugas kebersihan di Singapura itu.
Bagaimana Singapura mendisain sistem pembuangan sampah rumah tangga mereka, yang sebagian besar penduduknya bertempat tinggal di flat-flat atau apartemen belasan tingkat? Pemerintah Singapura cukup cerdas mengelola tempat pembuangan sampah rumahtangga di rumah susun, agar efisien dan memudahkan warganya membuang sampah.
Keterbatasan lahan memang telah memaksa Pemerintah Singapura sejak tahun 1970-an, merancang pembangunan pemukiman penduduknya di rumah-rumah susun. Lubang pembuangan yang membujur ke atas mulai dari lantai teratas hingga terbawah, adalah sistem awal dari serangkaian proses pembuangan sampah yang efisien. Lubang ini, menyatu dengan rumah, terletak di dapur, dan terintegrasi pada setiap rumah selajur.
Warga yang ingin membuang sampah, tinggal membuka lubang sampah di dapur mereka, lalu melempar sampah di situ. Sampah akan meluncur turun. Di dasar lubang, sudah dipasang tong sampah sebesar 2 x 2 meter, yang tiap hari diganti oleh petugas kebersihan seperti Ismaeel itu tadi.
Sistem ini, menihilkan tong sampah di depan rumah warga, sekaligus tidak perlu membuat petugas kebersihan turun-naik mengambil sampah.Yang juga sangat efisien, adalah sistem lanjutan dari proses pembuangan sampah hingga ke tempat pembuangan akhir.
Hanya butuh dua orang untuk mengkover sampah basah di 13 blok, yang dilakukan si Ismaeel dan kawannya tadi. Sebagai gambaran, satu blok apartemen, rata-rata terdiri dari 12 lajur rumah. Berarti, ada enam lubang sampah di setiap blok. Setiap blok tingginya berbeda, tapi umumnya antara 11 hingga 20 lantai.
Dengan gerobak mesin sederhana yang tak memakan banyak energi, petugas kebersihan seperti Ismaeel mengumpulkan sampah, lalu dibawa ke tempat pembuangan sementara. Di setiap kawasan, ada satu tempat pembuangan sementara (TPS).
Saat penulis melihat salah satu TPS tempat Ismeel bekerja, sama sekali tidak terlihat bahwa gedung kotak berukuran sekitar 15 meter persegi itu adalah TPS. Sangat bersih dan tidak berbau. Nyaris tidak ada ceceran sampah di sana. Tidak pula terlihat pemulung berkeliaran. Hanya ada Ismeel dan rekannya petugas kebersihan.
Sampah-sampah basah yang baru dikumpulkan Ismeel di tong sampah, langsung dimasukkan mesin pres. Begitu selesai, sampah yang sudah dipres kemudian disusun sedemikian rupa. Menunggu truk utama pengangkut sampah datang.
Truk pengangkut sampah, yang tak perlu buang solar untuk keliling kompleks sebagaimana yang biasa terlihat di Batam, kemudian membawa sampah yang sudah dipres, ke tempat pembuangan akhir. Di proses pengangkutan akhir ini, belum pernah terdengar cerita sampah bertebaran di jalan saat dibawa truk.
Jika rata-rata satu blok rumah susun terdiri dari 150 rumah, hanya butuh dua orang petugas untuk memungut sampah basah di 2.000 rumah tinggal di Singapura. Itupun keduanya tidak harus naik turun truk, mengeluarkan energi luar biasa untuk memunguti tong sampah. Lubang sampah yang ada di setiap flat, serta gerobak bermotor mesin kecil yang bisa menjangkau blok-blok terpencil sekalipun, juga TPS, adalah kunci dari sukses sistem pengelolaan sampah Singapura, hingga menjadi salah satu kota paling bersih di dunia!
Penanganan sampah di Singapura, dikelola bersama antara swasta dan pemerintah. Ismeel dan rekannya, tercatat sebagai pegawai yang digaji town council, sebuah struktur kemasyarakatan setingkat kelurahan. Selain mengurusi sampah, town council juga secara langsung mengurusi segala macam masalah dan keperluan warga Singapura.
