By Bintoro Suryo – Pulau Babi, luasnya tidak lebih dari tiga lapangan sepak bola. Pulau ini masuk wilayah kelurahan Sekanak Raya, kecamatan Belakang Padang, Batam. Secara administratif, namanya Pulau Amat Belanda.
Belum diketahui kenapa ada dua nama untuk pulau kecil seluas beberapa lapangan bola itu. Nama Amat Belanda disematkan warga konon berasal dari nama seorang penduduk pulau yang bernama Amat dan mirip orang Belanda pada masa lalu.
Beberapa mengatakan bahwa nama kedua digunakan setelah nama pertama dinilai berkonotasi negatif karena sering dikaitkan dengan lokalisasi yang ada di pulau itu beberapa tahun lalu.
Sementara yang lain mengatakan bahwa dulunya pulau tersebut sempat digunakan untuk ternak babi. Namun secara umum, masyarakat di sekitarnya lebih familiar dengan nama pertama.
Karena luasnya yang tidak seberapa, penduduk di sini juga tidak banyak. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, warga pulau ini biasanya pergi ke Belakang Padang yang berjarak kurang lebih lima belas menit saja menggunakan perahu pompong.
Sementara anak-anaknya juga menempuh pendidikan di Belakang Padang.
Pulau kecil ini dihuni oleh kurang lebih enam puluh kepala keluarga. Rumah-rumah sebagian besar berdinding kayu dan dibangun di atas tonggak-tonggak kayu besar yang menancap di air, tipikal rumah panggung di daerah laut pesisir Kepulauan Riau.
Pada masa jaya-jaya prostitusi di sini, banyak rumah bordil yang didirikan. Seorang warga Pulau Amat Belanda, Ani bercerita, pada 1990-an, lelaki hidung belang berdatangan mengunjungi rumah bordil yang berdiri di atas laut, dengan bilik-bilik kecil.
“Dulu itu ramai betul. Pulau ini ramai,” kata Ani yang tinggal di pulau itu sejak 1993.
Saking banyaknya warga asing yang menghabiskan duit di sana, warga Pulau Amat Belanda lebih banyak memegang mata uang dolar Singapura ketimbang rupiah. Warga di sana membuka beragam usaha seperti berjualan makanan hingga layanan antar-jemput warga dan pelancong yang datang menggunakan kapal-kapal bermesin tempel seperti yang dilakoni suami Ani.
Beberapa rumah mempunyai plat kecil bertuliskan “rumah tangga” yang menempel di dinding bagian depan rumah untuk membedakan diri dengan rumah-rumah lain yang menyediakan kafe, mini bar, dan bilik karaoke untuk menjalankan bisnis prostitusi.
Namun situasi berubah jauh sejak awal 2000-an. Pengunjung berkurang dan jumlahnya terus menurun dari tahun ke tahun.
Stigma Negatif, Banting Stir ke Rengkam
AKTIFITAS prostitusi yang sempat marak di sini, membuat warga pulau Babi atau Amat Belanda sering mendapat stigma negatif. Terutama dari warga di beberapa pulau kecil tetangga mereka.
Anak-anak mereka yang bersekolah di sana sering menjadi korban bullying oleh teman sejawat karena berasal dari “pulau pelacur”.
Perubahan penyebutan sebagai pulau Amat Belanda, juga berharap stigma tersebut bisa hilang. Apalagi saat ini, warga di sana mulai beraktifitas sebagai pembudidaya dan pengolah rumput laut atau rengkam.
Rengkam hasil buruan warga yang kemudian dikeringkan itu, bisa dijual cukup tinggi ke Vietnam. Di sana, rengkam dijadikan pakan ternak.
Saat ini hampir seluruh warga Pulau Amat Belanda merupakan nelayan pengumpul rengkam. Usaha baru warga itu mampu menghidupkan kembali ekonomi yang merosot sejak 2000-an, saat pengunjung lokalisasi berkurang.
Camat Belakangpadang, Yudi Admaji beberapa waktu lalu mengakui, setelah menjadi nelayan rengkam, ekonomi warga Pulau Amat Belanda membaik.
Namun, wilayah pencarian rengkam harus dibatasi, agar tidak mengganggu ekosistem perairan di sana.