Masalah seperti fasilitas umum, taman bermain anak, lift di rumah susun, tempat parkir, atau perbaikan-perbaikan fasiltas umum; hal-hal seperti ini yang diurusi langsung oleh petugas town council. Sementara, untuk urusan pengangkutan sampah hingga ke tempat pembuangan akhir, pengelolaanya diserahkan ke pihak swasta.
Ismaeel memang hanya mengurus sampah basah. Lalu, bagaimana dengan sampah kering atau barang-barang bekas bahkan perabot-perabot berukuran besar yang tak mungkin dibuang lewat lubang sampah?
Di sinilah kesadaran masyarakat Singapura agar menjaga kebersihan tempat tinggal mereka diuji. Di setiap rumah susun, pihak town council telah menyediakan sebuah tong sampah besar khusus untuk sampah-sampah kering yang bisa didaur ulang. Juga tempat menaruh barang-barang besar yang memang akan dibuang warga Singapura, seperti kulkas, televisi, maupun perabot rumahtangga seperti tempat tidur.
Sejak dari rumah, penduduk Singapura dibiasakan untuk memilah-milah sampah mereka. Nyaris tiap rumah punya dua sampah, satu sampah basah; dan satunya lagi sampah kering yang bisa didaur ulang. Sementara sampah basah akan masuk lubang sampah, sampah daur ulang harus dibawa turun sendiri oleh warganya dan dibuang ke tong sampah khusus daur ulang. Di Ang Mo Kio misalnya, setiap bulan pihak town council membagikan tas plastik raksasa di pintu rumah masing-masing warga, yang bisa digunakan untuk menaruh sampah daur ulang.
Pemilahan serta pengelompokan tempat sendiri bagi sampah daur ulang, akan memudahkan kerja pemulung. Barang-barang yang sekiranya masih berharga seperti printer, koran, baju, komputer, maupun televisi; dipungut dan dikumpulkan pemulung. Barang-barang yang masih punya nilai jual ini, kemudian dikumpulkan, dipacking, untuk kemudian diekspor ke beberapa negara penerima.
Bangladesh, India, dan sebagian negara Afrika, adalah beberapa negara yang menerima barang-barang bekas dari Singapura. Barang-barang bekas ini juga kerap lolos ke Indonesia, terutama di Batam, meski pemerintah Indonesia telah mengeluarkan larangan impor barang bekas. Pemulung di Singapura, menjadi salah satu bagian penting untuk menjaga Singapura tetap bersih.
Selain mempekerjakan petugas kebersihan seperti Ismaeel, pihak town council juga mempekerjakan beberapa petugas kebersihan lainnya seperti penyapu koridor, pengelola taman, atau pendorong tong sampah daur ulang. Sebagian pekerja adalah warga negara Singapura yang telah pensiun dan masih ingin terus beraktifitas.
Meski sistem pengelolaan sampah di Singapura sudah sedemikian baik, namun kunci Singapura bisa menjaga kebersihan mereka, terletak pada mental warganya. Sadar bahwa kebersihan adalah salah satu hal terpenting untuk sebuah negara sekecil Singapura, pemerintah jauh-jauh hari telah “mendoktrin” warganya untuk menjaga kebersihan. Salah satunya, dengan menjadikan pelajaran “menjaga kebersihan” sebagai salah satu pelajaran utama di Sekolah Dasar.
*****
Batam memang bukan Singapura, yang sebagian penduduknya tinggal di flat atau apartemen, sementara warga Batam tinggal di perumahan dan ruko. Namun, tak ada salahnya belajar ke Singapura, mencontoh pengelolaan sampah yang baik dan sederhana. Swastanisasi sampah yang pernah gagal, harus menjadi pelajaran yang berharga.
Sampah yang menumpuk di depan rumah dan tidak terangkut mobil sampah, adalah masalah yang paling sering dihadapi warga Batam. Apalagi, sebagian besar atau 60 persen adalah sampah plastik, yang sulit untuk dihancurkan. Keterbatasan armada dan petugas kebersihan, adalah soal lain yang membuat masalah sampah di Batam makin runyam.