“Awalnya hanya boleh di sekitar Pulau Amat Belanda saja, sekarang sudah maju. Tidak apa, tapi jangan sampai ke dekat pulau lain yang banyak kelong dan bubu warga,” katanya.
Kami sempat mengunjungi pulau ini beberapa waktu lalu. Tidak ada lagi kegiatan prostitusi yang terlihat lagi. Kondisi terkini membuat mereka yang sempat berkecimpung di bisnis esek-esek benar-benar banting setir.
Beberapa rumah yang dulu diketahui sebagai rumah bordil dan tempat tinggal beberapa mucikari, mulai dipadati rengkam-rengkam yang sedang dijemur.
Beberapa lainnya, tinggal namanya saja yang tertera. Namun, sudah tidak beraktifitas melayani jasa prostitusi lagi. Rumah-rumah bordil dan bar yang dulu gemerlap, kini menjadi tempat tinggal warga saja.
Jejak Prostitusi Yang Menghilang
PADA masa jayanya, pulau Babi yang kini dikenal sebagai Amat Belanda, jadi salah satu tujuan wisata esek-esek di sekitar perairan Batam .
Para pekerja seks di pulau ini semuanya adalah perantau, dengan mayoritas berasal dari Pulau Jawa. Menurut penuturan mantan Mami di sana yang sempat diwawancara media, para calon pekerja langsung datang ke rumahnya dan meminta untuk dijadikan anak buah. (Sepertinya reputasi Mami sudah menyeberang sampai ke luar pulau.)
Pada dasarnya, Mami di sini hanya menampung para pekerja yang datang kepadanya. Dalam menggaet pelanggan, Mami tidak menarik komisi kepada para pekerjanya. Penghasilan Mami datang dari usaha kafe dan bilik karaoke yang dioperasikan di rumahnya, yang juga merupakan tempat para pekerjanya menjajakan jasa.
Pelanggan lokalisasi pulau ini dulunya, sebagian besar adalah para awak kapal yang sedang transit. Para lelaki yang menyeberang lautan dan meninggalkan keluarga di Kalimantan, Sulawesi, dan Jawa. Selain dari kapal domestik, pelanggan juga datang dari awak kapal negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan bahkan Thailand.
Terdapat kewajiban lapor bagi pekerja dan pelanggan ketika transaksi jual-beli seks sudah sudah disetujui. Pihak pelanggan dan pekerja wajib menyerahkan kartu identitas seperti KTP atau paspor kepada kepolisian di pos keamanan dan membayar sejumlah uang.
Kewajiban melapor ini adalah tindakan untuk menangkal penculikan pekerja yang dulu sering terjadi. Meskipun di tiap rumah bordil sudah disediakan tempat, pelanggan terkadang ingin mencari suasana baru dan mencari tempat lain untuk memadu kasih. Hal buruknya, para pelanggan nakal sering membawa pekerja keluar dari Pulau Babi untuk disekap selama berhari-hari.
Kontras dengan hal di atas, para pekerjanya bisa menjadi simpanan oleh orang-orang Singapura yang berkunjung — jika beruntung.
Sesudah menjadi simpanan, seorang pekerja akan dibelikan rumah dan dibiayai kehidupan sehari-harinya. Ia akan dikunjungi dua sampai lima kali sebulan, selayaknya istri yang menikah dengan suami yang bekerja di negeri orang. Apabila pelanggan benar-benar terpincut, pekerja bahkan bisa dinikahi dan dibawa ke Singapura.
Lokalisasi di pulau ini memasuki masa kejayaan pada tahun 1990-an. Pada masa itu kafe dan mini bar tidak pernah sepi. Ratusan pelanggan, baik domestik maupun mancanegara, datang tiap minggunya.
Bir dipasok tiap harinya, kelap-kelip lampu mengalahkan kelap-kelip bintang, dan alunan musik yang tidak pernah putus mengiringi kebahagiaan transaksional antara pelanggan dan pekerja.
Namun, tidak ada kejayaan seperti itu lagi saat ini. Warga yang mendiami pulau ini, mulai sibuk dengan aktifitas baru ; membudidaya dan mengolah Rengkam atau rumput laut sebagai sumber utama penggerak ekonomi bagi warganya, selain melaut sebagai nelayan.
(*)
Sumber : bintorosuryo.com
Penulis : Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola blog, suka sejarah, cerita manusia dan videography.
Photo-photo : Domu © bintorosuryo.com