Melihat kebersihan Singapura, meskinya Batam berkaca dan menjadi inspirasi menata Batam. Apalagi, warga kelas menengah ke atas, pengusaha, para pejabat Batam, pasti pernah ke Singapura. Mulai dari pelabuhan, bandara, jalan-jalan, pusat pertokoan hingga ke perumahan di Singapura tampak bersih. Singapura tidak hanya bersih di atas (jalan-jalan, taman, perumahan) juga di bawah (rute Mass Rapid Transpor di bawah tanah yang menghubungkan seluruh Singapura).
Para pejabat kita sering mengidentikkan kebersihan dengan piala adipura, yang merupakan lambang kebersihan sebuah kota di Indonesia. Kota yang layak dapat adipura adalah yang bebas dari sampah dan bersih, rindang, teduh dan hijau serta drainase yang bebas dari gulma dan sedimentasi. Batam pernah dapat piala adipura dan pernah pula mendapat julukan kota terkotor.
Swastanisasi sampah yang dimaksudkan agar ratusan ton sampah warga Batam itu bisa tertangani, yang dimulai sejak 1 April 2009 yang dimenangkan oleh PT Surya Sejahtera, dan setahun kemudian mengundurkan diri, sampah kembali dikelola Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Batam. Padahal, kontrak kerjanya 25 tahun.
Siapa sangka, sampah juga memiliki nilai ekonomi dan bisnis yang tinggi. Sampah bisa diolah dan dimanfaatkan menjadi pupuk kompos, gas methane dan air lindi atau pupuk cair. Sedangkan sampah baru menghasilkan recycling plastic, besi dan kayu, composting serta gas methane. Pada akhirnya, akan menghasilkan keuntungan dalam bentuk retribusi atau royalti. Sehingga, Pemko Batam selain tidak lagi dipusingkan urusan sampah, malah bisa menjadi pemasukan baru bagi daerah.
Namun, yang terjadi, jauh panggang dari api. Aroma kolusi, ekonomi biaya tinggi karena harus membentuk panitia khusus, tender dan sebagainya, meruap di antara bau busuk sampah. Kini, Pemko Batam kembali menggelar tender untuk merancang, membangun, membiayai dan mengoperasikan Infrastruktur Pengolahan Sampah Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan (Proyek).
Pemko Batam merencanakan membangun infrastruktur yang dapat mengolah sampah minimal 1000 ton sampah per hari dengan teknologi waste to energy (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) berupa incinerator. Perkiraan nilai proyek adalah sebesar Rp. 1.500.000.000.000,- (Satu Trilyun Lima Ratus Milyar Rupiah). Nilai yang cukup besar untuk membuat Batam bebas sampah.
Saat ini, ada tiga kota di Indonesia tengah memersiapkan konsep kerjasama pemerintah-swasta (KPS) dalam pengelolaan sampah, yakni Batam, Padang dan Medan. Yang pertama menerapkan KPS persampahan adalah Surabaya yang memilih menggunakan teknologi gasifikasi, yakni menyerahkan pengelolaan sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) kepada pihak swasta yang memanfaatkannya untuk menghasilkan gas.
Singapura, selain sistem dan manajemen pengelolaan sampah yang baik, juga didukung dengan sikap mental dan budaya hidup bersih warganya. Singapura yang begitu bersih diawali oleh penegakan hukum yang tegas dan konsisten. Istilah kerennya: law enforcement. Penegakan hukum ini yang memaksa warganya dan siapa saja, tidak boleh membuang sampah sembarangan.
Bandingkan dengan Batam. Lihatlah prilaku warga yang masih suka membuang sampah sembarangan. Alangkah capeknya melihat seorang petugas kebersihan, berseragam hijau kuning dengan kantong plastik besar di tangannya memungut sampah dari pinggir jalan. Sementara, orang seenaknya membuang sampah dari kendaraan. Mulai dari puntung rokok, plastik, tisu, kertas koran dan botol minuman.
Tugas Pemko Batam, selain menyiapkan sarana dan dan prasarana pengelolaan sampah, tak kalah pentingnya adalah mendorong bahkan memaksa warga Batam untuk hidup bersih dan mengelola sampah sejak dari rumah.
Jika sulit meniru Singapura, belajarlah ke Surabaya. Terobosan yang patut diacungi jempol adalah program Surabaya Green & Clean sejak 2005 kerjasama antara Pemkot Surabaya, Unilever dan media massa. Program ini berhasil mengubah wajah Surabaya yang panas dan gersang serta kotor, menjadi kota yang hijau dan nyaman. Surabaya menyabet berbagai penghargaan nasional dan interbasional. Antara lain, Asean Environt Sustainable City atau penataan lingkungan terbaik, Smart City Award dan Penghargaan Langit Biru.
Surabaya berhasil mendorong semua lapisan masyarakat untuk terlibat langsung menata lingkungannya sampai ke tingkat RT dan RW. Ini lantaran masyarakat masih memiliki ikatan emosional sebagai komunitas di komplek perumahan dan budaya bergotong royong yang masih terpelihara. Hanya saja, perlu stimulan dan pendorong secara terus menerus yang dilakukan pemerintah Kota Batam.
Malah, wali kota Surabaya Tri Risma Harini, sebelum terpilih menjadi wali kota, Risma pernah menjabat Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) dan Kepala Badan Perencanaan Kota Surabaya hingga tahun 2010. Di masa kepemimpinannya di DKP, bahkan hingga kini menjadi Walikota Surabaya, Kota Surabaya menjadi lebih asri dibandingkan sebelumnya, lebih hijau dan lebih segar.
Ia membangun dan memugar taman yang dulunya mati, menjadi asri. Ia juga membangun pedestrian bagi pejalan kaki dengan konsep modern. Surabaya tiga kali meraih Adipura. Selain itu, kepemimpinan Tri Risma juga membawa Surabaya menjadi kota yang terbaik partisipasinya se-Asia Pasifik tahun 2012 versi Citynet atas keberhasilan pemerintah kota dan partisipasi rakyat dalam mengelola lingkungan. Pada Oktober 2013, Kota Surabaya dibawah kepemimpinannya memperoleh penghargaan tingkat Asia-Pasifik yaitu Future Government Awards 2013 dua bidang sekaligus yaitu data center dan inklusi digital menyisihkan 800 kota di seluruh Asia-Pasifik.
Sudah saatnya pula, Pemko Batam memberdayakan petugas kebersihan kota dan para pemulung, yang mau berkotor-kotor mengais sampah, baik di jalanan maupun di perumahan, mengumpulkan sampah dan barang bekas.
Sebab, jika dimenej dengan sungguh-sungguh, mereka akan menjadi pasukan yang handal membebaskan Batam dari sampah. Tidak seperti selama ini, dicurigai memulung sebagai kedok untuk mencuri. Di beberapa komplek perumahan, sering ditemui tulisan: pemulung dan maling dilarang masuk.
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Telaga Punggur, yang dijadikan pembuangan sampah, yang digunakan sejak tahun 1997, sebenarnya di bagian bawah dialasi dengan sejenis karpet tebal, sehingga cairan yang berasal dari sampah basah, bisa dimanfaatkan untuk pupuk cair. Harap dicatat, usia masa pakai TPA terbatas. Diprediksi, sebuah TPA hanya mampu bertahan selama 30 tahun. TPA tidak hanya menjadi timbunan sampah, tapi juga menghasilkan gas metan, lindi dan sampah plastik.
Singapura selangkah lebih maju. Sebuah pulau di bagian selatan Singapura, Pulau Semakau, dipilih sebagai tempat pembuangan akhir sampah-sampah masyarakat Singapura. Lahan seluas 350 hektar di pulau itu, diklaim mampu menampung 63 juta meter kubik sampah. Uniknya, sejak 2005 TPA di Pulau Semakau dibuka untuk umum, sebagai salah satu daya tarik wisata, terutama wisatawan yang ingin belajar soal ekologi. ***